Surat Al-Kautsar: Cara Mensyukuri Nikmat yang Banyak

RecommendedSurat Al-Kautsar: Cara Mensyukuri Nikmat yang Banyak

Manusia kerap kali merasa dirinya tidak pernah mendapatkan kenikmatan. Padahal, Tuhan telah memberi kenikmatan yang mungkin kita jarang menyadarinya. Dalam tema kandungan surat al-Kautsar dijelaskan, bahwa ada banyak sekali karunia yang Tuhan berikan kepada Rasulullah SAW, sehingga Allah mengajarkan kepada beliau bagaimana setiap kenikmatan seharusnya disyukuri agar menumbuhkan ketaqwaan dan ketaatan terhadap Allah SWT.

Al-Kautsar adalah surat ke 108 yang terpendek dalam al-Quran yang hanya terdiri dari tiga ayat. Ia diturunkan di Mekkah (Makkiyah) menurut jumhur ulama yang mengutip pendapat Ibnu Abbas, Al-Kalbi, dan Muqatil yang dikuatkan pada ayat terakhir surat yang menyebutkan cemoohan kepada Nabi Muhammad SAW karena terputus dari keturunan (abtar). Hujatan seperti ini lazimnya terjadi pada masa-masa keislaman di Mekkah.

Sedangkan, al-Hasan, Ikrimah, Mujahid, dan Qatadah, yang menengarai surat tersebut turun di Madinah (Madaniyah). Pendapat kedua lebih dipilih oleh Imam Nawawi (w. 676 H) dalam kitabnya, Syarah Shahih Muslim, Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam Tafsir Al-Quran Al-Azhim, dan juga oleh Asy-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Itqan fi Ulum Al-Quran. Adapun alasan mengapa surat ini diturunkan di Madinah, yakni disebutkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah SAW tengah menceritakan dirinya mendapatkan wahyu surat al-Kautsar kepada Anas bin Malik. Jika ditelisik, sahabat Anas ini baru kemudian masuk Islam saat beliau telah hijrah di Madinah.

Surat al-Kautsar juga memiliki nama lain, yakni An-nahr. Di antara isi pokok kandungan surat Al-Kautsar, yaitu menguraikan tentang banyaknya pemberian Allah, perintah shalat dan menyembelih kurban, dan budaya kebanggaan memiliki anak laki-laki. Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, menafsirkan Al-Kautsar ini dengan anak keturunan atau dzurriyah.

Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah), (QS. Al-Kautsar: 1-3).

Terkait asbab an-nuzul dari turunnya surat al-Kautsar ini, dalam Tafsir Ibnu Katsir dikisahkan Rasulullah SAW mengantuk sejenak lalu mengangkatkan kepalanya lantas tersenyum membaca basmalah dan surat al-Kautsar. Kemudian beliau menjelaskan, bahwa al-Kautsar ialah sungai yang diberikan Rabb-ku kepadaku di surga. Padanya terdapat kebaikan di mana pada hari kiamat, kelak umatku akan hilir mudik ke sungai itu. Bejananya sebanyak jumlah bintang di langit. Lalu ada seorang hamba dari mereka yang gemetaran, maka kukatakana, Wahai Rabb-ku sesungguhnya dia termasuk umatku. Kemudian dikatakan sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sepeninggalmu (HR. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i).

Baca Juga  Pelatihan Menulis Artikel Keislaman Bersama Dubes Zuhairi Misrawi

Setelah diberi penegasan mendapat kenikmatan yang banyak, Rasulullah SAW diarahkan untuk mensyukuri nikmat dengan shalat dan berkurban. Makna shalat di sini para ulama berbeda pendapat, ada yang menyebutkan shalat lima waktu seperti Ad-Dahak berdasarkan pendapat Ibnu Abbas. Qatadah, Ikrimah, dan Atha’ menyebut Shalat Idul Adha, dikarenakan perintah shalat lima waktu menggunakan kalimat aqimus shalat sebagaimana biasanya. Selain itu, perintah shalat ini berdampingan dengan perintah berkurban, sehingga shalat yang dimaksud yaitu shalat sunnah bukan wajib.

Pada kesempatan lain, dikisahkan pula sebelumnya turunnya surat Al-Kautsar ini berlatar belakang, karena ejekan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang terputus (abtar) dari keturunan laki-laki. Bagi bangsa Arab kala itu, kendati mereka memiliki keturunan banyak dan tidak ada anak laki-laki, maka itu sebuah penanda kelemahan bagi seorang pria. Anak perempuan dipandang memiliki kehinaan, sedangkan anak laki-laki berderajat luhur. Sebenarnya, Rasulullah SAW memiliki keturunan tiga anak laki-laki, hanya saja mereka wafat di usia yang masih kecil.

Hal tersebut menjadi bualan orang-orang Quraisy yang membenci beliau. Hadis shahih mencatat orang yang mengejek Nabi SAW dengan sebutan abtar (hewan yang terpotong ekornya) adalah Al-‘Ashi bin Wail. Padahal, ketika itu pula, beliau sedang berduka akibat baru wafatnya Ibrahim anaknya dari Mariyatul Qibtiyah yang tidak berusia lama setelah kelahirannya. Syahdan, pada ayat ketiga surat Al-Kautsar Allah SWT merincikan, bahwa orang yang terputus itu bukan karena tidak memiliki keturunan, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, abtar yang dimaksud yaitu terputus dari kebaikan atau sumber syafaat yakni membenci nabi SAW.

Nabi Muhammad SAW merupakan seorang pemberi syafaat. Oleh karena itu, siapa saja yang membenci beliau akan menyebabkan terputus dari rahmat Allah SWT. Ayat ini sebuah hiburan kepada Nabi jika ia bukan seorang yang abtar, semisal yang dimaksudkan Al-‘Ashi. Ungkapan yang membuat beliau terlukai jantung hatinya, karena sebutan yang menghinakan sebagai seorang laki-laki. Kemudian menjadi teguran kepada mereka yang memandang rendah seorang yang tidak memiliki keturunan laki-laki.

Sejatinya kedudukan manusia itu sama derajatnya di mata Allah, bukan jenis kelamin yang membedakannya, melainkan tingkat ketakwaan manusia kepada Tuhan yang membuatnya tidak sama. Demikian, kedudukan Rasulullah SAW sebagai makhluk yang harus dicintai, bukan dibenci menunjukkan urgensi tegas dalam surat Al-Kautsar sekaligus memotivasi untuk melaksanakan shalat dan berkuban sebagai bentuk ungkapan rasa syukur saat mendapat kenikmatan.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.