Apakah Al-Quran Membolehkan Memukul Istri?

KolomApakah Al-Quran Membolehkan Memukul Istri?

Sejak ceramah yang mengajarkan untuk menutupi KDRT viral, perdebatan publik tentang bolehkah suami memukul istri di dalam rumah mencuat kembali. Orang-orang menyoroti QS. An-Nisa ayat 34, di mana laki-laki seolah-olah mendapat justifikasi untuk mendisiplinkan istri dengan mengambil jalan terakhir, yaitu memukulnya.  Seperti yang dicuitkan @Cassiannisafira di Twitter, “setau aku sih, ada dalil di dalam Quran yang sebut untuk boleh pukul istri (Surah An-Nisa: 34)” tulisnya. 

Bagaimana orang bisa menjustifikasi kekerasan dalam rumah tangga dengan dalil al-Quran, sementara misi utama al-Quran adalah tentang kebebasan manusia dan penghapusan diskriminasi? Al-Quran menentang kezaliman, melindungi status perempuan, mempromosikan ikatan pernikahan yang suci, dan mendukung nilai-nilai keluarga. Nabi Muhammad SAW sangat lembut dan mengajarkan agar berbuat baik pada wanita. Tampaknya tidak masuk akal untuk menyatakan bahwa Islam membenarkan kekerasan dalam rumah tangga. Lalu, dari mana gagasan tentang suami boleh memukul istri itu berasal?

Kesalahan paling umum muncul dari pemahaman literal terhadap terjemah ayat al-Quran, dalam konteks ini adalah an-Nisa ayat 34. Ayat ini memang telah banyak disalah artikan secara liar. Padahal, dalam pemahaman yang utuh, ayat tersebut sebenarnya memberikan larangan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan Asbab an-Nuzulnya, An-Nisa 34 turun dalam sebuah kasus seorang perempuan yang ditampar suaminya. Dia mengadukan perlakuan sang suami kepada Nabi saw. Beliau lalu memutuskan agar sang istri membalas pukulan suami itu (qishash). Kemudian turun ayat ini, sehingga qishash pun dibatalkan. 

Dalam riwayat ini Nabi SAW mengatakan, “kita menginginkan sesuatu tapi Allah menginginkan yang lain”. Dengan turunnya an-Nisa ayat 34, suami diajarkan untuk bertindak lebih bijaksana terhadap istri, yaitu berperan sebagai pelindung dan pembimbing. Adapun jika istri bermasalah, Al-Quran mengajarkan solusi baru non-kekerasan, yaitu dengan nasehat sebaik-baiknya, atau dengan peringatan pisah ranjang. ini adalah metode baru yang diajarkan al-quran untuk menggeser praktik kekerasan fisik yang lazim digunakan sebelumnya. 

Di tengah konteks masyarakat klasik pada waktu itu, otoritas disiplin laki-laki yang menggunakan pukulan atau tindakan fisik dalam rumah tangga, memang telah umum di sebagian besar budaya pra-modern. Sehingga, al-Quran perlu menghapus praktik ini secara bertahap. Jadi, dengan menghadirkan dua solusi non-kekerasan di depannya, dan menggeser pukulan sebagai pilihan terakhir, maka kuatnya pesan al-Quran untuk meninggalkan praktik kekerasan ini dapat dirasakan. 

Dengan demikian, meskipun ayat ini membawa gagasan historis tentang otoritas disiplin laki-laki, para ulama klasik dapat memahami dengan jelas ‘ketidakberpihakan’ al-Quran pada kekerasan. Ulama dan Muslim yang shaleh menyadari bahwa al-Quran memang anti kekerasan. Semua ulama sepakat bahwa pukulan yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah tepukan tanpa rasa sakit atau tanpa kekerasan (ghairu mubarrih). Jadi, meskipun pukulan itu disebutkan, penggunaannya dibatasi dengan ketat, bahkan dihindari. Dalam Tafsir al-Razi, tertulis bahwa Imam al-Syafi’i berkata, memukul diperbolehkan, tetapi menghindarinya lebih baik. Begitu pula Imam Al-Nawawi dalam syarahnya no. 2328 menulis, sekalipun dibolehkan untuk memukul, tetap lebih baik untuk menghindarinya. 

Bahkan, sebagian Muslim awal memahami ‘pukulan’ itu sebagai metafora saja, sama sekali bukan fisik. Di dalam kitab tafsir Ahkam al-Qur’an, Atha’ bin Abi Rabah (w. 114), ahli hukum Makkah awal yang terkenal, dan salah seorang penafsir Al-Qur’an, mengatakan tentang ayat an-Nisa ayat 34, “Seorang pria tidak memukul istrinya, melainkan dia hanya menunjukkan kemarahannya.”  Ini adalah pernyataan yang sangat jelas, tegas, dan eksplisit dalam menentang kekerasan dalam rumah tangga. 

Dengan adanya kerangka bertahap dalam menghadapi ‘konflik perkawinan’, para ulama berpendapat bahwa ayat an-Nisa ayat 34 adalah sebuah ayat yang merekonsiliasi pasangan, mengajarkan untuk mengelola konflok menjadi harmoni, khususnya untuk memulihkan keharmonisan perkawinan, bukan untuk memperburuk keadaan genting dalam rumah tangga. Ayat ini juga mengandung makna umum untuk menghapus pelecehan pasangan dan kekerasan dalam rumah tangga. Sebab, dengan mengandalkan nasehat dan komunikasi efektif, atau kalau memang perlu dengan peringatan berupa pisah ranjang, maka pemukulan sebenarnya tidak diperlukan. Cendekiawan Hanbal Ibn al-Jawz (w. 597 H) mengatakan, “jika seseorang tidak memerdulikan peringatan lisan, ia tidak mungkin mendapat manfaat dari disiplin fisik. Memukul hanya meningkatkan perasaan benci di hati, dan karena itu lebih baik dihindari” (Ahkam al-Nisa, h.241). 

Baca Juga  Diskriminasi Bukan Ajaran Nabi

Memang, relevansi instruksi ‘memukul’ sebagai sebuah mekanisme pengajaran, amat tergantung pada konteks sosial masyarakat. Dalam suatu konteks, tindakan tersebut mungkin tidak dianggap sebagai pelanggaran. Sementara itu, dalam konteks lain, seorang pria yang mendisiplinkan istrinya secara fisik akan menghancurkan rekonsiliasi dan keharmonisan perkawinan. Ibnu Asyur juga mengatakan, “Apabila pemerintah mengetahui bahwa para suami tidak mampu melaksanakan teguran dengan baik, ternyata menyimpang dalam menggunakan hak untuk mendidik isteri mereka, maka halal bagi pemerintah untuk melarang penggunaan hak tersebut. Pemerintah berhak menghentikan mereka dan mengumumkan bahwa siapa pun yang memukul istrinya akan dikenakan hukuman, untuk mencegah meningkatnya kerusakan di antara pasangan, terutama pada saat pengendalian diri dan kesadaran agama yang lemah” (Tahrir wa at-Tanwir, 5:44). Inilah yang saat ini berlaku di negeri kita.

Ketika norma-norma interaksi manusia dan ekspektasi budaya berubah. Ulama, seperti Ibnu Asyur, telah banyak mempertimbangkan bagaimana dampak penerapan aturan Islam, dan apa yang terbaik untuk mendukung tujuan al-Quran tentang keharmonisan perkawinan. Dalam konteks sosial modern, penggunaan ‘pukulan’ walau pelan dan ringan sekalipun, akan mengakibatkan kerugian emosional yang lebih besar. Tindakan pemukulan dalam konteks sekarang ini tidak lagi efektif dan justru menggagalkan rekonsiliasi, keterbukaan pikiran, dan perubahan perilaku yang ingin dicapai.

Jadi, situasi yang dapat mendukung hak pemukulan seperti itu pasti tidak akan pernah muncul, terutama ketika kedua pasangan itu rasional dan memiliki akal budi. Oleh karena itu, bahkan dengan segala batasan yang diberikan untuk memukul istri, para ulama tetap melarang umat Islam untuk melakukannya. Karena banyaknya kesalahpahaman berbahaya yang disebabkan oleh terjemahan kata ‘darb‘ pada an-Nisa: 34, maka banyak ulama juga telah mengkaji alternatif makna lain, kata darb juga dapat diartikan dengan ‘meninggalkan, menjauhi, pemisahan, atau perpisahan’.

Bagi umat Islam, tidak ada yang lebih berwibawa dalam membimbing bagaimana menerapkan al-Quran selain keteladanan Nabi. Beliau sangat menganjurkan para pria Muslim untuk memperlakukan wanita, khususnya istri, dengan penuh hormat dan kesopanan. Ukuran karakter pria berhubungan langsung dengan perlakuannya terhadap wanita.Rasulullah SAW bersabda, Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap wanitanya (HR. Tirmidzi)

Penting sekali untuk diingat, bahwa ayat-ayat al-Quran tidak untuk ditafsirkan secara terpisah dari nilai-nilai fundamental Islam, yang ditetapkan dalam ayat-ayat al-Quran lainnya dan kehidupan Nabi. Melaksanakan petunjuk al-Quran harus dilakukan dengan cara yang paling sesuai dengan ajaran kolektif al-Quran, contoh Nabi, pemahaman para sahabat dan para pengikutnya yang shaleh. 

Singkatnya, al-Quran tidak mengizinkan suami untuk menyakiti atau ‘memukul’ istri. An-Nisa ayat 34 tidak dapat dipahami untuk mengizinkan seorang pria melecehkan istrinya secara fisik atau menyakitinya dengan cara apa pun. Terutama mengingat Nabi SAW adalah sosok suami dan ayah yang sangat lembut, dan istri Nabi memuji teladannya sebagai seseorang yang tidak pernah memukul. Al-Quran mencirikan hubungan perkawinan sebagai cinta dan kasih sayang. Jadi, kita harusnya berpikir untuk dapat menerapkan ayat an-Nisa ayat 34 dengan cara yang paling sesuai dengan tujuan membina cinta dalam rumah tangga.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.