Nikah Siri, Halal Sontoloyo!

KolomNikah Siri, Halal Sontoloyo!

Di dalam Islam, pernikahan adalah hubungan kemitraan yang sakral. Menikah bukan hanya untuk motif seksual, tetapi juga spiritual, sosial, ekonomi, dan kemaslahatan secara umum. Pernikahan amat dimudahkan di dalam Islam dan dapat dilakukan secara sederhana. Namun, kemudahan menikah yang diberikan Islam itu malah dimanipulasi oleh Muslim sontoloyo, dengan mempraktekkannya secara ilegal, sembunyi-sembunyi, rahasia, tidak tercatat, atau yang biasa disebut Nikah siri.

Banyak orang menganggap nikah siri adalah nikah agama. Namun, nikah siri semestinya tidak dianggap demikian jika nyatanya nikah siri itu, bukan hanya tidak tercatat, melainkan juga mengandung penipuan, modus perselingkuhan, prostitusi, mengakibatkan kerentanan sosial bagi perempuan dan anak, serta dampak negatif lainnya. 

Tidak dimungkiri lagi, pasangan yang memutuskan nikah siri pada umumnya tidak memenuhi syarat perkawinan yang legal dan wajar. Seperti syarat wali, saksi, sertifikat layak kawin, atau persetujuan istri pertama bagi suami yang menikahi seorang istri tambahan. Bahkan, sudah bukan rahasia lagi, nikah siri kerap dipakai sebagai modus prostitusi, perselingkuhan, diam-diam menikahi istri kedua. Praktik-praktik ini sangat merugikan perempuan dan anak. 

Jauh-jauh hari, Bung Karno menyebut praktik masyarakat yang menghalalkan perbuatan menyimpang sedemikian itu dengan sebutan ‘Islam Sontoloyo’. Ia menulis dengan tajam “Memang ini halal, tapi halalnya Islam sontoloyo! Halalnya orang yang mau main petak umpet dengan tuhan!” Memangnya Tuhan tidak melihat, bahwa nikah siri yang saat ini berkembang adalah praktik pernikahan yang disalahgunakan untuk melegitimasi kebobrokan dan kecurangan terhadap asas dan tujuan pernikahan yang sebenarnya suci dan mulia? 

Pada dasarnya memang, menikah cukup dengan syarat dua orang saksi yang dapat dipercaya dan seorang wali. Namun, penting sekali mengetahui juga bahwa,  ‘menyembunyikan atau merahasiakan bukti-bukti sahnya nikah itu tidak disetujui dan tidak diajarkan oleh ulama’. Sebagaimana Ibnu Qudamah menulis dalam kitab Al-Mughni (7:83), jika perkawinan dilakukan dengan seorang wali dan dua orang saksi, tetapi ia merahasiakannya atau menyembunyikan pengesahannya, maka hal itu tidak disetujui, tetapi perkawinan itu sah. 

Nikahnya memang dapat dianggap sah karena memenuhi syarat minimum, tetapi cara-cara pengecut yang sembunyi-sembunyi itu tidak dianjurkan dan bahkan dicegah oleh ulama. Penolakan ini tidak boleh dianggap enteng, sebab hal itu menunjukkan keseriusan masalah etika dan moral yang harus kita ambil, bukan sekadar ‘validitasnya’. 

Oleh sebab itu, sebagian ulama juga menegaskan bahwa menikah secara rahasia itu tidak dapat dipercaya keabsahannya, dan mereka mewajibkan untuk memberitahukan pernikahan secara terbuka kepada umum (i’lam nikah) sebagai syarat sah nikah lainnya, misalnya dengan walimah atau jamuan kerabat dan tetangga. Sebagaimana Imam malik yang mewajibkan l’lam nikah,  Abu Bakar Abdul Aziz berkata, ahli hukum telah menetapkan syarat-syarat perkawinan selain akad, ialah menghilangkan segala kecurigaan perzinahan. Seperti mengumumkannya, pendampingan walinya, dan mencegah perempuan menikah sendiri. Dianjurkan untuk mempublikasikannya, bahkan dianjurkan untuk menabuh genderang, menyiarkan suara, dan mengadakan perjamuan. (I’lam al-Muwaqqi’in 3:113)

Baca Juga  Kurban, Menghapus Tradisi Pengorbanan Manusia

Para ulama tentunya amat menyadari betapa Nabi SAW sangat mendorong umatnya untuk melaksanakan pernikahan secara terbuka. Rasulullah SAW bersabda Umumkan pernikahan ini di depan umum, lakukan di masjid, dan pukul genderang untuk itu (HR. At-Tirmidzi). Dalam riwayat lain, beliau juga bersabda, Perbedaan antara pernikahan yang haram dan yang halal adalah pemukulan genderang dan meninggikan suara (HR.Tirmidzi). 

Islam sangat memuliakan perempuan yang lurus dan menjaga dirinya. Siapapun yang menikahi wanita Muslimah wajib menikahinya secara terhormat, dan berbeda daripada hubungan dengan wanita pezina, selingkuhan, atau simpanan. Allah SWT berfirman, nikahilah mereka dengan izin walinya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai simpanannya (QS. An-Nisa: 25). Jadi, pernikahan yang benar dan wajar adalah pernikahan yang tidak melanggar hukum, yang legal secara agama dan negara.

Nikah siri berisiko bagi perempuan, baik secara sosial maupun hukum. Nikah siri mengundang gosip dan prasangka yang tidak baik, dan secara hukum seorang wanita tidak dapat mengklaim haknya dalam pernikahan, bahkan tidak mungkin memperoleh dokumen pernikahan dan keluarga yang legal. Anak-anak yang lahir dari nikah siri pun juga akan menghadapi resiko yang sama.

Singkatnya, menikah secara rahasia dengan memenuhi persyaratan hukum minimum saja, tidak disetujui secara moral, bahkan berpotensi melanggar hukum dan menyalahi asas pernikahan yang sebenarnya. Laki-laki beriman yang bertakwa akan bersikap bijaksana dan menghindari pernikahan rahasia, terutama jika mereka menikahi istri kedua di belakang istri pertama, keluarganya, dan anak-anaknya. Nikah siri semestinya tidak disebut nikah agama, karena melanggar persyaratan moral yang ditetapkan oleh agama dan negara. Pengkhianatan terhadap istri dan anak, prostitusi berkedok halal, dan hubungan suami-istri yang rentan secara sosial dan hukum, adalah potret penyimpangan di balik nikah siri yang harus kita tolak.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.