Menelaah Kehati-hatian Imam Malik dalam Berfatwa

KolomMenelaah Kehati-hatian Imam Malik dalam Berfatwa

Malik bin Anas adalah seorang fakih dan muhaddis (ahli hadis) masyhur dari Madinah. Penggagas mazhab Maliki ini pada gilirannya dijuluki sebagai Imam Dar al-Hijrah. Hal itu karena proses pembelajaran dan karir intelektualnya tersentral di tanah Madinah. Rasa cinta Imam Malik pada kota Nabi ini begitu besar, membuatnya memilih menghabiskan hidup dan mengabdi di sana. Banyak orang meminta fatwa kepada Imam Malik karena keluasan ilmunya. Namun demikian, tidak semua persoalan yang ditanyakan kepadanya selalu dijawab. Selain sangat berhati-hati dalam berfatwa, Imam Malik pun tak segan mengakui ketidaktahuannya ketika disodori pertanyaan.

Kehati-hatian dalam meneliti hadis berjalan beriringan dengan kewaspadaan Imam Malik dalam berfatwa. Sebelum menemukan kepastian dalil pada nash, ia tidak memfatwakan sesuatu sebagai haram atau halal. Salah satu muridnya bahkan ada yang sampai menyesalkan kehati-hatiannya terhadap fatwa. Mendengar tanggapan demikian, Imam Malik bertafakur hingga menangis, dan mengatakan, bahwa ia khawatir serta takut suatu hari akan disiksa karena fatwanya. Bagaimanapun pemberi fatwa adalah pihak yang bertanggung jawab atas yang difatwakan.

Sikap tersebut mencerminkan seorang ahli ilmu dengan level kesadaran tinggi dan koneksi spiritual yang kuat. Yang melakukan pembacaan kontemplatif terhadap surat al-Isra’: 36 yang menyatakan, Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.

Dalam majelisnya, Imam Malik selalu mengingatkan para pendengarnya agar berhati-hati dalam menyatakan pendapat dan mengeluarkan fatwa. Jika seorang ahli fikih tak dapat memastikan, maka ia harus berani mengakui ketidaktahuannya. Meskipun orang lain tak tahu, seorang ahli ilmu tentu mengetahui kapasitas dirinya, dan pendapat itu mesti jujur. Jangan karena pertimbangan gengsi atau motif tertentu, lalu seorang ulama berfatwa tanpa dasar dan pertimbangan yang matang. Mengakui ketidaktahuan bukanlah hal yang memalukan. Bahkan dikatakan oleh para ulama, bahwa mengikrarkan diri dengan berkata “aku tidak tahu” akan sesuatu adalah bagian dari ilmu.

Alkisah, ada seorang utusan dari daerah jauh yang datang kepada Imam Malik untuk menanyakan suatu persoalan. Secara jujur Imam Malik mengatakan ketidaktahuannya akan perkara tersebut, karena belum pernah terjadi di negerinya dan tidak pernah pula mendengar dari guru-gurunya. Enam bulan perjalanan yang ditempuh utusan tadi membuatnya menolak mundur begitu saja untuk meminta fatwa, hingga Imam Malik pun menyuruhnya datang lagi esok hari.

Setelah memeras pikiran dan menelaah sejumlah buku, Imam Malik tetap tidak menemukan jawaban. Tentu timbul rasa kecewa dari utusan tadi karena ulama yang ia andalkan tak bisa memenuhi harapannya. Namun, daripada sembarangan berfatwa, Imam Malik lebih memilih abstain. Demikianlah Imam Malik memperlakukan fatwa dengan sangat hati-hati.

Persoalan di kalangan umat yang terus bergulir dan belum diketahui status hukumnya mendorong adanya tradisi fatwa melalui mekanisme ijtihad. Yang dilakukan oleh pihak dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni dan dengan sejumlah kualifikasi tertentu dari segi keilmuan serta karakter personal.

Baca Juga  Pelatihan Menulis Artikel Keislaman Bersama Dubes Zuhairi Misrawi

Imam Malik menyatakan, bahwa fatwa adalah salah satu ujian bagi ahli ilmu. Pernyataan ini menarik untuk ditelaah. Biasanya, seorang yang berilmu sangat mudah dijajah kesombongan dan sikap jumawa karena pengetahuannya, yang bisa menjerumuskannya menjadi budak rasa hormat, di mana ia enggan terlihat tidak tahu di mata masyarakat. Dalam hal ini, seorang ulama diuji antara jujur mengakui kealpaannya ketika memang tidak tahu atau berfatwa tanpa ilmu demi memertahankan reputasi dan nama baik.

Selanjutnya, bahwa fatwa sebagai bentuk ujian seorang ahli ilmu dapat dipahami melalui kerangka sosiohistoris dan politik kekuasaan. Ulama dan fatwa dengan daya pengaruhnya yang besar sangat rentan menjadi alat politik suatu pemerintahan yang tak selalu memertimbangkan maslahat dalam mengambil keputusan.

Ambil contoh salah satu fatwa di negeri kita yang tak sehat dan menimbulkan mudarat. Fatwa MUI tahun 2005 yang menyatakan kesesatan Ahmadiyah telah menimbulkan polarisasi di masyarakat. Penetapan fatwa tersebut telah menciderai hak kebebasan berkeyakinan yang dilindungi konstitusi. Kita tak bisa menutup fakta, warga Ahmadiyah tidak satu dua kali menjadi korban teror dan kekerasan karena dampak fatwa. Putusan fatwa ini terlihat tidak mengindahkan prinsip maslahat dan tidak memertimbangkan kondisi realitas, karena alih-alih membuahkan kebaikan, yang terjadi justru penodaan nilai-nilai kemanusiaan yang jauh dari maqashid al-syariah (tujuan-tujuan syariat).

Imam Malik sendiri menampilkan sikap netral dan menjauhkan diri dari keterlibatan dalam politik pemerintahan. Tapi di saat yang sama ia tetap aktif dan tak segan menasihati atau mengritisi pemerintah jika ditemui adanya penyimpangan.

Ungkapan Imam Malik bahwa fatwa adalah suatu ujian bagi ulama, adalah semacam wanti-wanti akan potensi ganda yang dikandung tradisi fatwa. Di satu sisi fatwa merupakan perangkat yang dibutuhkan untuk membantu pemutusan hukum suatu persoalan di masyarakat. Namun di sisi lain, jika otoritas terkait tidak melandaskan fatwa pada asas kejujuran, kejernihan hati, dan pertimbangan maslahat, suatu fatwa bisa berakibat kontraproduktif serta minimbulkan kerugian.

Para ahli ilmu adalah pemegang warisan nabi-nabi yang bertugas menyebarkan pengetahuan dan memandu kehidupan umat manusia. Tanggung jawab besar tersebut mengharuskan pemegang otoritas fatwa untuk selalu berhati-hati dan peka terhadap realitas. Karena berfatwa adalah upaya mencari putusan hukum yang mesti diproses dengan seksama yang mengacu pada prinsip keadilan dan kemaslahatan umum. Kehati-hatian dalam berfatwa yang amat ditekankan Imam Malik, adalah karena karakteristik fatwa yang memiliki potensi ganda, yakni bisa mengundang maslahat tapi rawan pula dipolitisir dan menimbulkan mafsadah. Seenaknya dalam berfatwa bukan hanya memiliki implikasi teologis, tapi juga berbahaya bagi tataran sosial kemasyarakatan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.