Islam Nusantara, Menghormati Tradisi Setempat

KolomIslam Nusantara, Menghormati Tradisi Setempat

Beredarnya video di media sosial yang menampilkan seorang membuang sesajen sembari bertakbir di gunung Semeru disesalkan banyak pihak. Pasalnya, ia ditengarai tidak menghargai kepercayaan masyarakat sekitar yang sesajen tersebut ditujukan kepada duka korban erupsi Semeru. Islam Nusantara menjadi penawar akan permasalahan, bahwa sebagai bangsa Indonesia yang plural sudah sepatutnya menghormati kepercayaan masyarakat dengan tidak merusak tradisi setempat yang sudah menjadi keyakinannya.

Di Indonesia masih banyak masyarakat lokal melestarikan tradisi yang semisal sesajen. Kepercayaan ini disebabkan adanya akulturasi budaya yang sudah mendarah daging dan masyarakat merasa  ada yang kurang atau tidak taat apabila tradisi ini ditinggalkan, seperti Nadran sesajen untuk sedekah laut di wilayah Jawa Barat. Nadran merupakan upacara adat yang kemeriahannya dapat dirasakan masyarakat nasional sebagaimana acara Maulid Nabi SAW.

Oleh karena itu, terkait banyaknya kecaman terhadap pembuangan sesajen adalah hal yang dimaklumi. Sejauh ini, Indonesia berupaya membangun negara yang memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap kepercayaan masyarakat yang plural. Itu sebabnya, tak ayal bila menurut organisasi umat Hindu yang melaporkan kepada Polda Jatim terkait insiden yang terjadi, wilayah Lumajang yang mayoritas masyarakatnya masih berpegang pada kepercayaan, sikap penendangan sesajen merupakan suatu penghinaan bagi budaya Nusantara, khususnya bagi umat Hindu.

Telah diketahui bahwa penyebaran Islam di Nusantara memiliki karakter khas yang membedakan dengan kawasan lainnya. Ia tidak disebarkan dengan ekspansi (al-fath) sebagaimana kebanyakan negara Islam yang terjadi di negara Islam lain, seperti di Timur Tengah dan wilayah Eropa. Akan tetapi, Islam yang tersebar di Tanah Air lahir melalui kearifan lokal. Sebuah proses akulturasi budaya yang menghindari dari banyaknya pertentangan terhadap perbedaan kepercayaan dan suku di wilayah sekitar. Lantaran kebijakan Walisongo sebagai aktor penyebar Islam, Nusantara menjadi role model religion yang terbaik untuk mengantisipasi sikap ekstrem dalam beragama.

Keteladanan ini direfleksikan dengan cara menghormati tradisi setempat, meski terkadang apa yang diyakini dalam Islam dinilai bertentangan. Namun, setiap orang tidak bisa mengikuti irama keagamaan yang dianut sebagaimana umat Islam. Mereka memiliki keimanan yang mana, boleh jadi apa yang diajarkan Islam dalam agama mereka juga disebut bertentangan. Bagi Muslim ekstrem, persembahan sesajen apapun bentuknya itu bagian dari menyekutukan Tuhan, sementara bagi penganut agama tertentu itu bagian dari penghambaan yang taat, karena memberikan persembahan sebagai bentuk syukur, permohonan perlindungan, dan pertobatan lainnya.

Baca Juga  Kerajaan vs Khilafah

Senada dengan anjuran al-Quran yang mengatakan, untukmu agamamu, untukku agamaku (QS. Al-Kafirun: 6). Memberi kebebasan dalam beragam bagi para penganutnya adalah ideologi dasar negara kita Pancasila. Jadi ketika kita dapat berdamai dengan penganut agama yang tak sama, itu artinya seseorang telah menjadi umat beragama yang menjalankan nilai-nilai al-Quran sekaligus warga negara yang baik.

Lantas bagaimana dengan sikap Nabi Muhammad yang ketika penaklukan Makkah berhala-berhala yang ada di Ka’bah dihancurkan? Apakah itu artinya beliau tidak menghormati kepercayaan masyarakat Mekkah? Pertanyaan seperti ini memang terlihat menguliti isu yang terjadi, tetapi sejatinya tidak sama sekali. Saat fathul Makkah, beliau memiliki otoritas penuh terhadap Ka’bah sebagai simbol tempat yang disucikan umat Islam tanpa adanya pertumpahan darah setetespun.  

Jadi wajar bila berhala yang ada di Ka’bah disapubersihkan. Ibaratnya, tidak akan diperkenankan bagi mereka yang meletakkan sesajen atau patung-patung sesembahan di dalam masjid, karena jelas itu tidak etis. Sebaliknya, bila di gereja-gereja terisi dengan ukiran-ukiran kaligrafi ayat al-Quran tentu akan melakukan hal yang sama.

Kendati berhala-berhala yang ada di Ka’bah dihancurkan, tetapi tidak dengan tempat lain. Beliau mengajak masyarakat Arab untuk memeluk Islam, tetapi tidak memaksa masuk Islam dan melarang melakukan ibadah yang diyakininya. Beliau sangat egaliter dan bijak. Menjalin diplomasi dengan raja-raja non-Muslim dan memberi jaminan perlindungan kepada mereka yang taat terhadap aturan kesepakatan. Konstitusi ini disebut dengan Piagam Madinah.

Walhasil, Islam Nusantara dengan peristiwa fathul Mekkah memiliki semangat perdamaian yang sama dalam menghormati tradisi setempat. Demikian dalam tradisi Jawa, sesajen tidak melulu dimaksudkan untuk meminta tolong atau berkomunikasi dengan jin. Makanan, bunga-bunga, sayur, dan buah-buahan biasa orang Jawa meletakkannya ketika mendirikan rumah, akikahan, puputan, panen, padi, dan sebagainya seraya untuk memohon pada Allah SWT agar hasil maqsud.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.