Membangkitkan Kepekaan Muslim Terhadap Krisis Lingkungan

KolomMembangkitkan Kepekaan Muslim Terhadap Krisis Lingkungan

Konferensi Iklim Glasgow yang bertajuk COP26 secara resmi dimulai pada tanggal 31 Oktober 2021 kemarin. COP26 merupakan harapan global demi kemajuan nyata dalam aksi iklim. Kita hampir kehabisan waktu untuk menyelamatkan bumi dan makhluk hidup dari pemanasan. Berdasarkan laporan World Meteorological Organization (WMO), tujuh tahun terakhir merupakan tujuh yang terpanas dalam catatan sejarah. Kesehatan bumi menurun drastis, kondisi planet tempat tingga kita ini terdorong ke dalam pola yang belum dipetakan, dengan dampaknya yang luas bagi generasi sekarang dan mendatang. Apa langkah masyarakat Muslim bagi isu ini?

Pada dasarnya, krisis ekologi patut menyadarkan manusia dari kesombongan dan kecongkakan atas eksploitasi alam yang menyimpang. Kita diajarkan untuk bertaubat dari perbuatan eksploitatif dan melampaui batas yang menyebabkan musibah. Dalam ajaran Islam, bencana dianggap sebagai teguran Tuhan atas dosa dan maksiat manusia. Sehingga, kita harus segera melangkah untuk taubat.

Taubat mendatangkan kedamaian batin dan ketenangan jiwa yang luar biasa dalam menghadapi krisis dan bencana alam. Namun, pandangan teologis yang mendefinisikan bencana alam sebagai murni kehendak tuhan, atau mengkaitkannya dengan kekurangan ritual ibadah manusia saja, tak jarang justru menjelma menjadi deretan spekulasi belaka dan tidak melahirkan perbaikan. Padahal, taubat harus diiringi dengan Islah (perbaikan) dan amal shalih. Allah SWT berfirman, Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. (QS. Al-Furqan: 71)

Penafsiran bencana alam sebagai akibat dari perbuatan maksiat, sangat kental di masyarakat religius tradisional. Taubat merupakan solusi utama masyarakat Muslim atas maslaah ini. namun, solusi agama atas bencana alam kerap tidak menyentuh inti masalah, dan kini berubah menjadi perangkap teologis. Kecenderungan untuk menunjuk kelalaian ibadah manusia, sebagai faktor utama penyebab musibah adalah bagian dari pandangan teologi masyakat yang cenderung fatalistik, hal demikian tentu bukan rumusan teologis yang ideal tentang krisis ekologi dan perubahan iklim.

Masyarakat Muslim pada akhirnya memiliki kepekaan yang rendah terhadap lingkungan yang mengalami pengrusakan. Memang betul bahwa bencana disebabkan dosa dan maksiat, tetapi bukan dosa semata-mata karena kurangnya zikir, shalat, atau puasa masyarakatanya, melainkan dosa dan maksiat pada tatanan ekologis, yakni melalaikan perhatian terhadap ekologi atau lingkungan hidup. Para ulama dan ustadz kebanyakan begitu sensitif membahas jilbab, gerakan shalat, atau sunnah-sunnah puasa, tetapi tidak peka terhadap persoalan kerusakan lingkungan di sekitarnya.

Kebanyakan ustadz dan da’i kita lebih fokus mengajarkan ketentuan Tuhan tentang ibadah-ibadah ritualistik, seperti shalat, puasa, dan haji (Qadha tasyri’iy). Padahal, di samping Qadha tasyri’iy, Tuhan juga menetapkan ketentuan alamiah berdasarkan hukum sebab akibat dalam sunnatullah (Qadha takwiniy), yang mestinya melahirkan refleksi spiritual yang sangat kontekstual.

Masyarakat Muslim perlu diajarkan untuk memperhatikan Sunnatullah yang berkenaan dengan alam semesta. Kita perlu didorong untuk menanggapi secara serius berbagai permasalahan lingkungan hidup dan segala yang berkaitan dengan Itu. Dalam buku yang berjudul Islam Jalan Tengah, Yusuf al-Qaradhawy menuturkan, di antara kezaliman terbesar manusia atas dirinya sendiri ialah ketika dia tidak melihat hubungan keharusan timbal balik antara manusia, alam sekitar, dan masyarakat. Hal demikian mengakibatkan manusia mengabaikan perannya, dan tidak meletakkan dirinya pada posisis sebagai penduduk dan pengurus penjuru-penjuru alam, sesuai dengan asas-asas hukum alam yang terkandung didalamnya.

Baca Juga  Blame The Women Syndrom, Bagaimana Islam Menanggapi?

Dari sini, perlu disadari pentingnya ajaran Islam yang menggugah manusia untuk melihat lebih cermat, lebih tajam, dan lebih dalam lagi seputar keharmonisan antara manusia, bumi, dan alam sekitarnya. Bencana akibat kerusakan ekologis mengindikasi ketidakberesan yang amat serius antara manusia dan alam yang dapat dikategorikan sebagai dosa dan maksiat ekologis. Sangat diperlukan keterlibatan dan tanggung jawab moral-etik ajaran agama untuk mengharmonisasikannya kembali. Ada ingatan di dalam diri setiap Muslim tentang alam sebagai teater Kreativitas dan Kehadiran Ilahi. Maka dari itu, penting untuk menyadari kembali bahwa alam sangat penting bagi umat manusia, dalam istilah Seyyed Hosen Nasr, ‘Resakralisasi Alam’.

Dalam bukunya yang berjudul Religion and The Order Of Nature, Seyyed Hosen Nasr menurutkan bahwa alam telah disakralkan oleh Tuhan. Resakralisasinya berarti transformasi dalam diri manusia yang telah kehilangan Pusat Suci dalam dirinya, untuk melihat kembali kualitas sakral alam, sehingga dapat menemukan kembali spiritualitas dalam dirinya.

Pada daasarnya, ekologi adalah bagian tak terpisahkan dari ‘Pandangan Dunia’ (Weltanschauung) Islam. Pesan-pesan untuk menjaga keseimbangan alam sangat kuat di dalam al-Quran. Seperti, pesan agar tidak melupakan peran duniawi dalam mencegah kerusakan lingkungan (QS. Qashsas: 77), konsekuensi musibah yang sebenarnya akibat dari kerusakan yang dibuat manusia (Q.S. Asy-Syura: 30), Mempertanggungjawabkan kerusakan alam yang disebabkan karena perbuatan tangan manusia (QS. Ar-Rum: 41), serta manusia dianugerahi potensi untuk mengatasi musibahnya (Qs. At-Taghabun: 11).

Penamaan surat-surat al-Quran dengan nama tumbuhan, hewan, unsur alam, dan sumber daya alam, sepererti an-Naml, at-Tin, Az-Zariyat, al-Hadid, adalah isyarat yang menarik. Menurut Yusuf al-Qaradhawy dalam bukunya yang lain, Islam Agama Ramah Lingkungan, mengatakan bahwa pemberian nama-nama surat yang berhubungan dengan alam tersebut, merupakan simbol-simbol yang mengarah pada petunjuk kepada manusia untuk ramah dan menjaga harmonisasi dengan lingkungan.

Alam penuh dengan tanda-tanda (ayat) Tuhan, mempelajari dan memahaminya merupakan sebuah ibadah. Ajaran Islam mencakup juga interaksi umat Islam dengan lingkungan alam. Banyak pemikir Islam kontemporer yang mengemukakan ‘solusi monoteistik’ untuk krisis lingkungan. Misalnya, gagasan tentang hubungan antara etika Islam dan alam dari Parvez Manzoor, yang dituangkannya dalam makalah berjudul Environment and Values: The Islamic Perspective. Ia menyatakan bahwa, memakmurkan semesta alam dengan etika transenden (wahyu) adalah tujuan utama manusia menurut al-Quran.

Prinsip-prinsip Islam berupa al-tawhid (kesatuan yang juga menyiratkan keterkaitan), khilafah (penataan dan pengelolaan), amanah (kepercayaan), al-Syari’ah (etika), ‘adl (keadilan), dan i’tidal (keseimbangan atau moderasi), merupakan nilai-nilai yang perlu digunakan sebagai tanggapan Islam terhadap krisis Alam yang mengancam umat manusia.

Dengan demikian, siapapun yang berbicara tentang bencana alam atas nama Islam, perlu menghadirkan pemikiran-pemikiran spiritual-teologis yang lebih bersifat transformatif dan holistik. Anjuran taubat yang sering disuarakan para ulama dan pendakwah, berlu diupgade menjadi bukan sekadar taubat ritual di masjid-masjid, tetapi juga taubat yang berupa aksi dan tindakan perbaikan dan pelestarian alam, mencegah pihak manapun yang mengekploitasi alam secara menyimpang. Transformasi semacam itu hanya dapat terjadi melalui kebangkitan kembali kepekaan agama tentang tatanan alam. Pandangan agama amat penting untuk mengarahkan dan mengubah aktivitas manusia, serta memberikan makna spiritual pada hubungan antara manusia dan tatanan ekologis.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.