Menyoal Hukuman Mati untuk Murtad

KolomMenyoal Hukuman Mati untuk Murtad

Apostasi menjadi salah satu diskursus yang masih kencang diperdebatkan. Dalam literatur Islam klasik, wacana tersebut mencakup tiga hal, yaitu keluar dari Islam, penistaan terhadap simbol-simbol sakral agama, dan/atau mengikuti aliran yang menyimpang. Tulisan ini secara khusus akan menyoal pembahasan seputar murtad atau riddah (keluar dari Islam).

Murtad menjadi isu kontroversial karena menyangkut soal Islam dan kebebasan beragama yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Letak perdebatannya adalah pada konsekuensi yang akan diterima oleh pelaku murtad, yaitu hukum bunuh sebagaimana dikabarkan dalam hadis.

Ada beberapa versi hadis yang diletakkan sebagai dalil pembenar hukuman tersebut. Namun yang paling terkenal dan sahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mengubah agamanya, maka bunuhlah ia.”

Selanjutnya riwayat dari Abdullah bin Mas’ud yang berbicara tentang haramnya membunuh seorang Muslim, kecuali dari tiga golongan, yang salah satunya adalah orang yang meninggalkan agama Islam, dan bersamaan dengan itu ia adalah al-mufariq lil jamaah, yakni memisahkan diri dari kaum Muslimin. Kedua versi redaksi ini bisa dilacak pada kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Semua statusnya ahad, dan tidak satu pun yang masuk dalam kategori mutawatir.

Hadis tersebut terasa janggal dan terkesan sadis. Padahal, Islam secara tegas mendeklarasikan diri sebagai agama yang fair dan tidak memaksa siapapun untuk memeluknya. Jelas al-Quran mengatakan, Laa ikraha fi al-dinyang bermakna “Tidak ada paksaan dalam agama”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 256).

Kredo utama yang mencitrakan Islam sebagai agama yang terbuka dan mengakui HAM ini kemudian digugat dan dipertanyakan. Apa benar Islam berkomitmen dengan spirit ayat tersebut? Jika iya, lalu kenapa seseorang yang mengambil haknya untuk keluar dari Islam terancam hukuman mati yang sudah jelas menyalahi konsep HAM?

Dalam literatur fikih klasik, murtad dikategorikan sebagai jarimah hudud, yaitu kejahatan kriminal yang hukumannya telah ditetapkan oleh nas. Namun, ketetapan hukuman terkait murtad ini dianggap problematis. Pasalnya, dasar hukum yang digunakan hanya berupa hadis ahad tadi. Padahal, jarimah hudud harus berpegang pada dalil yang qat’i, minimal hadis mutawatir. Mengingat, hukuman-hukuman tersebut porsinya telah diatur oleh Allah SWT. Maka dari itu, alangkah lebih tepat jika murtad dikelompokkan pada kategori jarimah ta’zir yang lebih fleksibel bergantung pada variabel yang menyertainya.

Selanjutnya, suatu hadis harus dipahami secara komprehensif dan ditilik apa konteks yang melatarinya. Dalam hal ini, pernyataan Nabi tersebut terjadi pada musim perang. Kala itu ada sebagain pasukan Muslim yang berjiwa munafik melakukan tindakan desersi (pengkhianatan terhadap negara dengan membelot dan berpihak kepada musuh).

Selain itu, hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud sebenarnya juga telah menjadi penafsir terhadap riwayat hadis Ibnu Abbas. Maka teranglah, bahwa ‘illat hukumnya (alasan yang menyebabkan lahirnya hukum) adalah adanya pengkhianatan kepada umat Muslim, itupun diawali dengan upaya penyadaran untuk kembali terlebih dahulu.

Mengenai kalimat al-mufariq lil jamaah, Ibnu Taymiyah dalam kitab al-Sarim al-Maslul ‘ala Syatim al-Rasul, mengartikannya sebagai orang yang memerangi Allah SWT dan Rasul-Nya. Pemaknaan ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah.

Dalam kaitan ini, al-Quran sama sekali tidak menyebutkan ancaman hukum bunuh bagi yang memutuskan murtad. Bisa kita telaah melalui surat al-Kahfi ayat 29 yang justru menunjukkan, bahwa Allah SWT sangat terbuka menerima sikap hamba-Nya; akan berimankah ia atau sebaliknya. Jauh dari kesan memaksa apalagi mengancam.

Baca Juga  Gus Mus: Terorisme Lahir dari Kebodohan dan Kedengkian

Mahmud Syaltut dalam kitabnya al-Islam ‘Aqidah wa Syariah menyebutkan, bahwa sanksi bagi orang-orang yang murtad lebih kepada sanksi moral dan akhirat, eksklusif diberikan oleh Allah SWT kepada pelakunya. Hal ini mengingatkan kita akan kesadaran dasar, bahwa keyakinan manusia terhadap agama adalah wilayah privat yang tidak selayaknya diintervensi oleh siapapun. Beberapa ayat yang terkait dengan ini adalah QS. Al-Baqarah [2]: 217, Q.S. Al-Imran [3]: 90, Q.S. An-Nisa’ [4]: 137, dan Q.S. Al-Maidah [5]: 54.

Melalui rekam sejarah Nabi, tidak pula dijumpai kejadian yang membuktikan bahwa Rasulullah pernah SAW membunuh pelaku riddah. Satu contoh, terkisah ada seorang Nasrani yang memeluk Islam dan menjadi salah satu katib (penulis) wahyu. Ternyata di kemudian hari ia keluar dari agama Islam dan kembali menjadi Nasrani. Melihat hal ini, nyatanya Rasul tidak membunuhnya atau mengeluarkan perintah untuk menghabisinya.

Secara logika, tindakan murtad an sich, semata-mata tidak akan berdampak aniaya atau kezaliman bagi orang lain. Menjadi tepat jika bukan sanksi fisik yang akan ia terima. Kemudian, logisnya jika mengonversi agama lalu serta-merta dibunuh, hal ini justru akan menjadi momok tersendiri bagi kalangan non-Muslim yang ingin masuk Islam. Ia merasa tidak aman, kalau saja setelah beriman Islam ia ingin kembali pada kepercayaan sebelumnya.

Hukum positif yang berlaku di Indonesia secara jelas menjamin kebebasan beragama bagi masyarakatnya. Seperti terlampir pada Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Masyarakat Internasional juga telah satu suara mengenai jaminan HAM yang termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Hal ini termaktub dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) pada 10 Desember 1948.

Uraian di atas agaknya telah menepis anggapan bahwa Islam adalah agama yang girang dengan kekerasan dan haus darah. Al-Quran, hadis, serta spirit HAM telah menemukan titi temu. Islam menegaskan, bahwa orang yang keluar dari Islam bisa terancam hukuman mati apabila disertai dengan upaya spionase untuk melecehkan harga diri Islam serta memerangi Allah SWT dan Rasul-Nya.

Hukum bunuh bukan sembarang sanksi yang bisa seenaknya diterapkan. Fatwa mati bisa berpotensi ditengarai sebagai izin untuk membunuh oleh orang-orang yang gemar melakukan tindakan main hakim sendiri. Pembunuhan kepada pelaku riddah, alih-alih dipandang sebagai perbuatan kriminal, malah dianggap sebagai “tugas keagamaan”. Jika ditemui kejadian seseorang membunuh orang lain karena beralih keyakinan, jelas itu adalah tindak kriminal yang tidak bisa dibenarkan.

Kebebasan beragama berlaku parsial jika dalil agama dipahami dari satu sisi. Yang menjadi fokus pembahasan hadis di atas adalah pelaku desersi, bukan orang yang sekadar mengonversi keyakinannya karena panggilan hati.

Tidak hanya mengatur urusan manusia. Islam dan perangkat ajarannya juga dijiwai oleh semangat kemanusiaan. Oleh karena itu, jika mendapati ajaran Islam terkesan kontras dengan semangat kemanusiaan, berarti kerangka ajaran tersebut belum sepenuhnya terlihat, sehingga perlu eksplorasi dalil lebih lanjut. Untuk itu, upaya pendewasaan masyarakat agar tidak terjebak pada kesimpulan dangkal terhadap suatu dalil agama adalah hal yang perlu.

Islam sebagai agama cinta kasih adalah premis mutlak. Darah bukan komoditi yang diobral sebagai alat untuk memperbanyak jemaah. Islam justru menempa nalar kemanusiaan pengikutnya agar terbiasa bersikap elegan dalam mendialogkan teks dengan konteks. Maka dari itu, bagi sesiapa yang mengambil jalan untuk menanggalkan Islam tanpa tujuan merusaknya, darah, harga diri, serta hartanya tetap terlindungi. Wallahu a’lam.

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.