Keadilan Menurut Bung Hatta

KolomKeadilan Menurut Bung Hatta

Jika ditanya pemimpin Indonesia yang hampir sempurna dalam karakter dan integritas pribadi, maka Mohammad Hatta (Bung Hatta) adalah jawabannya. Bung Hatta adalah sosok pemimpin yang konsisten, wawasan intelektualnya sangat jauh ke depan, etika politiknya yang prima dan anggun banyak diakui kawan dan lawan. Dalam suasana sengketa politik dengan Bung Karno misalnya, walau komunikasi politik keduanya terputus, tetapi komunikasi persaudaraan di antara keduanya tetap langgeng.

Tidak hanya Bung Karno, Bung Hatta pun sebagai pendiri bangsa mempunyai gagasan dalam hal kerakyatan, yakni perjuangan mencapai sebuah keadilan dan kesejahteraan sosial. Sumbangsihnya terhadap pemikiran demokrasi ia abadikan dalam karya-karyanya. Dalam hal demokrasi misalnya, ia menempatkan menjadi dua inti pemikiran, yakni cita-cita negara hukum yang demokratis dan penolakan terhadap individualisme.

Dalam penolakan Bung Hatta terhadap individualisme, ia beranggapan bahwa kedaulatan rakyat Indonesia harus berhulu kepada kultur masyarakat kita sehari-hari, yaitu kolektivisme. Ia menyatakan bahwa cita-cita perjuangan Indonesia adalah menciptakan terlaksananya dasar-dasar perikemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi politik saja, dianggapnya tidak mempresentasikan persamaan dan persaudaraan. Karena disebelah demokrasi politik harus berlaku pula demokrasi ekonomi, yang secara tegas ia katakan bahwa koperasi adalah sebagai bentuk konsep keadilan kerakyatan. Bung Hatta, sebagaimana jarang kita ketahui, ia adalah Bapak Koperasi Indonesia.

Koperasi adalah cita-cita mewujudkan keadilan Bung Hatta yang semu. Kehadirannya tidak pernah mengudara, bahkan tergerus bersama suburnya kapitalisme. Padahal, sebagai pendiri bangsa dan pakar ekonomi, Bung Hatta paham betul ekonomi macam apa yang selaras dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang plural. Ia sendiri, sebagaimana Bung Karno sangat menolak kapitalisme. Perjuangannya menolak kapitalisme tidak pernah surut. Dan itu terabadikan dalam Undang Undang Dasar 1945 di beberapa pasal. Khususnya, Pasal 33 tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.

Bung Hatta yang juga dijuluki sebagai Bapak Koperasi, menekankan bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Hal itu termaktub dalam Ayat 2 di Pasal 33 UUD 45, bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Namun, sebagaimana kita ketahui. Di usia kita yang sudah beranjak ke angka 75 tahun, ketimpangan dan ketidakadilan dalam bidang ekonomi masih menjadi persoalan. Badan Pusat Statistik (BPS), sebagaimana mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2020 mencapai 9,78 persen. Jumlah ini meningkat 0,56 persen poin terhadap September 2019 dan meningkat 0,37 persen poin terhadap Maret 2019. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang, terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019.

Baca Juga  Humanisme dalam Tawaf

Fakta ini jelas, jauh dari cita-cita keadilan dan kesejahteraan yang dikonsepsikan Bung Hatta. Keadilan dan kesejahteraan kian kabur dari harapan. Keadilan dan kesejahteraan sosial yang mestinya menjadi faktor penting dalam keberlangsungan berbangsa-bernegara merasa tersisihkan oleh kepentingan individualisme dan kelompok elite. Amanat UUD 45 tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia secara kasat mata diburamkan.

John Rawls (1980) dalam bukunya teori keadilan mengatakan, bidang utama keadilan adalah susunan dasar masyarakat. Susunan dasar masyarakat meliputi konstitusi, pemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi, dan pasar kompetitif. Dalam artian Rawls memusatkan keadilan pada bentuk-bentuk hubungan sosial yang membutuhkan kerjasama. Baik kerjasama antar pemerintah dan masyarakat, maupun masyarakat dengan masyarakat secara mandiri. Fungsi susunan dasar masyarakat adalah mendistribusikan beban dan keuntungan sosial yang meliputi kekayaan, pendapatan, makanan, perlindungan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, hak-hak dan kebebasan bersama demi terwujudnya keadilan sosial.

Menyaksikan keadilan dan kesejahteraan sosial dewasa ini, yang belum juga beranjak ke singgasana memuaskan, bukan berarti perjuangan keadilan Bung Hatta telah berakhir. Perjuangan mesti harus menggelora. Pemerintah dan masyarakat sudah saatnya, bekerja bersama membangun keadilan dan kesejahteraan sosial, seperti warisan dari Bung Hatta. Jangan ada lagi praktik perselingkuhan di antara pemerintah dan yang diperintah sehingga menimbulkan pesakitan salah satunya.

Di saat demokrasi kita yang mulai terbuka dan era globalisasi yang semakin masif, seharusnya semangat perjuangan meraih cita-cita keadilan dan kesejahteraan sosial ala Bung Hatta tidak boleh tertutup. Ia mesti berjejer sama rata dan sama tinggi dengan modernisasi. Sebagaimana Bung Hatta berpesan, “Kita tidak boleh larut dalam kehambaran, sebab sebuah bangunan demokrasi yang sehat dan berkeadilan pasti akan terwujud asalkan kita punya tekad untuk memperjuangkannya.

Tetap semangat, meraih keadilan!

Artikel Populer
Artikel Terkait

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.