Bung Karno: Pemimpin itu Mencintai Rakyatnya

KolomBung Karno: Pemimpin itu Mencintai Rakyatnya

Deicnorates seorang arsitek kondang Yunani pada suatu hari dipanggil Alexander Agung. Raja adiluhung Makedonia (356-323 SM) yang ingin membangun ibukota kerajaannya. Deicnorates mempresentasikan agar ibukota sebaiknya didirikan di atas Gunung Athos dan dibangun menyerupai manusia sehingga dapat menambahkan keagungan nama sang Raja. Lantas, Alexander bertanya “di mana rakyatku nanti hidup?” Deicnorates memohon ampun, karena sedikit pun tidak memikirkan hal itu. Akhirnya, ibukota kerajaan dibangun di bilangan Sungai Nil yang subur dan kaya air.

Alexander adalah seorang pemimpin yang masyhur, dicintai, dan mencintai rakyatnya. Pantas, jika gelar Agung disandingkan dalam namanya. Di samping karena membentang luas wilayah kekuasaannya, pun karena keberpihakkannya kepada rakyat sehingga menjadikan namanya harum di seantero dunia hingga kini. Dan dewasa ini, rakyat bangsa-bangsa di dunia memimpikan pemimpin layaknya Alexander Agung.

Di Indonesia, sebelum julukan “merakyat” dilabelkan kepada pemimpin kita sekarang. Jauh sebelum itu, Bung Karno lebih dulu masyhur dengan kosa kata itu. Kita melihat Alexander Agung dalam sosok Bung Karno. Pemimpin besar bangsa, yang namanya tidak kalah agung dengan wilayah kekuasaannya: Nusantara. Dalam literatur-literatur histories bangsa, Bung Karno digambarkan sebagai sosok yang dicintai dan mencintai rakyatnya. Bukan tanpa sebab, sebagai pemimpin, berdekatan dengan rakyat dan dapat mencium bau keringat kerja-keras rakyatnya adalah memang keistimewaan Bung Karno itu sendiri. Cindy Adam, sebagaimana dalam bukunya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. Bung Karno berkata, “Aku ingin berbaur dengan rakyat. Itulah yang menjadi sifatku.”

Bung Karno ditakdirkan untuk lahir dan mati membela kepentingan bangsa dan rakyatnya. Perjuangannya terhadap bangsa tidak hanya sekadar dalam meraih kemerdekaan saja, tetapi lebih dari itu. Sepanjang usianya, ia deklamasikan semua untuk membela kepentingan-kepentingan rakyat yang lemah. Di latarbelakangi kehidupan yang serba kekurangan dan terbelenggu kekuasaan kolonialisme, lantas tidak membuatnya menjelma pemimpin yang otokrat. Ia malah dengan tegas menempa, menyadarkan, dan menciptakan revolusi mental masyarakat untuk bangun, tegak berdiri, serta tegap mewujudkan Indonesia merdeka.

Di samping namanya yang agung sebagai pemimpin pertama negeri yang kaya dan melimpah sumber daya alamnya. Bung Karno agung dan disegani banyak pemimpin-pemimpin dunia. Tidak terkecuali Uni Soviet dan Amerika. Namun, terlepas dari kebesaran itu, Bung Karno adalah seorang yang sangat dekat dengan rakyat. Kelemahan dan kemiskinan orang lain tidak luput dari perhatiannya. Sikap inilah yang menjadi energi penggerak bagi ia dalam misi perjuangan serta membela nasib orang-orang lemah.

Baca Juga  Islam Fundamentalis dalam Bingkai Siber  

Dengan lantang, Bung Karno mengutuk segala bentuk kolonialisme dan kapitalisme. Yang dalam pandangannya, kedua hal tersebut adalah cikal-bakal lahirnya struktur masyarakat eksploitatif yang bermuara pada imperialisme, baik imperialisme politik maupun imperialisme ekonomi. Bagi ia, kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme adalah penghalang besar bagi setiap bangsa yang menghendaki kemerdekaan. Semangat membangun demikian, yang berorientasi pada kepentingan rakyat dan kalangan tertindas Niccolo Machiavelli menyebutnya sebagai Virtue. Kebajikan yang bersumber pada Res Publica (semangat kerakyatan), yang menjadi asal-muasal “Republik”, (buku Politik Kerakyatan menurut Niccolo Machiavelli: 2015).

Dikisahkan Eddi Elison, wartawan istana era Bung Karno dalam bukunya Membaca Sukarno dari Jarak Paling Dekat. Bung Karno adalah pemimpin yang sangat cinta dan memikirkan rakyatnya. Bung Karno sangat mengidolakan Khalifah Harun al-rasyid yang gemar blusukan. Pada satu malam, Bung Karno blusukan di pasar Tanah Abang. Ia melihat sendiri bagaimana sibuknya pasar itu. Bung Karno berkomentar, “lha, di situ rakyatnya uyek-uyekkan. Uyek-uyekkan perlunya apa? Hidupnya rakyat ini bagaimana? Apa sengsara? Saya amat terharu.”

Bung Karno adalah Alexander Agung dalam jelmaan masa dan tempat yang berbeda. Ia sebagai pemimpin layak menjadi cerminan pemimpin-pemimpin kita kini dan yang akan datang. Ia tidak hanya dicintai, tetapi juga mencintai rakyatnya. Kebesarannya sebagai pemimpin tidak segan-segan untuk menggendong orang-orang yang lemah. Gelar “merakyat” yang didedikasikan kepadanya, ia manifestasikan dalam bentuk nyata tanpa mengecewakan rakyatnya.

Pendek kata, Bung Karno akan tetap abadi bersama perjuangan-perjuangannya. Keteladanan Bung Karno berpijak dalam jalan kepentingan rakyat semoga menjadi bekal untuk pemimpin-pemimpin kita, kini dan nanti.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.