Nasionalisme Kita, Menjawab Tantangan Zaman

KhazanahNasionalisme Kita, Menjawab Tantangan Zaman

“Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke”, Bung Karno.

Indonesia lahir dari rahim hasil persilangan penderitaan dan semangat. Penderitaan sebab hidup dalam belenggu kolonial, serta semangat sebab ingin menjadi bangsa yang merdeka dan satu.

Semangat kebangsaan (nasionalisme), bagi Indonesia bukan hanya sekadar konsep, tetapi lebih dari itu. Semangat kebangsaa adalah proses ijtihad, proses empiris yang menjadi tonggak perjuangan para pendiri bangsa. Yang memposisikan prasyarat bahwa Indonesia mesti menjadi satu kesatuan yang utuh.

Rumusan dan pengertian kebangsaan di Indonesia tumbuh subur di berbagai kelompok, yang menjadi dasar pokok politik dengan berimajinasi (imagined communities) akan terbentuk sebuah bangsa yang merdeka, yaitu kemerdekaan Indonesia.

Dalam sejarahnya, pemupukan semangat kebangsaan kita tidak hanya mencangkup terhadap golongan Indonesia saja, tetapi juga golongan keturunan Tionghoa, Asia Timur, dan Belanda sendiri, yang kala itu menjadi bagian dari penjajah. Yang menganggap Indonesia sebagai national home, (Kartodirdjo, 1990).

Semangat kebangsaan yang mulanya tumbuh dan berkembang di ruang lingkup para kaum terpelajar, dan merambah ke seluruh sendi-dendi masyarakat Indonesia, akhirnya dapat menjadi bagian integral dari fundamental berbangsa-bernegara. Yaitu, Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi falsafah dan sumber hukum tertinggi.

Namun, dalam perjalanannya semangat kembangsaan berbarengan dengan menguatnya arus globalisasi yang diprakarsai dengan revolusi industri dan digital, berdampak terhadap pasang-surutnya menyelami makna kebangsaan itu sendiri.  Pasang-surut, yang menurut Sugiyarto, sebagai upaya-upaya mendramatisir proses sejarah kelahiran Pancasila sebagai ideologi negara.

Realitas kebangsaan di era globalisasi terus mengalami ujian, baik besar maupun kecil. Konflik-konflik yang dapat menggerus keharmonisan bermasyarakat di atas perbedaan terus terjadi, bahkan seolah-olah riskan untuk dihindari dalam kondisi masyarakat Indonesia yang plural. Perbedaan etnis, suku, ras, bahasa, dan agama yang mestinya menjadi khazanah kebangsaan yang dilestarikan dan dirawat, justru malah menjadi agak sulit dijadikan etos kebudayaan terhadap masyarakat dalam berbangsa-bernegara.

Padahal, era revolusi digital bukan hanya sekadar globalisasi yang menciptakan tatanan dunia baru terhadap bangsa-bangsa saja, tetapi ia telah menjelma tantangan dan ancaman nyata bagi bangsa-bangsa dunia, tidak terkecuali Indonesia. Globalisasi yang ditandai dengan derasnya arus informasi tanpa batas antara bangsa di berbagai belahan dunia. Di satu sisi, ia menguntungkan dalam persaingan global. Namun, pada sisi yang lain dapat menjadi bumerang, dengan mudahnya masuk budaya dan paham-paham transnasional yang berpotensi merusak soliditas dan solidaritas kebhinekaan masyarakat Indonesia.

Kenichi Ohmae, penulis Jepang menyatakan, globalisasi akan membawa kehancuran Negara-negara kebangsaan. Dalam kaitan itu, A.M. Hendro Priyono juga menegaskan, di era globalisasi negara-negara yang mengembangkan proses demokrasi akan mendapatkan tantangan yang sangat hebat. Karena itu, menelisik dari perkembangan kebangsaan kita di era globalisasi. Sedikitnya, kita dihadapkan pada beberapa problem yang mesti menjadi pekerjaan bersama.

Deras dan terbuka lebarnya pintu terhadap masuknya paham-paham transnasional. Khususnya, paham-paham radikal dan liberal. Maraknya persaingan ekonomi global yang telah membawa dampak buruk terhadap pengendali ekonomi mikro lokal. Selain itu, ada problem tergerusnya semangat kebangsaan, cinta Tanah Air generasi muda. Sebab, lebih mendewakan budaya dan peradaban global.

Dari beberapa persoalan di atas, yang berkaitan erat dengan kebangsaan dewasa ini. Menjadikannya sebagai pertanyaan besar, masihkah relevan semangat kebangsaan kita menjadi fundamen terciptanya reaksi terhadap tantangan zaman?

Dalam hubungannya, menjawab persoalan zaman yang kian kompleks. Baiknya, dalam titik ini kita dapat melihat dari dua sudut pandang. Yakni, pendekatan historis dan studi kritis, pendekatan penelitian yang memiliki tujuan untuk mengembangkan kesadaran kritis dan tindakan kritis dalam menghadapi masalah-masalah sosial kemasyarakatan (Connole, 1993).

Baca Juga  Gus Nadir: Tetap Juara Ramadhan di Negeri Minoritas Muslim

Kebangsaan (nasionalisme) Indonesia, yang menurut Bung Karno merupakan kristalisasi keinginan bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang merdeka, dibungkus perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa tertindas. Yang telah melahirkan empat konsensus berbangsa-bernegara (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika), mestinya dapat menjadi acuan dan jawaban tantantangan dari masa ke masa.

Pancasila, yang secara historis berkembang dan terbuka selalu dapat menyesuaikan diri dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan zaman serta persoalan generasi, dengan tanpa mengubah esensinya. Di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai kebangsaan yang meliputi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, sehingga menjadikannya sebagai pionir bernegara.

Nilai ketuhanan, misalnya. Ia mestinya menjadi penekanan dalam pemahaman tiap-tiap masyarakat Indonesia, bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa atheis. Nilai ketuhanan juga memiliki arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antar-umat beragama.

Jelas, di sini kita ditekankan pada satu prinsip yang final. Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi keberagaman, baik budaya, bahasa, ataupun agama, sehingga menjadi negara yang berasaskan Pancasila, bukan komunis, sekuler, apalagi khilafah yang merupakan produk impor.

Dalam permasalahan lain, tidak dapat diragukan lagi bahwa transformasi ekonomi dan teknologi yang dilahirkan oleh globalisasi telah menciptakan sejumlah masalah sosial, terutama bifurkasi antara yang menang dan yang kalah, (Peter Beyer & Lory Beaman, 2007).

Arus ekonomi global, telah menjadi momok terhadap pengendali ekonomi mikro lokal. Indonesia, seakan terlihat loyo dan tidak dapat bersaing menghadapi kenyataan ini. Padahal, jika saja kita mau menelisik lebih jauh makna yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan representasi dari nasionalisme Indonesia, kita akan menemukan konsep ekonomi khas Indonesia. Yakni, ekonomi pancasila.

Prof. Dr. Mubyarto, pakar ekonom Indonesia mengartikan, ekonomi Pancasila menurut ia adalah suatu sistem ekonomi yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Era globalisasi juga membawa dampak terhadap menggerusnya tatanan budaya Indonesia. Masyarakat Indonesia, kaum muda khususnya kerap kali menjadi bulan-bulanan, sebab minimnya rasa nasionalisme juga cinta terhadap budaya Tanah Air mereka sendiri. Mereka malah lebih mendewakan budaya dan paham-paham impor.

Nyatanya, nasionalisme sebagai semangat telah mengantarkan para pendiri bangsa membawa kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang tidak mudah ditempuh, bahkan diraih dengan mengorbankan darah jutaan para pejuang.

Bung Karno, sebagaimana pesannya, kita mendirikan bangsa ini, mendirikan negara ini, dalam rangka untuk mencapai suatu tujuan dari revolusi Indonesia. Dalam mendirikan negara itu pasti ada gangguan-gangguan, dalam arti subversi-subversi. Namun, kalau sudah subversi mental, subversi ideologi, maka Tanah Air yang akan tersubversi. Jika Tanah Air tersubversi. maka tinggal ambruknya negara ini.

Dari uraian di atas, cukup jelas bahwa inti dari persoalan globalisasi era revolusi digital ini, kebangsaan (nasionalisme) kita sudah dari jauh-jauh hari tercipta sebagai acuan jawaban terhadap tantangan zaman.

Nasionalisme kita mampu berkontribusi dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera, bermartabat, dan berkeadilan. Nasionalisme kita yang merupakan hasil dari pernyataan imajinasi dan ungkapan perasaan telah mendorong lahirnya gagasan-gagasan baru dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga menjadi solusi terhadap persoalan-persoalan dikotomi. Antara lama dan baru juga tradisionalitas serta modernitas. Nasionalisme kita sejatinya harus melahirkan solusi atas tantangan zaman ini. 

Artikel Populer
Artikel Terkait