Bolehkah Badal Haji bagi Orang Hidup atau Mati?

KhazanahHikmahBolehkah Badal Haji bagi Orang Hidup atau Mati?

Ibadah haji menjadi impian bagi semua umat Muslim. Bahkan, tak jarang mereka berharap Tuhan memanjangkan usianya agar kelak bisa mencicipi berziarah ke baitullah. Itu sebabnya, meski antrian tunggu haji yang sepuluh tahun lebih lamanya, sama sekali tidak menyurutkan mereka untuk mendaftar dan tetap menunggu keberangkatan haji, walaupun usia mereka telah senja dan kondisi yang tidak sehat, bahkan terkadang kewafatan menjemputnya terlebih dahulu.

Badal haji merupakan menggantikan proses pelaksanaan ibadah haji orang lain yang memang diwajibkan berhaji tetapi tidak dapat melaksanakannya, seperti sakit keras, lanjut usia, dan wafat. Mengutip buku Ketawa Sehat Bareng Ahli Fikih buah karya Khaeron Sirin (2016), seorang fulan datang menemui Rasulullah Saw dan menceritakan perihal orang tuanya yang bernazar haji, tetapi tidak menunaikan karena ia wafat. Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas, seorang fulan bertanya, apakah saya boleh menunaikan nazar orangtua saya untuk berhaji? Nabi Saw menjawab, bila ayahmu berhutang apakah kamu mau membayar hutangnya? Fulan menjawab, tentu saja. Lalu beliau menegaskan, utang kepada Tuhan lebih pantas lagi untuk dibayarkan (HR. Bukhari).

Oleh karena itu, dapat dimengerti jika utang kepada manusia saja harus dibayar, maka utang kepada Allah pun lebih wajib untuk dibayarkan. Melaksanakan wasiat atau nazar bagi umat Muslim itu wajib, terlebih bagi anak hal tersebut adalah sebuah keniscayaan sebagai tanda bakti kepada orang tua bila orang tuanya memiliki tanggungan yang memang harus dibayarkan. Namun, perlu diuraikan kembali kiranya penjelasan badal haji yang diwajibkan sebab semua orang bisa saja bernazar atau berwasiat untuk dihajikan, tetapi bagaimanapun badal haji harus dilaksanakan berdasarkan syarat haji, yakni berhaji bagi yang mampu (istitha’ah) khusus bagi badal haji ia mampu secara materi baik dari sisa harta warisannya atau orang yang diamanahi wasiat memiliki harta yang cukup.

Adapun syarat badal haji di antaranya, yaitu orang menghajikan harus sudah melaksanakan ibadah haji, tidak boleh menggabungkan dengan haji orang lain lagi, dan orang yang menghajikan sudah akil baligh dan sehat jasmani. Mengenai badal haji, para ulama sebenarnya berbeda pendapat tentang tidak atau bolehnya badal haji dilakukan berdasarkan alasan dan situasinya. Menurut Abu Hanifah, badal haji bagi orang yang hidup itu wajib, misalnya ia memiliki kewajiban untuk menunaikan haji karena istitha’ah dalam materi, akan tetapi terhalang oleh lemahnya fisik. Sementara membadalkan haji bagi orang yang sudah meninggal itu boleh, akan tetapi menjadi wajib bila diwasiatkan.

Baca Juga  Takfirisme Wahabi Sumber Ekstremisme Islam

Kemudian menurut Imam Malik, badal haji bagi orang yang hidup itu makruh dan lebih mendekati pada tidak sah, meskipun ia mampu secara materi, haji dominan bersifat badaniyah, ketimbang amal sehingga badaniyah tersebut yang harus diberangkatkan. Imam Malik juga mengatakan, haji itu hanya bagi orang yang hidup dan tidak dapat digantikan, apalagi ketika orang tersebut sudah meninggal. Namun, bagi mereka yang berwasiat agar dihajikan sekaligus menitipkan biaya ONH (Ongkos Naik Haji) maka itu menjadi wajib dilaksanakan.

Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, baik orang yang hidup maupun yang sudah wafat, sedangkan seseorang tersebut memiliki harta yang cukup untuk membiayai orang lain untuk menggantikan atau badal haji maka wajib hukumnya. Alasan mumpuni dalam materi, tetapi lemah fisik sehingga membuat orang yang seharusnya berhaji ini menjadi tak berdaya dihukumi wajib dibadalkan haji.

Jadi badal haji bagi orang yang hidup maupun orang yang telah mati di sini terjadi khilafiyah hukum. Memang pendapat yang paling kontras di sini adalah pendapatnya Imam Malik yang secara tegas mengatakan makruh karena sifat haji yang badaniyah tadi sehingga badal haji terbatas dilakukan pada mereka yang berwasiat dengan memberi harta yang cukup saja. Siapapun pendapat yang diikuti, imam madzhab memiliki argumentasinya masing-masing yang kuat dengan ijtihadnya. Boleh atau tidaknya badal haji tergantung pendapat imam yang diikuti.

Artikel Populer
Artikel Terkait