Memotret Wajah Media Islam Kita

KolomMemotret Wajah Media Islam Kita

Media Islam menjadi andalan Muslim mayoritas di Indonesia. Media sosial yang berwawasan Islam dinilai lebih aman dan solutif, khususnya seputar keagamaan. Namun, mesti diingat konten media Islam bukan berarti bebas dari cacat karena membawa dalil dan perspektif keagamaan. Karena itu, apapun media sosialnya kesadaran mencerna informasi mesti ada.

Minat user terhadap media sosial, akhir-akhir ini kian meroket utamanya bahasan keagamaan. Penyebab pastinya belum dikenali betul, tapi fenomena ini bisa dilihat dari gejala meningkatnya ekspresi keberagamaan seseorang. Misalnya, Project Officer GEMAR semarak gerakan menutup aurat 2020 (GEMAR) akan menggelar dan tersebar di 53 daerah se-Indonesia. Alawiyah Tuti memilih Jakarta sebagai pusat pawainya dengan borongan 1000 massa. Ia juga mengatakan hijab adalah keputusan final ulama salaf. Bahkan kini GEMAR, sudah mendapat dukungan dari Pemkot Padang dan Pemkot Palopo (12/02).

Gejala ini bisa menjadi salah satu permulaan mencuatnya media Islam sebagai adopsi user di media sosial sekarang. Melalui media sosial kita bisa mengenal hukum hitam putih, artinya kalau tidak wajib, maka hukumnya haram. Media sosial dakwah yang seperti ini sudah masuk dalam kawasan lampu merah, sebab bagaimanapun dalam hukum Islam kita mengenal ikhtilaf. Jadi mereka yang mengatakan hijab adalah keputusan final tentu tidak moderat dan netral terhadap ikhtilaf.

Setiap media Islam dalam media sosial memiliki karakter yang tak sama berdasarkan ideologi yang diadopsi medianya. Beberapa corak media bisa dikategorikan memiliki paham Islam yang moderat, fundamentalis, radikal, ekstrem dan teroris. Dikategorikan moderat bila persoalan yang disolusikannya tidak dari hukum hitam putih, merumuskan persoalan dari perspektif yang beragam tidak subyektif, kajian agama selalu relevan dengan perkembangan zaman, dan mementingkan kemaslahatan.

Dikategorikan fundamentalisme, bila persoalan yang diusung adalah kedangkalan. Memahami teks keagamaan secara tekstualis dan menolak pembaharuan apapun terkait Islam. Misalnya, fenomena hari kiamat semakin dekat oleh orang fundamentalis kerap tampil di media sosial sebagai peringatan di setiap peristiwa yang terjadi, kesempitan ekonomi yang tengah menimpa Tanah Air sedang dikabungkan pertanda  akan datangnya Imam mahdi dan Dajjal akibat pandemi korona-19. Berita ini terlihat sengaja dibuat genting, sehingga yang memicu kepanikan mental user yang terpengaruh. Dan pernah terdengar pula seorang ustadz di siber, mengklaim menonton film Peramal Roy Kiyoshi  hukumnya adalah haram, berdosa dan pahala ibadahnya tidak akan diterima selama 40 hari.

Baca Juga  Humor Abu Nawas tentang Shalat Tanpa Rukuk dan Sujud

Kemudian masuk pada level radikalisme, bila karakter yang dibawa dalam media tersebut mengindikasi pada pemikiran yang dasar, tekstual mengartikan dalil, dan aksi tapi belum sampai pada tahap menyakiti, seperti gerakan menutup aurat dengan membagikan hijab untuk perempuan yang tidak berhijab, mengatakan Pancasila itu invalid, mengklaim kafir seperti dalam telegram kanal @hizbuttahririd @salamdakwah @salafyways @jalanlurus, dengan hasil Survei dari Persepsi Orang Muda dan Pemetaan Internet Social Media tentang Radikalisme dan Ekstremisme Indonesia, di Gedung University Club, Universitas Gadjah Mada, (2016).

Selanjutnya, media Islam kategorikan memiliki level paham ekstremis, bila pemikirannya mulai mengajak pada aksi pemaksaan dan kekerasan yang melukai dan lebih cela dari radikalisme,

Terakhir, media sosial yang harus dihindari kalau karakteristik terorisme sudah menjurus dalam bahasa kontennya, terorisme adalah level paling klimaks. Misalnya mengajak untuk berperang, mengebom, memusnahkan Non-Muslim yang dianggap kafir, dengan iming-iming mendapat surga jika berani mati bunuh diri melawan orang kafir. Paham ekstremis yang berkedok Islam ditemukan di media sosial sebanyak 60 telegram dan 30 forum diskusi yang mengirimkan doktrin pesan kekerasan 80 sampai 150 pesan perharinya, menurut Salahudin pengamat terorisme di UI (2018).

Sebenarnya, asal destinasi media Islam sebagai dakwah atau memahami keislaman merupakan pangkal bahasannya. Meski isi topiknya seiring waktu kadang berubah tidak membahas keislaman, sebab media akan tertinggal dan tak dilirik user atau freerider, bila tidak merespons isu-isu yang tengah terjadi atau viral.

Meski demikian, ironisnya sejumlah media sosial yang berkedok Islam. Hendaknya kita bisa memetakan media Islam sesuai kadar kritis pemikirannya. Kata kunci dari mereka tidak jauh-jauh dari kata kafir, jihad, sesat, syariat Islam, tolak demokrasi, antek asing, komunis liberal, pengkhianat agama dan musuh agama, seperti yang dirangkum oleh The International Center for Counter-Terrorism (ICCT) berbasis Den Haag (2017).

Jembatan user agar terhindar dari wajah media Islam di media Islam adalah berani, sadar, mengkritisi pesan atau informasi apa yang disampaikan dalam kontennya. Jika pemahaman keagamaan diambil dari sumbernya langsung tentu lebih baik dan sudah semestinya begitu. Maka dari itu, belajar dari buku atau jurnal, baik cetak maupun digital itu akan menjadi argumen yang tak terbantahkan. Media Islam tetaplah media pada umumnya, jadi jangan mudah dimanipulasi oleh media sosial yang berlabelkan media Islam.

Artikel Populer
Artikel Terkait