Medsos Memicu Krisis Mental

KolomMedsos Memicu Krisis Mental

Film dokumenter The Social Dilemma tayang di Netflix, mengkritisi mental aktivis pengguna media sosial. Persepsi publik yang mudah berubah ketika melihat opini di media sosial memicu krisis mental freereader yang impresif. Film ini dirilis sebagai bahan edukasi untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial.

Jeff Orlowski adalah sosok di balik populernya film dokumenter The Social Dilemma, yang dirilis sejak 09 September 2020. Dalam filmnya, ia mengilustrasikan kondisi mental manusia yang kronis akibat efek samping dari kemajuan teknologi. Ini bagian dari kelalaian kita sebagai manusia yang kurang teliti dalam meninjau lebih lanjut atas apa yang tercipta.

Media sosial dianggap sebagai salah satu senjata mapan, yang tengah memicu krisis mental masyarakat. Misalnya, motivasi diciptakannya tombol ‘suka’ pada aplikasi Facebook adalah untuk menyebarkan energi positif agar merasa dicintai. Namun, tombol ini tak sesuai harapan awal, ia terpinggirkan dan muncul sebagai awal problem, yang menyebabkan mental remaja menjadi tertekan ketika tak mendapat banyak respons ‘suka’, dan ini tak terpikirkan oleh mereka dan juga kita.

Meskipun Berryman (2017), tidak setuju kalau media sosial dapat menyebabkan krisis kesehatan mental, tapi ia mengungkapkan media sosial bisa mempengaruhi kesehatan mental  tergantung bagaimana seseorang menggunakan media sosial. Kualitas dan cara penggunaan media sosial lebih memengaruhi kesehatan mental ketimbang waktu yang dihabiskan.

Hal ini diakui oleh Tristan Harris, presiden dan salah satu pendiri Center for Humane Technology, juga mantan desainer estetika Google. Ia mengatakan, setiap fitur dalam aplikasi semuanya secara kebetulan dibuat untuk mempengaruhi pemikiran manusia. Mereka bahkan belajar ilmu psikologi manusia dan menekuni bidang teknologi persuasif agar bisa mendalami fitur, yang menjadikan seseorang senang dan kecanduan untuk terus menatap layar.

Itu sebabnya, kita sering tidak menyadari akan terjadinya sejumlah kasus orang tua mengeluhkan anak-anaknya kepada dokter. Terlalu lama menatap layar memicu pada gangguan kejiwaan. Sekitar 300 pasien yang ditangani Rumah Sakit Marzuki Mahdi (RSMM) Bogor, 75 di antaranya mengalami gangguan karena gawai termasuk media sosial dan game online.

Ira Savitri Tanjung seorang spesialis kedokteran jiwa sekaligus psikiater anak dan remaja RSMM, mendapatkan aduan, bahwa salah satu pasien yang bernama Syamsul Arifin (12) mengalami perubahan perilaku agresif ketika kuota internetnya habis. Syamsul tidak mau mengaji, sekolah bahkan berani memecahkan piring ketika kemauannya tak segera dikabulkan.

Baca Juga  Penjelasan Hadis Laa Dharara wa Laa Dhirara

Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial RSMM, Dr. Lahargo Kembaren, mengungkapkan pemakaian gawai yang berlebihan akan menimbulkan gangguan jiwa, seperti depresi, keadaan tegang yang tidak bisa membedakan antara ilusi dan kenyataan, perasaan senang dan sedih direspons secara berlebihan.

Berdasarkan indikasi dan kasus yang terjadi, pengelolaan sistem media sosial yang tidak sehat menjadikan penggunanya terlihat lebih buruk. Karakteristik adiktif yang melekat pada teknologi dan fitur aplikasi tanpa sadar menyihir manusia (magic). Sebagaimana yang analogikan Tristan Harris, teknologi persuasif ini sangat ampuh memperdaya manusia.

Jika menggunakan media sosial seseorang mengalami gejala kesulitan tidur, kurang percaya diri, cemas, dan melakukan perilaku buruk yang dianggap keren. Maka gejala yang muncul tersebut merupakan bagian dari risiko yang tengah dihadapi seseorang karena ketidaksehatan mental.

Disarankan bagi pengguna medsos yang mengalami gejala yang tersebut di atas, hendaknya berhenti atau membatasi akses media sosial, untuk menghindari terjadinya gejala krisis mental yang fatal, seperti mudah berhalusinasi dan sulit membandingkan dunia nyata dan dunia maya.

Langkah demi langkah harus mulai diperhatikan. Notifikasi, tawaran iklan, rekomendasi video atau konten lain yang ada dalam media sosial memiliki sifat adiktif. Karena itu, cobalah melakukan pengaturan agar cukup informasi penting dan bermanfaat saja yang muncul dalam layar ponsel kita. Menggunakan media sosial dengan bijak dengan selektif memahami dan berbagi informasi.  

Ada fakta yang menarik perhatian saya pada segmen wawancara terakhir oleh insider industri teknologi dalam film dokumenter The Social Dilemma, beberapa dari mereka menerapkan aturan ketat tentang penggunaan media sosial. Mereka berterus-terang melarang anak-anaknya untuk mengakses media sosial dengan pelbagai alasan kekhawatiran, bahkan tak akan membiarkan anak-anaknya melirik layar sampai umur 16 tahun atau usia anak SMA.

Oleh karena itu, film dokumenter The Social Dilemma memiliki nilai yang tak bisa diabaikan di era digital sekarang. Krisis mental yang dipicu oleh media sosial harus segera ditangani bersama agar kita bisa melihat dunia nyata yang lebih indah lagi. Kerja sama dari sistem teknologi media sosial dan pilihan sikap adalah penentunya, tetap atau tidaknya kita menjadi kelinci percobaan.

Artikel Populer
Artikel Terkait