Skeptisisme Vaksin Merusak Tatanan Sosial

BeritaSkeptisisme Vaksin Merusak Tatanan Sosial

Proses vaksinasi di Indonesia telah bergulir kurang lebih setengah tahun. Seperti yang sudah-sudah, temuan medis sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran virus ini selalu memunculkan perdebatan lintas kalangan. Tidak sedikit pihak yang menolak vaksinasi. Pemeliharaan skeptisisme (kecurigaan) patogenik menjadi salah satu penyebab hal tersebut, yang kemudian melahirkan komunitas anti-vaksin.

Mereka secara mendadak, biasanya tampil sebagai ‘ahli’ dengan susul-menyusul mengajukan teorinya masing-masing. Gelombang ketidakpercayaan terhadap vaksin semacam ini menjadi hulu kekacauan stabilitas serta tatanan sosial, yang terangkum dalam wujud terhambatnya mitigasi wabah.

Vaksinasi adalah sebentuk ikhtiar medis untuk mempercepat terbentuknya kekebalan tubuh seseorang. Seturut dengan itu, proses penyebaran virus pun dapat ditekan. Tanpa stimulus vaksin, diperlukan waktu lebih lama untuk membentuk imunitas terhadap virus. Untuk itu, ketika penanganan wabah terkendala karena keengganan masyarakat menerima suntikan vaksin, hal ini akan memunculkan deret efek negatif, baik untuk personal maupun komunal. Pelbagai pihak harus menanggung kerugian hanya karena asumsi tidak berdasar yang seolah teoretis.

Stimulus rasa curiga terhadap vaksin akan berbanding lurus dengan penurunan kepercayaan publik akan manfaat ataupun keamanannya. Hal ini meningkatkan potensi berjangkitnya virus. Korban berjatuhan akan semakin tinggi, disusul dengan keterbatasan fasilitas dan tenaga medis. Dampak lebih luasnya adalah perlambatan pemulihan sektor ekonomi dan kian terbelakangnya kualitas pendidikan.

Negeri ini menyajikan wajah yang cukup membuat geleng-geleng kepala. Hampir semua otoritas yang terkait dengan mitigasi pandemi, menerima penghakiman dari masyarakat. Terlepas dari beragam kealpaan yang memang dilakukan otoritas-otoritas tersebut, sejumlah oknum sumbu pendek menampilkan sikap yang kurang proporsional. Mereka tak hanya menggugat, tapi juga menghujat, tanpa kontribusi solusi. Selain itu, kondisi darurat pandemi, sejatinya bukan lagi momen untuk meributkan legalitas vaksin dari otoritas agama. Mengingat Islam sendiri menyediakan beberapa opsi hukum dengan diferensiasi kondisinya.

Kecurigaan masyarakat pada vaksin umumnya berkaitan erat dengan teori konspirasi yang merebak. Agen konspirasi ialah mereka yang merasa dirinya adalah timbunan pengetahuan. Sangat gemar berceramah mengenai apa saja dengan bumbu cocokologinya.

Skeptisisme dalam teori konspirasi, oleh Stahl serta Van Prooijen (2018) disebut sebagai kombinasi antara cara pandang analitis dan motivasi untuk menjadi sesuatu yang rasional. Ada subyektifitas kepentingan dalam proses menganalisis fakta agar bersesuaian dengan logika arus utama.

Keberadaan teknologi internet menyebabkan diaspora teori konspirasi virus kian buas. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengungkap, bahwa selain pandemi itu sendiri, dunia juga dalam situasi darurat menghadapi infodemi yang menjadi patogen bagi psikologi masyarakat. Banyak orang yang menelan bulat-bulat informasi simpang siur dan hoaks yang membuat kewaspadaan mereka menurun, bahkan ada yang mementahkan keberadaan virus ini sama sekali.

Salah satu teori konspirasi yang populer beredar di momen pagebluk ini ialah isu, bahwa vaksin hanyalah alibi untuk kepentingan korporasi global. Melalui vaksin, microchip akan ditanam pada seseorang yang menerima injeksi vaksin korona sebagai alat untuk melacak keberadaanya.

Konspirasi sering kali berupa pembahasan ‘alternatif’, sebagai narasi penolakan atas kejadian yang telah disampaikan oleh para ahli. Dengan kata lain, otoritas ilmu pengetahuan dan penelitian pakar yang teruji, menjadi kerdil di hadapan skeptisisme para penganut teori semacam itu. Hal ini, diungkapkan oleh Nichols (2020) sebagai fenomena matinya kepakaran.

Penolakan terhadap nasihat para pakar dianggap sebagai penegasan otonomi seseorang, utamanya di iklim terbuka demokrasi. Dalam pengamatan Isaac Asimov, anti-intelektualisme telah dipelihara oleh gagasan keliru, bahwa ketidaktahuan saya sama berharganya dengan pengetahuan anda. Antara ahli dan seorang awam seolah tidak lagi ada bedanya. Hal ini menjadi semacam kultus akan ketidaktahuan, yang sangat berbahaya bagi ontologi ilmu pengetahuan itu sendiri.

Baca Juga  Gunakan Medsos Sebagai Ladang Dakwah

Konspirasi menjadi komoditi yang laku keras di masyarakat. Dalam pengamatan Institut Reuters, para produsen teori ini hadir sebagai pembawa jawaban dari hasrat ingin tahu masyarakat. Bersamaan dengan itu, publikasi dari riset tentang Covid-19 dinilai cukup lamban. Hal ini membuat arus bawah meragukan pernyataan pakar serta menganggap pemerintah tidak tanggap.

Fenomena anti-vaksin salah satunya ditengarai oleh pengalaman riset ilmiah yang memuat kecacatan hasil. Sekalipun memiliki kualifikasi memadai dan diakui, pakar juga bisa keliru. Ini merupakan hal yang wajar dan manusiawi. Ketidakpercayaan terhadap pakar dan pengetahuan yang telah mapan, akar perkaranya ialah kegagalan seseorang untuk memahami, bahwa kesalahan pakar tentang hal tertentu, tidaklah sama dengan kesalahan terus-menerus mengenai semua hal.

Faktanya, para pakar lebih sering benar daripada salah. Sayangnya, sejumlah kalangan tetap memilih memenangkan asumsi kecurigaan kepada otoritas keilmuan dan mengabaikan kontribusinya yang telah teruji serta menguntungkan. Padahal, Islam pun menandaskan pengakuannya atas otoritas kepakaran, sekaligus memerintahkan kita agar bertanya pada seorang yang ahli bilamana kita tidak tahu.

Di lain sisi, suatu studi kepercayaan vaksin global menunjukkan, bahwa dorongan sentimen politik serta agama membuat histeria anti-vaksin kian meriah. Klaim bahwa vaksin berbahan baku babi selalu mengemuka, sehingga menimbulkan kegaduhan warga Muslim yang memperdebatkan aspek kehalalannya. Yang tidak kalah bombastis adalah isu mengenai campur tangan Yahudi dalam konspirasi vaksin. Antisemitisme yang mendiami tubuh umat Islam, dikooptasi untuk semakin menjauhkan wacana vaksin dari jangkauan masyarakat Muslim.

Curiga pada dasarnya bukan suatu hal yang salah. Namun, jika perasaan skeptis tidak dibarengi dengan pembuktian yang memadai, itu hanya akan menyumbang kesesatan dan bias informasi. Yang jika terus bergulir, akan terdengar seperti fakta. Nichols (2020) menuturkan, bahwa skeptisisme semacam itu merupakan penolakan tak berdasar pada otoritas yang diakui. Sedangkan, skeptisisme dan argumentasi yang didasarkan pada prinsip serta data ialah pertanda kesehatan intelektual.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksin berkait kelindan dengan teori konspirasi. Teori macam ini dapat mengakibatkan efek samping pada kondisi psikologis dan sosial seseorang. Mengacu pada informasi abu-abu terkait vaksin, tidak akan memberikan sumbangsih apapun selain instabilitas dan terkoyaknya tatanan sosial. Dunia kepakaran dibunuh oleh supremasi subyektifitas asumsi. Yang pada akhirnya dapat membahayakan kesehatan mereka sendiri dan orang terdekatnya. Kecurigaan patogenik akan memperburuk rencana pemulihan kesehatan, pendidikan, serta ekonomi.

Pandemi ini merupakan musuh dan tanggung jawab kolektif kita. Adapun vaksin adalah temuan medis yang didedikasikan untuk membantu mengentaskan penyakit manusia. Meredusir pikiran negatif tentang vaksin bisa dimaknai sebagai cara sederhana menghargai usaha para ahli serta kontribusi kita dalam penanggulangan pandemi. Kecurigaan terhadap vaksin setidaknya dapat diatasi dengan memilah informasi dari sumber terpercaya, otoritas pemerintahan, maupun dari pakar. Pemerintah pun harus lebih terbuka dan akomodatif terhadap tuntutan rakyat. Vaksin yang beredar di negeri ini telah melewati uji klinis bonus label halal dan suci dari MUI. Untuk itu, tak lagi ada alasan menolak ikhtiar penyembuhan ini. Mari tetap kritis, waspada, serta saling jaga. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait