Syahid Tanpa Perang

KhazanahHikmahSyahid Tanpa Perang

Syahid merupakan kategori kematian yang sangat indah bagi umat Islam. Syahid yang dalam definisinya berarti ‘orang yang terbunuh di jalan Allah’, ialah sebuah kematian yang penuh kemuliaan dan ampunan Allah SWT. Orang yang meninggal dalam keadaan syahid diyakini langsung memperoleh kenikmatan surga. Tidak heran, seseorang heroik yang mati akan dihormati oleh komunitas Muslim seakan-akan Tuhan telah menerimanya sebagai syuhada, meskipun tidak diketahui secara pasti.

Sebagian masyarakat muslim mengidentikkan syahid sebagai orang yang mati saat berjihad di medan perang, hal ini tidak keliru, tetapi belakangan menimbulkan masalah sebab orang yang mengejar mati syahid nyatanya malah berbuat tidak lazim karena berorientasi pada perang di masa damai. Tidak sedikit kelompok muslim yang memiliki ilusi perang dalam kondisi yang relatif damai seperti di negeri kita saat ini. Mereka acapkali mengacungkan senjata atau permusuhan atas nama jihad serta didoktrin untuk mati syahid, dibawah komando tokoh yang tidak memiliki otoritas untuk menyerukan jihad perang.

Padahal, hak menentukan jihad dengan strategi perang, menurut pendapat ulama mayoritas, di antaranya Syaikh Muhammad ‘Afifi al-Akiti, hanya dipegang oleh otoritas kepala negara atau presiden di negara Muslim, bukan individu atau kelompok, sekalipun ia seorang ulama. Tokoh pemimpin gerakan seperti Osama bin Laden atau siapapun,tidak mempunyai otoritas teologis untuk menyatakan perang atau serangan-serangan teror dan kekerasan. Sayangnya, banyak orang yang terhasut untuk merelakan nyawa demi mengejar gelar syuhada dengan kelompok-kelompok menyimpang seperti itu.

Ambisi untuk mencapai kesyahidan dengan menggelar peperangan, disebabkan oleh pandangan yang sempit dan fanatik. Sebenarnya, di dalam literatur keislaman terdapat perluasan kategorisasi kesyahidan di luar konteks peperangan. Seperti jihad itu sendiri yang tidak terbatas pada pertempuran fisik, Nabi SAW mengajarkan pula bahwa keshalehan dan ketekunan dalam kehidupan sehari-hari, dapat menghasilkan pahala yang setara dengan jihad di medan perang. Maka dari itu, kesyahidan pun tidak terbatas pada kematian dalam peperangan saja.

Keluasan kategori untuk mencapai kesyahidan bergema lebih keras ketika masyarakat Muslim tidak hidup dalam kultur peperangan lagi. Mati syahid karena dibunuh dalam perang menjadi sangat terbatas dan kurang memungkinkan, apalagi misalnya bagi wanita yang secara budaya tidak ikut berperang. Sedangkan, ragam kesyahidan yang lebih luas dari arti khususnya, dapat diterapkan pada hampir semua orang. Jalaluddin As-Suyuthi mengumpulkan sebagian besar kualifikasi kesyahidan dalam tradisi Islam menjadi satu buku yang diberi judul Abwab al-Saʿada fi Asbab Al-Syahada.

Dalam bukunya tersebut, Imam As-Suyuthi menyebutkan berbagai perluasan predikat kesyahidan di luar konteks asalnya, di antaranya tujuh kategori syuhada yang bersumber dari hadis Nabi SAW. Dalam suatu riwayat Rasulullah SAW bersabda, ada tujuh jenis kesyahidan selain dibunuh di jalan Allah, yaitu orang yang meninggal karena wabah adalah syuhada, orang yang tenggelam adalah syuhada, orang yang meninggal karena pleuritis adalah syuhada, orang yang meninggal karena penyakit keluhan internal adalah syuhada, orang yang dibakar sampai mati adalah syuhada, orang yang terbunuh oleh gedung yang runtuh di atasnya adalah syuhada, dan seorang wanita yang meninggal saat hamil adalah syuhada ( HR. Abu Dawud, no. 3105)

Baca Juga  Grand Syaikh al-Azhar: Jaga Persatuan dan Jangan Mudah Mengafirkan

Insiden-insiden yang termasuk dalam kategori kesyahidan dalam hadis tersebut, mempromosikan sifat non-agresif, atau kesyahidan tanpa perang, terpisah dari kesyahidan aktif bersenjata yang dicapai melalui medan pertempuran. Selain itu, kategori ini mencairkan batas-batas jender dengan membuat kesyahidan dapat diakses oleh perempuan yang secara tradisional tidak memiliki bagian dalam jihad militer.

Fakta bahwa kesyahidan ternyata memiliki alternatif yang beragam selain ‘terbunuh di medan perang’ penting untuk dipahami oleh masyarakat Muslim. Hal demikian agar Muslim tidak terjebak dalam pemahaman sempit yang memandang peperangan sebagai satu-satunya jalan kesyahidan, sehingga cenderung mencari-cari musuh. Senada dengan itu, Ignaz Goldziher dalam bukunya Muslim Studies (1971) memberikan komentar bahwa penambahan kategori-kategori ini dirancang untuk meredam desakan fanatik terhadap kesyahidan yang umum di masa-masa awal Islam.

Faktor lain yang mungkin berkontribusi dalam perluasan kualifikasi kesyahidan adalah dorongan untuk memprioritas perjuangan spiritual. Maka dari itu, tradisi sufi turut mengembangkan gagasan kesyahidan dalam konteks jihad melawan hawa nafsu. Bagi kalangan sufi, ada keistimewaan yang sama antara prajurit dan orang yang shalih. Dikutip dari W. R. Husted (1993) Imam al-Ghazali menyatakan bahwa, setiap orang yang menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan dalam perang melawan keinginannya sendir, merupakan syuhada ketika dia menemui ajal tanpa berpaling.

Dengan demikian, ada beragam alternatif syahid tanpa perang dalam tradisi kepercayaan umat Islam yang begitu dekat dengan keseharian masyarakat Muslim. Kesyahidan bergema dalam sunyi, tanpa perlu pengakuan manusia. Pengembangan gagasan kesyahidan tanpa perang dalam khazanah Islam, merupakan alasan yang cukup kuat untuk menentang semakin maraknya romantisasi gagasan mati syahid bersenjata belakangan ini.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait