Nyai Solichah Teladan Perempuan Nahdliyyin

KolomNyai Solichah Teladan Perempuan Nahdliyyin

Lahir dari rahim seorang ibu yang luar biasa, tidak ayal jika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) masuk dalam jajaran orang berpengaruh membela kemanusiaan di dunia. Nyai Solichah, ibu dari Gus Dur ini merupakan aktivis Muslimat NU yang kiprah sosial dan politiknya melalang buana. Semangat kemanusiaannya senantiasa terpanggil, tak peduli meski ia seorang single parent yang harus menghidupi keenam anaknya secara mandiri, kehadiran Nyai Solichah selalu menjadi teladan bagi sekitarnya.

Mulanya, Nyai Solichah Bisri dikenal sebagai istri dari pahlawan nasional KH. Abdurrahman Wahid. Di sisi lain, nasabnya yang baik karena keturunan dari tokoh-tokoh Islam Indonesia membuatnya masyhur sebagai kalangan yang dihormati masyarakat. Yakni, ayahnya, KH. Bisri Syansuri dan Ibunya bernama Noor Khodijah Hasbullah, pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Namun, seiring waktu ia dikenal bukan sekadar nebeng nasab atau istri dari pahlawan nasional, melainkan karena sosoknya sendiri yang menginspirasi bagi masyarakat sekitarnya.

Perhatiannya kepada para janda yang ditinggal suaminya berperang, mendorong Nyai Solichah untuk mendirikan yayasan sosial bersama teman-temannya. Hal tersebut dikarenakan, berangkat dari pengalaman Nyai Solichah sendiri yang harus bekerja keras untuk menghidupi anak-anaknya setelah suaminya meninggal. Untuk menyambung kehidupnya itu, Nyai Solichah harus menjual barang-barang miliknya untuk mendapat penghasilan, kemudian ia mencoba berjualan memasok kebutuhan beras untuk pegawai Kementrian Agama dan menjual barang-barang material di Pelabuhan Tanjung Priok. Kendati single parent, Nyai Solichah tetap bertanggung jawab mendidik putra-putrinya agar disiplin, khususnya dengan pengetahuan keagamaan.

Karir Nyai Solichah pun kian berkembang dengan memperluas pergaulannya pada ranah sosial dan politik. Dalam organisasi Muslimat NU, keterlibatannya sebagai aktivis pernah dijalaninya menjadi anggota Pimpinan Muslimat NU Gambir, Ketua Muslimat NU Mataram, hingga dilantik menjadi Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU pada tahun 1959. Pernah pula ia masuk menjadi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) pada 1956. Kemudian saat NU menjadi partai, Nyai Solichah yang baik dan berwawasan luas dalam berorganisasi masuk dalam ranah politik, hingga menjadi anggota DPR dan DPR GR/MPR.

Kendati memiliki banyak prestasi, Nyai Solichah tidak pernah menunjukkan keangkuhannya. Nyai Solichah dipandang oleh masyarakat karena merakyat, dermawan, berwawasan luas dan terbuka. Titik fokusnya tertuju penuh pada pemberdayaan masyarakat Indonesia, utamanya perempuan, yang mana kala itu perempuan pada zamannya masih sangat tertinggal dalam pendidikan, hingga pemikirannya pun sulit berkembang maju alias mandeg. Kegemarannya menyuarakan penting bagi perempuan untuk memiliki pendidikan yang tinggi dan hak yang sama dengan laki-laki di ruang publik memotivasi banyak perempuan melakukan perubahan, khususnya di kalangan Muslimat NU.

Baca Juga  Maria Walanda Maramis Pejuang Suara Perempuan di Parlemen

Pemikiran Islam yang ada dalam keluarganya pun sebenarnya cenderung ortodoks, tetapi Nyai Solichah masih bisa keluar lingkaran dengan berpikiran lebih modern. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusinya terkait kependudukan, pada tahun 1968 Nyai Solichah menjadi anggota LKBN (Lembaga Keluarga Berencana Nasional) oleh pemerintah dengan tujuan menekan pertumbuhan penduduk.

Pada 1972 orientasi Keluarga Berencana  oleh Muslimat sosialisasikan tersebar di Jawa dan Madura. Indonesia sebagai negara yang berkembang dan baru merdeka, pemerintah merasa perlu melakukan langkah ini karena jika tidak membludaknya penduduk akan berdampak buruk bagi kondisi rakyat pada waktu itu.

Itu sebabnya, bersama Muslimat NU Nyai Solichah berkesempatan menuangkan gagasan-gagasannya dan diperjuangkan secara nyata. Meski ia hidup di masa yang berbahaya, baik secara fisik, politis, dan ideologi di situasi zaman represi kolonial perjuangan Nyai Solichah tetap berlanjut, bahkan setelah suaminya meninggal.

Sampai menjelang akhir hayatnya, bersama tongkat dan dikawal seorng perawat Nyai Solichah tetap bersemangat menghadiri rapat-rapat atau kegiatan aktivis Muslimat dan aktivis lainnya di masyarakat. Ia wafat pada usia 72 tahun dengan meninggalkan kesan yang memesona sebagai perempuan tangguh nan modern di zamannya.

Bagi para perempuan Nahdliyyin sudah semestinya mengambil teladan. Nyai Solichah merupakan tokoh besar perempuan yang telah berkarya dan berkhidmat pada negeri tercinta melalui organisasi Muslimat NU dengan perjuangan yang tidak sederhana. Tanah Air dan NU itu tidak bisa terpisahkan, keduanya bagai rasa manis pada gula. Ketika dari NU terdapat seorang yang berperan besar bagi organisasi NU, sejatinya ia telah berperan pula bagi Tanah Air.

Demikian, kecintaan Nyai Solichah pada NU dan Tanah Air pun menularkannya pada anaknya, Gus Dur, yang hingga kini menjadi salah satu tokoh penting NU yang berperan besar pula bagi Tanah Air dalam memompa jiwa kemanusiaan, kebangsaan, dan keberagamaan yang ramah. Pada akhirnya, semoga NU terus bisa melahirkan perempuan-perempuan pejuang bagi Tanah Air, seperti Nyai Solichah. Tentunya, dengan semangat juang pemikiran dan pergerakan yang penuh pembaharuan. 

Artikel Populer
Artikel Terkait