Viralkan Ulama Moderat

KolomViralkan Ulama Moderat

Trending topik tausiah keagamaan, tak surut viral di laman media sosial. Kesungguhan masyarakat Indonesia untuk meningkatkan daya spiritual kudu diapresiasi sekaligus kritik. Pasalnya, syiar keagamaan yang dipilih masyarakat media maya, dijatuhkan pada ulama fanatik atau suka ngocol yang tidak berbobot, ketimbang ulama moderat. Meski sama belajar agama, tetapi masyarakat seperti ini dinilai tidak tepat sasaran, jika ingin memahami Islam yang lebih ramah dan moderat.

Syaikh Abdullah bin Bayyah menukil dalam Kitab al-Amn fi al-Islam wa Tsaqafah al-Tasamuh  wa al-Wi’am pendapat Imam Hasan Al-Basri yang mengatakan, beragama (Islam) berarti berada di posisi moderat, tidak ekstrem  kanan atau kiri. Demikian yang menjadi penjelasan kenapa kita umat Muslim membutuhkan ulama yang moderat. Syiar dakwah yang berseliweran dan pertonton di media sosial, menjadi tolok ukur bagi konsumennya..

Kiranya, seberapa besar pengaruh nilai keagamaan yang diserap. Dapatkah seseorang lebih toleran terhadap perbedaan? Atau lebih tekun ibadahnya tapi ekstrem? Sebabnya, entah mengapa jemaah pengikut ulama yang kerap viral di media sosial, mereka cenderung lebih eksklusif menanggapi pendapat ulama lain. Meski begitu, minat untuk terus belajar harus diapresiasi karena orang yang terus belajar untuk memperbaiki diri pada akhirnya akan mendapatkan momen terbaik untuk mengubah hidupnya.

Mengidentifikasikan orang yang belajar dari sumber yang ekstrem tidaklah sulit. Sebab mereka akan berlomba-lomba memperlihatkan siapa yang paling teguh dengan jalan syariat, apapun situasi atau kondisinya syariat Islam bersiteguh dipertahankan, karena dosa besar akan menjadi porsinya apabila hal tersebut tidak dipatuhi. Mereka berpandangan, bahwa betapa terkutuknya orang Islam yang menggunakan rukhsah dalam ibadahnya, karena dianggap tidak teguh pendirian. Mengenai hal ini, Ibn ‘Ibād Al-Nafzī mengatakan, berada di jalan syariat adalah hal terberat untuk dilakukan, karena hal itu berarti selalu bersikap adil dan berada di tengah-tengah (moderat) dalam segala hal.

Kendati ulama moderat sudah lebih sigap bertebaran di media sosial, kini perkaranya ada di pilihan masyarakat. Dalam kajian viralitas di media sosial, Alhabash dan McAlister (2015) mengatakan, salah satu pendekatan untuk memahami viralitas adalah terkait pengguna media online dalam mengakses, suka tidak suka, berbagi, dan komentar atas konten. Oleh karena itu, sudah septutnya ulama yang moderat kita viralkan agar mewarnai setiap konten media sosial. 

Baca Juga  Diplomasi Kemanusiaan Paus Fransiskus dalam Menyikapi Konflik Rusia-Ukraina

Ulama moderat adalah ulama seperti pada umumnya. Mereka mengarahkan dan memberikan teladan kepada jemaahnya untuk berbuat baik, memahami syariat Islam secara utuh, tetapi tidak kau. Dalam buku Wasathiyyah, Quraish Shihab menjelaskan wasathiyyah memiliki arti tengah-tengah. Kata wasathiyyah ditemukan lima kali dalam Al-Quran dan mengandung makna semu berada di antara dua ujung’.

Ulama moderat memiliki pemahaman agama yang tidak sempit dan berimbang atau adil. Mereka menilai Islam tidak semata karena simbol keagamaan. Celana cingkrang, jidat hitam, gamis hitam yang lebar panjang, dan simbol lainnya. Seorang perempuan yang tidak berhijab dalam kesehariannya kecuali dalam ibadah tertentu, ia tidak bisa dikatakan pelaku dosa besar atau kafir seperti pemahaman orang radikal atau ekstrem.

Para ulama moderat menerapkan hal demikian tidak ngasal. Tentu ada teori yang menjadi dasarnya (sumber utama al-Quran dan hadis). Mereka memberikan hujjah berdasarkan pertimbangan dan pemahaman yang matang, serta senantiasa memprioritaskan pada kemaslahatan. Di sini saya mencontohkan Gus Baha sebagai salah satu ulama moderat. Ucapannya dipenuhi ilmu dan hikmah karena banyaknya referensi literatur valid yang dikuasai, terlebih dengan kepribadiannya yang sederhana, selalu ceria, dan tawadhu’. Jadi wajar kalau Gus Baha diidolakan dan digandrungi berbagai paham lapisan masyarakat, baik yang liberal maupun radikal.

Sedangkan, kebalikan dari sikap moderat adalah radikalisme dan ekstremisme. Pemahaman Islam yang tidak moderat dapat berujung pada sikap kekerasan, pemaksaan, otoriter, perpecah belahan dan implikasi buruk lainnya. Tentu sikap demikian tidak diperkenankan dalam beragama. Dia sekali-kali tidak menjadikan  untuk kamu dalam agama sedikit pun kesempitan, (QS. Al-Hajj ayat 78).

Sikap moderat sendiri bagian dari penyelarasan dari ajaran Islam. Karena itu, untuk belajar dan bersikap moderat dari ulama moderat adalah sebuah keniscayaan. Ulama moderat itu bukan ulama yang punya pendirian mempertahankan syariat, melainkan justru ia memiliki pengetahuan yang kompleks sehingga beberpa alternatif solusinya sangat fleksibel. Kita hendaknya belajar agama dari ulama-ulama moderat. Mari bersama kita viralkan ulama moderat melalui media sosial untuk Islam yang ramah bukan Islam yang suka marah-marah.

Artikel Populer
Artikel Terkait