Mbah Moen: Ulama Aswaja yang Bersahaja

KolomMbah Moen: Ulama Aswaja yang Bersahaja

Mengenang ulama kharismatik nan bersahaja. Pemilik pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah adalah K.H Maimoen Zubair yang akrab disapa Mbah Moen Sarang, lahir di Sarang 23 Oktober 1928. Sebagai putra dari Kiai Zubair Dahlan dan Ibu Nyai Mahmudah, Mbah Moen mempunyai kehidupan yang berkecimpungan di lingkungan pesantren yang mengharuskan mengaji.

Sedari kecil, Mbah Moen dididik untuk menguasai ilmu agama dan ilmu umum, terlebih ilmu yang berkaitan dengan nasionalisme dan patriotisme. Pasalnya, Mbah Moen lahir saat pra-kemerdekaan yaitu di masa kolonial Belanda dan Jepang.  Ia juga mempelajari koran, majalah, buku penyemangat terbitan Budi Pustaka Jakarta.

Pada tahun 1945, Mbah Moen dipesantrenkan di Lirboyo, saat mesantren di Lirboyo Mbah Moen termasuk santri yang cerdas, mampu menyerap ilmu dengan baik dari gurunya Kiai Manab dan kiai lainnya. Selain belajar, Mbah Moen juga ikut berjuang menegakkan NKRI dalam Resolusi Jihad. Hingga pada waktunya, ia meminta izin untuk meneruskan belajarnya di Haramain.

Setelah lima tahun belajar di Haramain, belajar bersama ulama ternama di Masjidil Haram dan Madrasah Dar al-Ulum (madrasah rintisan ulama Jawa), di tahun 1950 Mbah Moen kembali ke Tanah Air. Namun, niatnya mengembara ilmu tidak surut. Mbah Moen kembali belajar dan mengaji ke berbagai ulama Nusantara.

Mba Moen merupakan ulama klasik, akan tetapi modern di masanya. Ulama klasik karena usia Mbah Moen sudah sangat sepuh. Namun, ia modern di masanya, karena Mbah Moen turut aktif dalam mengikuti organisasi masyarakat  Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja), serta mengemban beberapa tugas kepengurusan lainnya.  Sedari 2004 hingga di akhir usianya di PPP, Mbah Moen menempati sebagai ketua Majelis Syariah. Selain aktif di ormas Islam, dalam kancah politik pemerintahan Mbah Moen pernah menjadi anggota DPRD (1967-1975 M), MPR (1978-1991 M).

Baca Juga  Ramadhan Bulan Kebangsaan

Dalam ceritanya, Mbah Moen pernah ditawari gelar Doktor Honoris Causa (DR), tetapi beberapa tawaran tersebut ditolak oleh Mbah Moen, kemudian dengan santun ia menyahut, biarlah ada kiai seperti saya, yang pekerjaannya hanya mengaji.

Sesaat, saya teringat cerita tentang Mbah Moen dari Mas Shidqi, cucu Mbah Moen yang juga merupakan putra dari K.H Musthofa Aqil Siradj dan Ny. H. Shabihah Maimun Zubair, ketika mengenang wafatnya Mbah Moen yang ke-100 hari di Ciputat. Ia mengatakan, Mbah Moen untuk menghidupi sanak keluarganya ia hanya ingin bersumber dari jualannya saja, warung (koperasi) yang ada di Pesantren.

Diakui, Mbah Moen sering mendapat oleh-oleh rezeki dari pelbagai pendatang, entah dari sowan (silaturahmi) wali santri, alumni, masyarakat, pejabat, dan lain-lain, demi ngalap (mengharap) berkah. Namun, sifat sederhana dan wara’ nya sangat melekat, ia kerap menolak pemberian tersebut, dan kalaupun dipaksa Mbah Moen lebih memilih agar rezeki tersebut disedekahkan saja.

Mbah Moen Sarang, adalah kiai yang harum namaya. Ia sosok yang disegani oleh pelbagai lapisan masyarakat rakyat jelata, ulama, para pejabat tinggi dalam negeri maupun luar negeri. Mbah Moen adalah sosok yang layak dikagumi,

K.H Maimoen Zubair menutup usianya yang ke-91 tahun. Ia wafat, saat menjalankan ibadah haji,  selasa 6 Agustus 2019. Sesuai wasiat, Mbah Moen dimakamkan di Ma’la, Makkah.

Sebagai teladan, dari Mbah Moen kita bisa melihat, sosok ulama yang ‘alim, wara’, muharrik, berakhlak mulia dan sangat bersahaja. Sampai jumpa, berbahagia di surganya Allah SWT. Semoga Allah SWT, menempatkan Mbah Moen di tempat yang terbaik, dan kita bisa mendapatkan berkahnya. Amin. Lahu  al-Fatihah  

Artikel Populer
Artikel Terkait