Arabisasi Cikal Bakal dari Dinasti Umayyah

Dunia IslamArabisasi Cikal Bakal dari Dinasti Umayyah

Masa-masa Dinasti Umayyah menjadi awal arabisasi dalam sejarah Islam. Proses arabisasi ini menandai adanya puncak kejayaan, yang mana semua wilayah ekspansinya mengalami hujan arabisasi melalui proses bahasa, seni arsitektur, dan budaya politik. Demikian dapat dilihat, bahwa kita harus bisa belajar selektif mencermati apa yang menjadi bagian dari tuntunan Islam atau sekadar arabisasi agar masyarakat Indonesia tidak kehilangan identitasnya sebagai bangsa dan umat Islam yang otentik, tetapi dinamis.

Dalam buku History of The Arabs, Philip K. Hitti menandai pada masa Khalifah Abd Malik dan Walid kebijakan arabisasi mulanya digunakan untuk catatan administrasi publik (diwan) dari bahasa Yunani, Persia, Irak, dan provinsi bagian timur dialihbahasakan menjadi bahasa Arab yang pusat pemerintahannya berada di Damaskus. Kebijakan baru ini otomatis mengubah struktur kepegawaian dan para pegawai yang dipertahankan hanya mereka yang mahir menguasai Arab sebagai totalitas reformasi administrasi catatan negara. Bahkan, Abd Malik merambah pada arabisasi pembuatan mata uang Islam tiruan koin Byzantium yang dikelilingi dengan bacaan syahadah.

Kedua, arabisasi melalui seni arsitektur. Dari sekian prestasi paling menonjol adalah banyaknya monumen-monumen arsitektural yang bernilai seni tinggi. Kecenderungan ini menjadi obrolan yang tak pernah ada habisnya, ketika orang-orang Damaskus berkumpul bersama tema obrolan mereka berkisar pada bangunan-bangunan Indah.

Salah satu kisah unik terkait klaim seni, Abd Malik sebagai arsitek ulung membangun sebuah kubah yang dikelilingi tulisan Kufi menuliskan namanya dibangunan tersebut, tetapi seabad kemudian bangunan itu direnovasi oleh khalifah Abbasiyah, Al-Ma’mun yang mengganti nama Abd Malik di atas Kubah dengan nama dirinya. Sayangnya, klaim al-Ma’mun dipatahkan karena ia mengganti nama akan tetapi lupa mengganti tanggal pembuatan. Sehingga jelas, sejarawan yang menelusuri menebak kalau bangunan itu tidak lain milik khalifah Abd Malik. Perolehan terbesar lainnya, mengubah fungsi Katedral St. Yahya Pembaptis di Damaskus menjadi tempat sangat agung, Masjid Umayyah. Konon, tempat suci umat Islam keempat, setelah Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid al-Aqsha.

Terakhir, arabisasi dalam budaya politik. Perubahan ini yang paling kentara di masa Dinasti Umayyah. Pasalnya, kesenjangan pemilihan pemimpin usai pemerintahan pada masa Khulafaur Rasyidin dilakukan dengan cara yang tidak sama sebagaimana sebelumnya. Jika di masa masa Khulafaur Rasyidin pemilihan pemimpin dilakukan dengan cara musyawarah antar pemuka kaum (para pembesar Islam), maka di masa Dinasti Umayyah yang dibangun oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan mulai menapaki sejarah baru, yakni mewasiatkan agar anaknya kelak yang menggantikannya menjadi khalifah. Yakni Yazid bin Mu’awiyah.

Tradisi pemilihan pemimpin melalui nasab ini kiranya menjadi tonggak reformasi paling signifikan, dari sistem demokrasi (musyawarah) menuju sistem monarki warisan tahta yang diberikan turun-temurun pada keluarga kekaisaran. Padahal, kala itu Yazid sangat tidak potensial menjadi pemimpin yang baik, kepribadinnya ditengarai sejarawan Muslim sangat buruk, lantaran gaya hidupnya yang glamor, berperangai keras, dan kasar. Namun, sejarah mencatat titah pengangkatan Yazid akhirnya tetap terlaksana. dan ia dikenang sebagai pemimpin yang tidak memikirkan nasib dan senang menyengsarakan rakyatnya.

Ironisnya, budaya kekhilafan turun-temurun ini terus berlanjut menjadi lembaran kisah yang amat panjang, pemimpin yang diperoleh melalui jalur nasab atau politik dinasti. Akibat khilafah yang tidak kompeten, Dinasti Umayyah mengalami kegoncangan pilitik baru dalam dua priodenya, hasil dari tradisi baru pemilihan kepemimpinan. Namun, oleh Abd Malik pendiri kedua Dinasti Umayyah, yang juga masih keturunan Umayyah titik temu nasab Mua’wiyah dan Abd Malik, pada akhirnya konflik besar yang sempat diambang kehancuran dan ketidakstabilan ini berhasil terselamatkan.

Baca Juga  Pentingnya Membedakan Antisemitisme dan Anti-Zionisme

Konsep arabisasi ini dilakukan secara terencana, bukan berasakan orientasi murni karena agama. Sebab itu, tak patut apabila terdapat unsur arabisasi lantas dikaitkan dengan Islam. Bagi orang yang tidak belajar sejarah, memang tidak mudah membedakan antara Islam dan Arab, karenanya keraap dicampuradukkan apa saja yang  terdapat di Arab maka dianggap itu aturan Islam. Adanya arabisasi bukan berati semerta-merta menolak apa yang berasal dari Arab, tetapi cara responsnya yang mesti diubah agar ia tidak menjadi bagian dari klaim agama.

Pada dasarnya arabisasi memiliki sisi positif sekaligus negatif. Namun, arabisasi yang sudah terkadung menjamah masyarakat Tanah Air yang menjadikannya trend kesalehan syariat. Kesalahpahaman ini tak akan berujung, kecuali dengan membaca sejarah. Karena dengan belajar sejarah yang komprehensif, kita akan dididik menjadi bijak sedini mungkin agar kesalahan yang terjadi sebelumnya tidak terulang kembali. Adapun kejayaan yang pernah dicapai di masa lalu dapat diikuti, tentu dengan inovasi baru sebagai motivasi untuk menoreh catatan yang lebih baik.

Arabisasi tidak bisa diklaim sebagai tuntunan kehidupan beragama, karena arabisasi tanpa adanya filtrasi merupakan kolonialisme masa kini. Sebuah penjajahan yang tidak menyerang fisik, akan tetapi mengikis budaya dan segala apa yang menjadi identitas bangsa dikikis, diubah menjadi arabisasi, westernisasi, dan berakhir menjadi bangsa yang tidak meemiliki pendirian pada tanah kelahirannya. Adapun Motif arabisasi dapat yang melalui bahasa, pendidikan, budaya,dan sistem perpolitikan, sehingga kesadaran berpegang pada asas kebangsaan membutuhkan kewaspadaaan yang tinggi agar tidak terbawa derasnya arus arabisasi.

Bapak proklamator kita, Bung Karno mengingatkan, bangsa yang tidak percaya diri sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai bangsa yang merdeka. Demikian kita harus menjadi bangsa yang percaya diri dengan identitas yang dipunyai. Mencintai apa yang ada dalam negeri, konsisten memperjuangkan kemajuan Indonesia apapun situasinya.

Saat ini dan nanti, dalam kehidupan berbangsa Bung Karno akan tetap menjadi panutan kita. Kepercayaan diri dan prestasi Bung Karno telah mengharumkan namanya di Timur Tengah, bahkan tak jarang Indonesia mendapat penghormatan khusus dari pemerintah Arab Saudi karena diplomasi kenes yang begitu akut. Melalui Bung Karno kita belajar, menjadi eksis di wilayah lain tak harus mengikuti trendnya, cukup membawa kepercayaan diri sebagai bangsa bermartabat dengan segala bekal pengetahuan keanekaragaman Indonesia, niscaya keberadaan kita tak kalah lebih terhormat, ketimbang bangsa lain yang konon lebih maju dan sejahtera.

Walhasil, arabisasi yang disemarakkan Dinasti Umayyah membawa problem yang tidak sederhana, efek jangka panjangnya masih bisa dirasakan hingga kini. Keambiguan menyikapi bahwa Arab itu Islam kerap membawa konflik keagamaan yang tak pernah surut dan berkonsikuensi mempertaruhkan nilai kebangsaaan. Maka dari itu, perlu diwaspadai, bahwa kekhilafahan memang telah runtuh, tetapi Islam masih berlanjut dan terus melangkah. Jadi yang seharusnya berjalan adalah nilai-nilai keislaman universal yang mengayomi seluruh identitas bangsa, bukan arabisasi.

Artikel Populer
Artikel Terkait