Berpikir Kritis ala Ibnu Khaldun

KhazanahHikmahBerpikir Kritis ala Ibnu Khaldun

Menjadi Muslim, bukan berarti pasif menerima kehendak ilahi, melainkan berada dalam keadaan kritis yang konstan. Berpikir kritis adalah bagian penting dari warisan manusia dan vital bagi pencarian manusia akan kebenaran dan pengetahuan. Sebagaimana penyeleksian kritis Nabi Ibrahim AS terhadap Tuhan manusia (QS. Al-An’am: 76-78), Bahkan Nabi Musa AS meminta Tuhan untuk membuktikan keberadaan diri-Nya (QS. Al-A’raf: 143). Jika kepercayaan terhadap tuhan saja patut dibangunan secara kritis, apalagi berita, informasi, dan pengetahuan agama, yang sayangnya sering kali kita terima begitu saja tanpa proses berpikir kritis.

Bagaimana mungkin seorang Muslim tidak bergetar jiwanya, jika menemukan di dalam al-Quran, Tuhan mencela orang-orang yang tidak menggunakan kemampuan kritis mereka, dengan ungkapan yang cukup keras, yaitu makhluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk (QS. Al-Anfal: 22). Oleh sebab itulah, critical thinking merupakan keharusan moral bagi umat Islam. Sebab, mengabaikan proses berpikir kritis telah mengakibatkan kerugian yang cukup parah. Tidak perlu jauh-jauh melihat bani israil atau kaum Nashara, yang karena tidak kritis terhadap informasi agamanya, menjadi tersesat. Kita cukup melihat masyarakat kita sendiri yang kini terpasung dalam tradisi puritan, akibat melemahnya peran berpikir kritis.

Para cendekiawan, akademisi, dan intelektual Muslim kontemporer, mengakui besarnya krisis yang disebabkan oleh pola pikir tradisionalis-puritan ini. Dalam bukunya, The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourses (h. 210), Prof. Abou El Fadl menulis, “Dengan mendeklarasikan diri sebagai prajurit Tuhan yang sejati dan pembela agama, gerakan-gerakan Muslim puritan mampu merendahkan perempuan, memberantas pemikiran kritis, dan mengosongkan Islam dari muatan moralnya.” 

Maka dari itu, kita perlu membangkitkan kesadaran tentang pentingnya pemikiran kritis dan kreatif, yang sebenarnya telah mengakar di dunia Muslim. Sejarah mengakui bahwa peradaban Islam adalah saluran bagi peradaban Barat untuk berhubungan kembali dengan akar Yunani-Romawi, yang membawa mereka pada Renaisans. Kontribusi Islam bagi peradaban manusia tidak didasarkan pada tradisionalisme buta, melainkan pada pemikiran ilmiah dan kritis. Al-Biruni, Ibn Rusyd, Al-Ghazali, Ibn Sina bukanlah pengikut buta, sebaliknya, mereka adalah pelopor berbagai bidang pengetahuan manusia yang baru dan lebih kreatif. 

Masyarakat Muslim mungkit tidak asing dengan nama Ibnu Khaldun, sebagai seorang ilmuan Muslim yang besar. Meskipun kontribusinya terhadap pemikiran kritis masih lebih dikenal di kalangan non-Muslim Barat daripada di kalangan Muslim sendiri. Ibn Khaldun (1332-1406) ialah salah seorang ulama Muslim paling awal, yang mempraktikkan kombinasi pemikiran kritis dan kreatif. 

Bagaimana tidak, ia berada di garis terdepan untuk mengkritisi para cendekiawan, yang hanya menyampaikan pengetahuan yang diterimanya, tanpa memeriksanya berdasarkan informasi baru. Seperti, mengkritisi catatan sejarah sejarawan besar, al-Mas’udi (w. 956 H), yang memuat kisah Raja Alexander melawan monster laut yang menghalanginya membangun Alexandria, atau kisah penduduk Roma mendapatkan minyaknya dari burung-burung yang membawakan buah Zaitun untuk sebuah patung. Ibnu khaldun berkomentar “Betapa kecil hubungannya dengan prosedur alami mendapatkan minyak!”

Jadi, bagaimana sih proses berpikir kritis untuk menegakkan ‘keadilan intelektual’ ala Ibnu Khaldun? well, banyak sekali yang dapat kita kaji dari magnum opusnya, Muqaddimah. Berpikir kritis dimulai dengan menyoroti logical fallacy, yang dalam Muqaddimah Ibnu Khaldun telah dijelaskan dengan sangat rinci, berbagai penyebab kesalahan atau ketidakakuratan informasi yang harus dikritisi. Dua diantaranya yang paling relevan dan penting bagi kita saat ini adalah, ‘bias keberpihakan’ dan ‘fanatisme buta’. 

Baca Juga  Meluruskan Penyimpangan Makna Jihad

Manusia rentan terhadap bias dan prasangka akibat keberpihakan pada pendapat seseorang dan Mazhab. Dalam pemikiran Ibnu Khaldun, penyelidikan kritis berjalan jika jiwa tidak memihak dalam menerima informasi, dengan demikian kebenaran atau ketidakbenarannya dengan demikian menjadi jelas.  Ibnu Khaldun menulis, jika jiwa terinfeksi keberpihakan bagi pendapat atau sekte tertentu, seseorang akan menerima tanpa ragu sedikitpun informasi yang sesuai dengannya. Prasangka dan keberpihakan mengaburkan bidang kritis dan menghalangi penyelidikan kritis. Hasilnya adalah bahwa kepalsuan diterima dan disebarkan. (Muqaddimah, h.34). 

Hal ini sangat penting untuk kita adopsi ke dalam proses berpikir kritis kita saat ini. Di tengah arus informasi yang sangat deras, kadang kita mengabaikan pentingnya netralitas dalam memandang kebenaran. Banyak sekali orang yang hanya mencari informasi untuk mendukung pendapat atau pengetahuannya sendiri saja. Yang pada akhirnya membawa mereka pada pembenaran, bukan kebenaran. 

Sesat pikir yang berbahaya selanjutnya disebabkan oleh fanatisme buta. Pemujaan atau pengabdian berlebihan, kepada cendekiawan, orang shaleh, atau orang-orang besar, kadang kala membutakan orang, serta mempengaruhi keadilan dan objektivitas mereka. Tradisionalisme, ortodoksi, dan fundamentalisme sering kali muncul dari pemujaan semacam itu. Menurut Ibnu Khaldun, informasi atau pengetahuan dari orang yang fanatik seperti itu mengandung hal-hal wajib dikritisi. 

Dalam konteks saat ini, kita tentu sering menemukan, para buzzer politik atau pengikut fanatik seorang tokoh, membagikan informasi, pujian, atau sanjungan hanya yang sesuai dengan kepentingan tokoh mereka. bagi Ibnu Khaldun, Informasi yang dipublikasikan dalam kasus seperti itu tidak benar. Ia menulis, jiwa manusia merindukan pujian, dan orang-orang menaruh perhatian besar pada dunia ini, jabatan, serta kekayaan yang ditawarkannya. Sebagai konsekuensinya, mereka tidak merasakan gairah terhadap kebajikan, dan tidak memiliki minat khusus pada orang-orang yang bajik. (Muqaddimah, h. 36)

Keadilan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak seperti itu memang dituntut oleh al-Qur’an. Memang, Ibnu Khaldun menetapkan standar keadilan intelektual yang begitu tinggi, bukan pada tokoh, madzhab atau ikatan apapun, persis seperti yang tertulis dalam al-Quran surat An-Nisa ayat 135, dan Al-Maidah ayat 8. Bagaimanapun, kita mestinya selalu berpihak pada keadilan, bahkan jika itu melawan diri sendiri dan bahkan tidak disukainya. Itulah prinsip dari berpikir kritis ala Ibnu Khaldun.

Singkatnya, tanpa berpikir kritis, orang akan lebih didorong oleh emosi daripada pengetahuan sejati dan pemahaman. Makanya, jenis pandangan yang menyimpang dan tidak akurat seperti hoax dan disinformasi, sangat mudah meracuni orang yang tidak kritis dan mengubahnya menjadi orang yang berbahaya. Makanya, kemampuan untuk mencerna dan memproses informasi atau pengetahuan dengan kritis itu amat penting. Para ulama dan pemikir Muslim hebat telah mewariskan kepada kita berbagai metode berpikir kritis, yang harus terus kita gali untuk segera kita manfaatkan. Salah satunya, berpikir kritis ala Ibnu Khaldun!

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait