Melek Wacana Reformasi Haji

KolomMelek Wacana Reformasi Haji

Selama enam hari tertentu setiap tahun, lebih dari dua juta Muslim lintas etnis, kebangsaan, sekte, dan gender berkumpul di Mekah untuk haji. Dalam ajaran Islam, Haji merupakan perjalanan yang penuh pengabdian kepada Allah SWT untuk memurnikan jiwa, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dan Hadis. Selain itu, melaksanakan ritual yang identik secara komunal dan mengenakan pakaian serupa, mempertegas ajaran kesetaraan dalam Islam. Ibadah Haji senantiasa menggemakan bunyi paling keras bahwa, di muka bumi semua manusia itu sama di mata Tuhan, tanpa memandang perbedaan duniawi antara pangkat, kelas, ras, jenis kelamin, dan usia.

Nilai-nilai inti haji dan Islam sangat luar biasa dan sakral. Namun tentu saja, saat ini kenyataan Haji sudah lebih kompleks dan mungkin jauh lebih duniawi. Kontroversi haji kian besar dengan meningkatnya jumlah kematian para jemaah haji dalam beberapa dekade belakangan. Kerajaan Saudi Arabia pernah merilis dokumen Statement of Deaths during Period from 1423 to 1437 setebal 3100 halaman, yang memuat 90.276 data kematian jemaah haji dalam kurun 14 kali musim haji. Belum lagi skandal tak berujung yang menyoroti kegagalan sistem haji yang diciptakan oleh Arab Saudi, maupun pemerintah di segelintir negara Muslim besar. Serta masalah sistem kuota yang digunakan Arab Saudi untuk menegaskan posisi politiknya, tanpa ada hubungannya dengan haji atau agama.

Maka dari itu, umat Islam perlu mempertimbangkan kembali asumsinya yang paling mendasar tentang cara berhaji saat ini. Bagaimanapun, kita memiliki tanggung jawab kolektif agar ibadah haji ideal, sebagaimana dijalani para nabi dan generasi shalih di masa lalu, dapat terwujud juga dalam realitas kita hari ini. Goyahnya sistem haji saat ini, setidaknya menuntut kita untuk melek wacana reformasi Haji. Bagaimanapun, melepaskan kebiasaan lama demi yang baru dan lebih baik merupakan tradisi yang otentik dan progresif bagi Umat Islam.

Di seluruh dunia Islam, otoritas politik dan agama berdebat dalam wacana yang saling bersaing untuk mereformasi haji. Perlu ditekankan disini, reformasi haji bukan berarti mengotak-atik kewajiban Haji apalagi mengganti rukun Islam seperti yang kerap dituduhkan oleh sebagian orang awam. Sebab, yang direformasi bukan rukun ibadahnya, melainkan sistem pelaksanaannya yang menyulitkan, memperberat, bahkan membahayakan jamaah yang akan berhaji. Dengan kata lain, reformasi haji berarti menata kembali praktik berhaji dan menemukan kembali prosesi berhaji yang sesungguhnya.

Ada banyak gambaran rencana alternatif yang mewacana di dunia Islam kita saat ini, tetapi wacana reformasi Haji yang paling menarik sejauh ini, setidaknya bagi saya sendiri, ada dua. Yaitu ‘internasionalisasi kebijakan haji’ dan ‘perubahan kalender haji’. Masing-masing kemungkinan masa depan ini, menawarkan solusi menarik untuk meminimalisir segala resiko dan hambatan dalam ritual haji, sehingga dapat dijalankan dengan lebih tulus dan khusyuk.

Internasionalisasi Haji merupakan wacana seputar haji dan politik di dunia Islam. Internasionalisasi haji bermaksud mematahkan klaim Saudi tentang kedaulatan eksklusif atas kota-kota suci Umat Islam, dengan manajemen kolektif oleh semua negara Muslim dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Dengan skenario ini, Umat Islam akan menjalankan haji bersama melalui OKI dengan berbagai manfaat yang telah diprediksi. Menurut para peneliti, internasionalisasi kebijakan haji adalah jalan yang seharusnya diwujudkan oleh para pemimpin Muslim lebih dari 20 tahun lalu.

Baca Juga  Tidak Ada Zakat bagi Belalang

Dalam buku Guests Of God (2004) karya Robert R. Bianchi, internasionalisasi haji sangat mungkin terjadi tepatnya ketika penguasa Saudi lemah dalam menangkis tantangan Revolusi Islam di Iran. Sebab, saat itu Saudi sempat mendukung internasionalisasi dan bahkan menyetujui pengaturan pembagian kekuasaan dengan negara-negara Sunni besar, yang jauh melampaui masalah terkait haji. Sayangnya, setelah Iran secara bertahap mengakhiri serangannya. Saudi menarik kembali janji untuk mendorong rezim internasional untuk manajemen haji.

Arab Saudi kembali pada unilateralismenya, yang suka mengambil keputusan dan menghancurkan terlebih dahulu, baru berkonsultasi kemudian. Hasilnya ialah, Mekah yang bersejarah telah lenyap. Arab Saudi merekonstruksi secara menyeluruh lanskap Mekah, menghancurkan sebagian besar kawasan kuno kota, dan menggantinya dengan hotel mewah dan pusat perbelanjaan yang berada di luar jangkauan jemaah haji biasa. Sementara itu, semakin megah mereka membangun, semakin buruk hasilnya bagi pelaksanaan haji. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda Arab Saudi akan mendukung wacana internasionalisasi Haji lagi.

Wacana lainnya ialah perubahan kalender haji, yaitu menggunakan alternatif waktu haji yang fleksibel, sehingga jamaah tidak bertumpuk pada tanggal 8 sampai 13 bulan Dzulhijjah saja. wacana ini akrab di kalangan cendekiawan Muslim, terutama dari kaum pembaharu. Saya pertama kali membaca wacana ini dari sebuah artikel ilmiah yang ditulis berdasarkan pemikiran Kiai Masdar F. Mas’udi, berjudul Meninjau Kembali Waktu Pelaksanaan Ibadah Haji. Dalam tulisan ini, Kyai Masdar membuka kembali cakrawala Islam tentang keluasan waktu pelaksanaan haji, berdasarkan prinsip al-hajju asyhurun ma’lumat (QS. Al-Baqarah: 197), yang dalam tafsirannya menyebutkan beberapa alternatif bulan haji. Serta teori fikih tentang konsep waktu peribadatan.

Intinya, jika umat Islam bisa menunaikan haji dalam jangka waktu yang lebih lama, dua atau tiga bulan sesuai dalil yang ada, kita dapat mengurangi kepadatan orang, menyelamatkan banyak nyawa dalam pelaksanaan haji, dan membuat kesempatan berhaji jadi lebih luas. Sudah semestinya Umat Islam menghormati ibadah haji dengan membuatnya aman dan lebih terjangkau dengan waktu yang fleksibel.

Singkatnya, kewajiban ibadah haji sebagai rukun Islam memang tidak dapat diganggu gugat dan tidak dapat diubah, tetapi sistemnya sangat bisa dinegosiasikan. Otoritas agama perlu mengambil tanggung jawab yang lebih besar untuk membimbing reformasi haji. Sistem Haji sudah lama tertunda untuk reformasi. Kesenjangan yang menganga antara cita-cita abadi dan kenyataan tragisnya adalah rahasia umum yang dibagikan setiap peziarah sebebas air oleh-oleh haji yang dibawanya pulang. Tetapi, kita harus optimis pada berbagai kemungkinan menemukan kembali praktik ibadah haji yang sebenarnya, yang tulus dan khusuk, bagi masa depan yang lebih baik. Jadi, mari melek wacana reformasi haji.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.