Kritikan, Hasutan, dan Hujatan

KolomKritikan, Hasutan, dan Hujatan

Secara tidak sadar, kadang-kadang kita seringkali menyukai pembicaraan yang mengandung hujatan untuk memuaskan nafsu. Entah atas dasar kebencian yang berlebihan, atau karena sesuatu hal tidak kita dapatkan. Mungkin maksudnya mengkritik; karena tidak berbasis fakta yang sebenarnya, akhirnya bukan kritikan, melainkan berisi hasutan dan hujatan. Baik secara lisan maupun tulisan.

Hasutan juga berarti provokasi. Sedangkan provokatif merupakan kata sifat yang merangsang untuk bertindak provokasi. Provokasi dapat membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan, dan pancingan. Apa yang ditimbulkannya, secara tidak sadar akan mengundang pertumpahan darah (KBBI, 2008: 1108).

Jadi jelas, ujaran kebencian yang berupa provokasi yang menghasut ini memiliki efek berbahaya. Pelaku yang menghasut disebut provokator. Perbuatan yang dilakukan oleh seorang provokator bisa berakibat buruk. Upaya menghasut itu yang bisa menghadirkan bencana dan kekacauan. Sebuah tindakan yang benar-benar jahat, sehingga pelakunya—provokator—harus dihukum berat. Sementara hujatan, cenderung bersifat nyinyir, fitnah, mencela; caci maki; menghina yang dapat menciptakan suatu permusuhan.

Lema dari sebuah kritikan sudah banyak melenceng dari makna yang sebenarnya. Fenomena tersebut sering kita temui di lingkungan sekitar kita. Terutama sekali berkecambah di media sosial. Alih-alih positif mengatasnamakan kebenaran, tapi sesungguhnya sedang berbuat kebatilan. Tidak jarang narasi kebencian tersebut juga beriringan dengan narasi kebohongan (hoaks). Perbuatan ini tergolong jahat yang menyebabkan banyak orang ramai-ramai meluapkan amarah. Tak pelak, diksi yang digunakan pun kata-kata kotor, mengandung hujatan, dan menjatuhkan seseorang atau kelompok tertentu.

Lebih ironis lagi, perbuatan tersebut acap kali dilakukan oleh pemuka ayat-ayat Tuhan yang mengajari soal moral. Seorang pemuka agama yang berkhutbah kebencian yang bersembunyi di balik kemuliaan ajaran Nabi, tapi sejatinya ia sedang mempertontonkan kehinaan ajaran Nabi. Ia sendiri tidak bisa menahan diri dari sikapnya yang menghasut dan menghujat. Bagaimana bisa mengajari umat soal akhlak? Karena Islam hadir di dunia tidak lain yang paling utama adalah untuk menyempurnakan akhlak.

Dalam sistem pemerintahan modern atau katakanlah era demokrasi sekarang ini, mengkritik pemerintah misalnya, adalah bagian dari kebebasan yang dilindungi oleh undang-undang sebagai upaya kontrol para penyelenggara negara. Kritik dalam era demokrasi merupakan keniscayaan untuk mengingatkan para elite penguasa agar tidak zalim, korup, dan berbuat adil. Namun, tidak sedikit orang terjerumus dalam kebrutalan yang cenderung ke arah ucapan kotor, penghinaan, cacian, dan berupa hasutan yang menciptakan permusuhan. Kritik konstruktif—yang membangun—kita butuhkan saat ini.

Celakanya, sebagian pendakwah yang asik menghasut, mengumpat; mencaci maki; mencerca sebagai penghinaan, dalam rangka memuaskan pendengar (jamaahnya). Model beragama yang tukang marah ini belakangan kita sering menyaksikannya di berbagai jaringan maya. Bagaimana pun alim—tingginya ilmu agama—seseorang jika menghasut dan menghujat—apalagi sampai mengeluarkan kata-kata kotor—hilang sudah akhlak dalam dirinya. Sekali lagi kita mempertanyakan, dalam dirinya saja sudah tidak bisa menahan hawa nafsu, bagaimana mengajari umat untuk menahan diri?

Kita harus menemukan solusi yang logis untuk itu semua di dunia yang telah mengalami era disrupsi ini. Sebagaimana kritik juga harus berbasis fakta dan jalan keluar yang berdasarkan pemecahan; pengendalian, dan penyelesaiannya. Karena itu saya mengajak para pembaca untuk membaca diri sendiri, bagaimana mindset (kerangka berpikir) yang terbentuk sesuai dengan keyakinan dan pengalaman.

Baca Juga  Habib Ali al-Jufri: Umumnya Laki-Laki Sekarang Tidak Pantas Poligami

Dalam buku Disruption (2017) karya Rhenald Kasali ada satu bab—pada bab sebelas tentang Disruptive Mindset—yang menarik untuk kita tarik ke dalam tema kita kali ini mengenai kritikan, hujatan, dan hasutan. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa ada empat ruang dalam pikiran kita. Ada yang bisa melihat dan yang tidak bisa melihat. Ada pula yang melihatnya dengan kacamata masa lalu dan terperangkap dalam sejarah, lebih-lebih sejarah era keemasan. Dan yang lebih berbahaya adalah sebuah praktik yang ditawarkan orang lain yang tak terlihat, akan tetapi nyata; dekat atau tak jauh yang telah menggerogoti pola pikir kita.

Seseorang yang secara sadar dan berpikir sehat, ia tidak akan terjerembab dalam sejarah masa lalunya. Misalnya, para penggiat khilafah selalu mencita-citakan kembalinya zaman kekhalifahan yang penuh kejayaan di masa lalu. Orang yang terjebak pada era kejayaan zaman kekhalifahan, akan menjadi manusia yang penuh penyangkalan zaman modern saat ini dan cenderung berkepala batu, lantaran khilafah adalah sebuah doktrin dogmatis. Lagi-lagi kita mempertanyakan, bagaimana bisa membangun peradaban masa depan, sedangkan dalam pikiran kita hanya masa lalu? Bukankah masa lalu hanya sebagai pembelajaran untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik?

Ajaran dan pola pikir khilafah yang dogmatis, tidak akan pernah bebas dari beban masa lalu yang hampir mustahil bisa diterapkan serupa di era modern sekarang ini. Padahal, di hadapan mereka ada sebuah era yang tidak diketahui mereka, di mana kita bebas beribadah dan menjalankan praktik syariat, tanpa perlu diganggu peperangan. Yang terjadi pada masa lalu adalah saling menaklukkan dan telah memakan korban yang menghabiskan energi. Boro-boro akan menciptakan masa depan yang lebih baik, malah terkurung oleh kesan romantiknya masa lalu dengan menyangkal realitas baru.

Demikian pula dengan model praktik dakwah yang penuh kemarahan dan cacian (at-tadayyun al-ghadib) yang sering kita lihat belakangan. Kita melihat suatu kebenaran sedang ditegakkan berupa kritik, tapi sesungguhnya kita tidak melihatnya sebagai sebuah upaya membangun, melainkan sebuah model dakwah yang menghancurkan, dan ini tentu sangat berbahaya. Bahaya baik dalam perilaku sosial kehidupan berbangsa dan bernegara, maupun bahaya bagi hancurnya Islam karena telah menyimpang dari ajaran Nabi SAW.

Menghina dan menghasut adalah sebuah upaya yang akan menimbulkan kekacauan dan kehancuran. Apalagi yang menjadi sasaran adalah pemerintah. Bagaimanapun kritik harus terus tetap ditujukan pemerintah yang bukan berarti sah-sah saja kita menghujatnya. Bagaimana kita mau mengubah seseorang jika tidak melalui pendekatan yang baik. Bagaimana Islam bisa ditegakkan dengan mengebom dan membunuh manusia lain seperti yang dilakukan oleh para ekstremis yang berteriak lantang membesarkan kalimat Tuhan.

Karenanya kritik diperlukan melalui pendekatan yang baik, yang santun sebagaimana praktik dakwah Nabi Musa yang mengingatkan Firaun secara dialog diplomatis, agar tidak menzalimi bangsa Israil. Lantas apa yang membuat dakwah Nabi Muhammad SAW. dan para penerusnya sukses dalam dakwah Islamnya? Kesadaran bersama dalam mindset bahwa untuk memperbaiki segala sesuatu harus dengan sopan santun dan akhlak yang tinggi. Tidak dengan cara-cara tidak bermoral. []

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.