Nikah Sirri, Mudharat!

BeritaNikah Sirri, Mudharat!

Nikah sirri kembali berujung petaka. Kasus sate sianida yang belum lama ini viral misalnya. Terungkap bahwa motif perempuan pengirim sate beracun sianida melalui ojol, disebabkan dendam terhadap suami sirrinya yang menikah dengan perempuan lain. Tak ayal, nikah sirri yang dianggap awal mula menuju kehidupan surgawi tanpa perzinaan, justru awal mula dari banjirnya kerugian.

Hal paling krusial yang dilewati dalam nikah sirri adalah pencatatan pernikahan oleh Pegawai Pecatat Nikah (PPN). Sampai saat ini, pencatatan pernikahan masih dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat relijius Tanah Air. Padahal, jika dilihat dari kacamata agama dengan menggunakan lensa ushul fiqh, mencatat pernikahan atau melangsungkan pernikahan secara resmi itu maslahat. Sedangkan nikah sirri tanpa ada tujuan untuk itsbat nikah (mendaftarkannya), mengandung banyak kemudharatan.

Bertahun-tahun lamanya, sebelum tersusunnya Kompilasi Hukum Islam (KHI), para hakim merujuk pada kitab-kitab fiqh klasik abad pertengahan. Sedangkan kelemahan utama produk hukum tersebut adalah nihilnya hukum isu-isu terkini. Pencatatan perkawinan contohnya, yang tidak dapat ditemukan di kitab klasik mana pun. Untuk itu, ushul fiqh berperan penting dalam istinbath hukum.

Kiranya dengan menggunakan qiyas kita dapat memahami, bahwa mencatat pernikahan merupakan anjuran, sebagaimana halnya transaksi muamalah lainnya. Dalam surah al-Baqarah ayat 282, Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya secara adil. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimla (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada hutangnya.

Ayat tersebut menjelaskan anjuran untuk mencatat hutang-piutang. Anjuran tersebut tentu saja bertujuan agar tidak ada kesalahan, keraguan, dan penipuan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Disebutkan pula, bahwa yang dimaksud tidak hanya terkait hutang. Melainkan setiap transaksi muamalah, seperti jual-beli, sewa, dan lain sebagainya.

Adapun pernikahan yang masih tergolong kategori muamalah, terdapat kesamaan dengan muamalah jual-beli dalam rukun, terutama adanya akad, saksi, dan sighah akad. Meskipun terdapat perbedaan pendapat ulama di dalamnya. Untuk itu, mencatat pernikahan yang tidak ada nash sharih-nya dapat diqiyaskan dengan muamalah hutang-piutang.

Baca Juga  KBRI Tunis, PCIM Tunisia, dan PCINU Tunisia Gelar Shalat Gaib dan Tahlil untuk Buya Syafi'i

Illat hukum dari pencatatan hutang di atas adalah bukti validitas sebuah perjanjian atau bukti akurat transaksi muamalah (bayyinah sharihah). Sedangkan pernikahan, jauh lebih sakral dan agung untuk dicatatkan. Dengan demikian, pencatatan pernikahan dianjurkan dalam Islam, sebagaimana muamalah hutang-piutang dan muamalah lainnya dianjurkan untuk dicatat.

Di samping berbentuk anjuran, pencatatan pernikahan sejatinya merupakan kemaslahatan, khususnya bagi orang-orang yang melangsungkan pernikahan tersebut. Sebagaimana tercantum dalam pasal 2 Undang-Undang tahun 1 tahun 1974, bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku.

Tak ayal, kebijakan tersebut merupakan implementasi dari kaidah fiqh yang berbunyi, tasharruf al-imam ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah. Artinya, kebijakan imam atau pemerintah bagi rakyat harus dilakukan atas dasar maslahat. Bayangkan saja, jika pencatatan pernikahan tidak diwajibkan dalam Undang-Undang, berapa banyak pihak yang dirugikan? Berapa banyak anak-anak yang ditinggalkan dan ditelantarkan orang tuanya? Bagaimana masa depan generasi bangsa kita ke depan?

Perlu diketahui, fungsi pencatatan nikah bukan hanya sebagai alat bukti sah dan otentik telah terjadinya perkawinan. Melainkan juga sebagai alat bukti sah ketika berperkara di Pengadilan. Bahkan, ia dapat menjadi bukti otentik untuk mendapatkan perlindungan hukum berkaitan dengan hak-hak sebagai akibat hukum adanya perkawinan, seperti nafkah, tempat tinggal, warisan, dan lain-lain. Jika ada pelanggaran perjanjian dalam pernikahan, tanpa adanya bukti konkret tersebut, maka suami atau istri tidak mampu berbuat apa-apa, karena tuntutan tidak dapat diteruskan.

Kebanyakan nikah sirri kerap kali berujung pelanggaran pernikahan atau pengabaian hak dan kewajiban. Tidak memberi nafkah istri dan anak-anaknya. Melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tidak memberikan harta warisan kepada istri dan anak-anaknya. Bahkan, melakukan tindak pidana, seperti meracuni.

Karenanya, dengan cara mencatatkan pernikahan secara resmi, tidak ada lagi kekhawatiran dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Tidak ada lagi kemudharatan yang akan bermunculan di kemudian hari. Kasus sate sianida yang dikirim perempuan kepada suami sirrinya, berawal dari dendam sebab adanya pelanggaran pernikahan. Namun, sang istri tidak berdaya sehingga mendorongnya untuk melakukan hal nekat.

Oleh sebab itu, ketika terdapat sesuatu yang mudharat seharusnya kita hindari dan tinggalkan. Percayalah, mencegah lebih baik daripada mengobati. Mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan akan jauh lebih baik daripada kita menghadapi imbasnya. Sementara kita telah mengetahui bersama konsekuensi dari nikah sirri, bahwa nikah sirri itu mudharat.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.