Berpancasila dengan Sepakbola

KolomBerpancasila dengan Sepakbola

Kemenangan Chelsea sebagai juara Liga Champions UEFA musim ini membawa dampak tersendiri bagi para penggemar sepakbola. Pasalnya, dengan gaya bermain Chealsea yang penuh dengan keyakinan, pertahanan yang tangguh, dan fair play menjadikannya dipuji-puji. Tidak saja oleh penggemarnya sendiri, tetapi juga para penggemar lawan-lawannya, tak terkecuali di Indonesia. Dari titik ini, kita dapat melihat sepakbola sebagai instrumen penting persatuan dan solidaritas.

Masih dalam kaitan ini, tentu sepakbola dapat menjadi penyegar ingatan kita terhadap Pancasila yang hari kelahirannya akan dirayakan besok, 1 Juni 2021. Sebab, eksistensi Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm pascareformasi dapat dikatakan mulai banyak dilupakan sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. Apalagi, jika melihat Pancasila dalam jeratan praktik politik. Karena itu, menurut saya sepakbola dapat menjadi alternatif dan instrumen penting untuk kita berpancasila.

Sejak 1 Juni 1945 Pancasila ditetapkan sebagai pedoman kehidupan bangsa Indonesia, baik itu di dunia politik maupun di dunia sosial. Segala hal-hal putusan yang diambil menyangkut kehidupan hajat orang banyak, dan wajib mengedepankan Pancasila demi menjaga keutuhan negara.

Bung Karno menegaskan dalam pidato 17 Agustus 1957, bahwa pendidikan jasmani dan olahraga sangat penting untuk pengembangan karakter bangsa. Hal ini juga diungkapkan oleh Iain Adams dalam Pancasila: Sport and the Building of Indonesia – Ambitions and Obstacles, (2003), bahwa Bung Karno memerlukan olahraga sebagai pengikat Pancasila agar mudah dimengerti. Bahkan Bung Karno juga mengeluarkan tiga amanat Presiden pada 9 April 1961. Yang mana salah satunya mengatakan, jika olahraga memiliki fungsi amat penting dalam muka kelima Revolusi Pancamuka, yakni membangun Manusia Indonesia Baru.

Aktualisasi pancasila hingga kini, masih belum benar-benar dicermati dan dipahami oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat melalui semakin maraknya penyimpangan yang dilakukan sehingga melanggar nilai-nilai dari pancasila. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh beberapa oknum karena kurang adanya rasa nasionalisme dalam dirinya, berdampak pada memudarnya eksistensi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata.

Padahal, Indonesia sebagai sebuah bangsa yang bermartabat, harus dapat menentukan suatu kebijakan yang dianggap baik. Dalam kata lain, sudah sewajarnya dan sudah sepantasnya jangan sampai melanggar nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila.

Baca Juga  Gus Mus: Meniru Nabi Bukan Hanya Meniru Pakaiannya

Sedikit contoh upaya mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan melalui bidang olahraga, yang dalam hal ini adalah sepak bola. Sebab, hal tersebut sejalan dengan pasal 4 Undang Undang No 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional Republik Indonesia menjelaskan bahwa tujuan keolahragaan nasional, yakni memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kebugaran, prestasi, kualitas manusia, menanamkan nilai moral dan akhlak mulia, sportivitas, disiplin, mempererat, membina persatuan kesatuan bangsa, memperkokoh ketahanan nasional, serta mengangkat harkat, martabat dan kehormatan bangsa.

Sepak bola yang berpedoman pada Pancasila dapat direfleksikan menjadi suatu aturan, permainan, pertandingan yang didasarkan pada nilai-nilai sportifitas dan fair play. Hal ini dapat diartikan sebagai suatu sikap Pancasilais. Seperti kesiapan dan kesediaan untuk mentaati peraturan, termasuk menghormati wasit dan lawan. Apabila unsur fair play dan sportivitas sedikit saja terabaikan, maka dapat mempengaruhi esensi dari sebuah pertandingan sepak bola. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fair play dan sportivitas dalam sepak bola antara lain, sentimen kedaerahan, prestise, serta keuntungan finansial sebagai target pragmatis.

Jiwa sportivitas dan fair play jelas menjadi bukti nyata aktualisasi Pancasila. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam pertandingan sepak bola harus tercermin pada perilaku para pelaku sepak bola Indonesia. Para pelaku sepak bola harus dapat mengendalikan perilaku supaya tidak mudah terprovokasi, tidak mudah mengeluarkan kata-kata rasis, saling ejekan, dan tidak berperilaku menyimpang.

Kemenangan dalam sebuah pertandingan dapat dijadikan modal motivasi untuk lebih berprestasi lagi. Saat mengalami kekalahan tidak larut dalam kesedihan, kekecewaan, kesedihan, dan keputusasaan. Kekalahan harus menjadi pembelajaran untuk bangkit kembali dan berusaha supaya lebih baik dengan cara-cara yang sehat. Tim juara tidak jumawa dengan keberhasilannya dan yang kalah tidak menyesali kekalahannya. Yang menang tetap memberi uluran tangan sportitas dan yang kalah harus memberi apresiasi kepada sang juara. Akhlak demikian sebenar-benarnya Pancasila yang dapat dikontekstualisasikan dalam sepak bola. Bukan saling mengejek, mencaci, apalagi menyakiti satu sama lain. Selamat Hari Lahir Pancasila!

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.