Menyoal Hadis Tidurnya Orang Puasa Ibadah

KolomMenyoal Hadis Tidurnya Orang Puasa Ibadah

Biasanya, di bulan Ramadhan seperti ini kita banyak mendengar hadis yang membahas keutamaan orang berpuasa. Satu yang populer ialah tentang tidurnya orang puasa adalah ibadah. Banyak yang mendengar bunyi hadis tadi kemudian memilih tidur saja untuk menjalankan ibadah. Fenomena itu lebih terlihat sebagai suatu kesalahpahaman atas hadis atau dalih seseorang untuk bermalas-malasan, menunggu waktu berbuka dengan hanya tidur sepanjang hari. Benar saja, hadis yang menyebut tidurnya orang puasa sebagai ibadah berstatus lemah bahkan maudhu’ (palsu). Artinya, itu bukan ucapan Nabi Muhammad SAW.

Hadis tadi termuat dalam sejumlah kitab yang di dalamnya tidak terlepas dari riwayat-riwayat yang lemah. Salah satunya terdapat dalam kitab Syu’abu al-Iman milik Imam al-Baihaqi. Oleh karena itu, tidak ada satu pun kitab hadis sahih seperti Sahih Bukhari atau Sahih Muslim yang mencatatnya. Secara lengkap bunyi hadis tadi ialah bahwa, Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni.

Dalam silsilah sanad hadis tersebut terdapat perawi bernama Ma’ruf bin Hasan yang berstatus dhaif (lemah), ungkap al-Munawi. Selain itu ada perawi yang jauh lebih dhaif dari Ma’ruf bin Hasan, yaitu Sulaiman bin ‘Amr al-Nakha’i. Imam al-‘Iraqi, seorang kritikus hadis, menyatakan Sulaiman sebagai salah seorang kadzdzab (pendusta). Sudah banyak ahli hadis lain yang mendhaifkan para perawi dari hadis ini. Dari sini jelas, bahwa sanad hadis tersebut tidak lolos verifikasi, karena ditemukan transmiter hadis yang lemah serta pendusta. Dalam disiplin ilmu hadis, kondisi demikian menyebabkan hadis tidak dapat dijadikan hujah (dalil).

Dengan status hadis yang terbukti bukan ucapan Nabi, tidak heran jika rasanya terlalu dini apabila begitu saja memahami tidur sebagai ladang ibadah di bulan Ramadhan. Karena pemahaman demikian bertolak belakang dengan nasihat-nasihat agama agar kita tidak bermalas-malasan atau terlalu banyak tidur. Lebih dari itu, bertentangan pula dengan spirit Ramadhan yang mendorong umat Muslim untuk lebih giat dan memperbanyak amal.

Puasa adalah momen kita untuk sejenak menghindari kesenangan-kesenangan manusiawi seperti, minum, makan, berhubungan biologis, dan lain sebagainya. Apabila tidurnya orang puasa secara an sich dianggap ibadah, hingga umat Muslim berbondong-bondong tidur seharian untuk menunaikannya sebagi bentuk ibadah, maka di mana letak esensi ujian menahan hawa nafsu berupa rasa susah, perih, dan tidak nyaman orang berpuasa?

Puasa pun ada tata kramanya. Dalam Ihya ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali menulis bahwa di antara adab berpuasa ialah tidak memperbanyak tidur di siang hari, supaya seorang yang berpuasa mencecap bagaimana rasanya haus dan lapar, merasakan lemahnya daya dan kekuatan. Dengan demikian, hati akan mengalami pembersihan. Akan timbul kesadaran bahwa yang Maha Kuat hanya Allah semata. Dan dalam dimensi horizontal, rasa empati serta solidaritas terhadap kaum duafa bisa mengembang.

Salah satu ciri orang yang beriman dan bertakwa ialah yang sedikit tidurnya karena energinya ditransfer untuk beramal ibadah. Hal ini Allah kabarkan dalam surat as-Sajdah [32]: 16 yang artinya, Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (jarang tidur), mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.

Allah SWT amat mencela perilaku malas. Dia lebih suka pada mukmin yang kuat dan tangkas daripada sorang mukmin yang lemah serta tak bersemangat. Saat berpuasa sekalipun kita tetap harus aktif juga produktif. Menurut ukuran kesehatan, tubuh orang berpuasa justru dalam kondisi terbaik dan menunjang. Karena dengan puasa, kita memberi jeda rehat untuk organ tubuh kita.

Baca Juga  Gus Mus Ulama Moderat Panutan Kita

Lebih dari itu, preseden produktivitas Muslim saat berpuasa bisa kita tilik dalam sejarah kenabian. Sejumlah peperangan yang Nabi lakukan dahulu terjadi di bulan Ramadhan, bahkan Nabi keluar sebagai pemenang, di antaranya adalah perang Badar dan perang Khandaq. Hal ini menunjukkan, bahwa puasa bukan penghalang kerja, bahkan aktivitas yang menuntut kekuatan fisik dan otak, laiknya contoh perang tadi.

Bukannya tidur siang saat berpuasa menjadi sama sekali buruk atau terlarang. Ada kondisi tertentu yang bisa mengantarkan tidur kita bernilai ibadah. Seorang yang berpuasa dan berpotensi terlibat maksiat saat berkumpul dengan banyak orang, seperti bergunjing, menonton hal yang diharamkan, berbohong, atau yang semisalnya. Dan dengan tidur semua kemungkaran itu dapat dihindari, maka tidur seperti inilah yang baik dan bernilai ibadah. Rasulullah memerintahkan dalam sabdanya, Hendaklah kamu menahan diri dari berbuat buruk, karena sesungguhnya penahanan diri dari keburukan adalah sedekah. (HR. Bukhari).

Selain itu, jenis tidur yang juga dianggap ibadah ialah tidur yang bertujuan agar bisa terjaga dan mengisi malamnya dengan ibadah. Setidaknya hal ini pernah diinstruksikan Nabi dalam hadisnya, Mintalah bantuan kalian dengan qailulah (tidur sejenak pada pertengahan siang) agar bisa bangun malam.

Janganlah kita menampakkan kelemahan tersebab puasa yang diujikan pada kita. Nabi Isa pernah menasihati para pengikutnya agar menyegarkan diri atau menghias diri saat berpuasa supaya tidak terlihat lesu, hingga orang sadar bahwa kita sedang berpuasa. Petuah ini amat penting untuk menghilangkan mental lemah sehingga layak dikasihani. Dalam hal ini, tidak sebaiknya saat kita berpuasa hanya fokus pada rasa letih dan malas hingga besar keinginan untuk lebih memilih tidur ketimbang beraktivitas.

Sebelum menisbatkan suatu ungkapan kepada Rasululllah SAW, kita harus memastikan apakah itu benar ucapan Nabi atau bukan. Karena tidak boleh mengatakan sesuatu datang dari Nabi, padahal bukan. Selain ancamannya yang tidak main-main, ungkapan yang diatasnamakan Nabi akan menimbulkan kesalahpahaman dan hal-hal yang kontraproduktif. Betapa berbahaya berdusta atas nama Nabi. Sesungguhnya kebohongan atas namaku (Rasulullah) tidaklah seperti berdusta atas orang lain. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempatnya di neraka. (HR. Bukhari-Muslim).

Rasulullah SAW tidak mungkin menyarankan umatnya untuk berlaku malas atau menyia-nyiakan waktu, apalagi saat Ramadhan. Maka terbukti kemudian bahwa hadis yang seolah mendukung umat untuk banyak tidur dan tidak produktif adalah palsu. Untuk itu, jangan lagi menjadikannya sebagai pembenar dari syahwat malas bergerak dan tidur berkepanjangan saat berpuasa.

Banyak sekali opsi ibadah lain yang bisa dilanggengkan dan memberikan manfaat bagi banyak orang, daripada sekadar tidur. Ibarat kata, tidur adalah pilihan terakhir setelah ibadah produktif seperti belajar, membantu kaum papa, mendaras al-Quran, dan lain sebagainya telah usai dituntaskan.

Dalam suatu hadis dari Imam Abu Daud ditegaskan, bahwa Islam adalah agama pergerakan, kerja, dan produksi. Terlihat bagaimana spirit Islam yang mendukung aktivisme positif umatnya. Tak ada lagi dalil untuk berdalih, mengemas kemalasan dengan jubah ibadah. Tidur yang masuk kategori ibadah adalah tidur yang beralasan dan ditujukan untuk pelaksanaan ibadah lain, bukan tidur karena malas atau alasan tak produktif lainnya. Sebagai bulan yang tiap sendinya adalah kemuliaan, maka jangan sia-siakan setumpuk menu ibadah sosial serta ritual yang disajikan oleh Ramadhan. Wallahu a’lam.

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.