Belajar Toleransi di Bulan Ramadhan

KolomBelajar Toleransi di Bulan Ramadhan

Sepanjang bulan Ramadhan, toleransi yang dirasakan umat Islam begitu tinggi. Umat non Muslim dengan suka cita turut menyambut Ramadhan dan mengucapkan selamat berbuka puasa. Bahkan, tak jarang ditemukan beberapa gereja-gereja membagikan takjil di persimpangan jalan untuk umat Muslim yang tengah berpuasa. Mestinya ini menjadi momen yang diperingati seluruh umat Islam untuk menghindari aksi terorisme yang kerap menargetkan gereja atau umat non Muslim lainya sebagai simbol permusuhan.

Indonesia sebagai negara majemuk erat perisinggungannya dengan problem toleransi. Salah satu sentimen isu SARA yang acap kali muncul dipermukaan, yakni isu tentang keagamaan. Padahal, jika menilik saat Ramadhan betapa rekatnya hubungan umat non Muslim dengan umat Islam yang saling menghargai, berbagi kebaikan, dan nilai posutuf lainnya, yang mana harusnya momentum tersebut menjadi acuan melanjutkan implementasi toleransi pada keseharian, termasuk apabila terjadi isu nasional atau global. Momentum Ramadhan dapat menjadi titik temu kerukunan antar agama.

Umat Islam yang menjalani puasa selama sebulan penuh mestinya lebih memahami esensi puasa yang bukan sekedar menahan lapar dan minum, melainkan untuk lebih prihatin kepada kehidupan fakir miskin. Mereka hidup susah payah untuk mencari makan dalam sehari, sementara orang kaya bisa menikmati makanan apapun yang ingin dinikmatinya tanpa harus lama menahan lapar. Selain belajar hidup prihatin, esensi puasa ada dalam jihad Islam yang terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.

Seorang yang menyebut dirinya berpuasa, tetapi dalam kondisi yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu menggunjing, marah, memfitnah, kasar, dan menyakiti orang lain. Kata Nabi SAW orang tersebut bukan al-shawwam (orang berpuasa), tetapi hanya al-jawwa’ (orang lapar). Sebagaimana Rasulullah SAW suatu ketika mendengar seorang perempuan sedang memaki-maki jariyah (pembantu) kepunyaannya, padahal perempuan itu sedang berpuasa. Beliau mengambil makanan lantas berkata makanlah. Rasulullah SAW menegur, bagaimana mungkin engkau berpuasa, sementara kau memaki jariyah-mu. Terakhir beliau berucap, alangkah sedikitnya yang berpuasa, alangkah banyaknya yang lapar.

Dalam buku Islam Aktual karya Jalaluddin Rakhmat (1994), hakikat puasa terletak dalam imsak ‘an (menahan diri) dan imsak bi (berpegang tegug kepada perintah Allah dan Rasulnya). Jika seorang dapat mencakup keduanya, maka mereka adalah orang-orang yang bertaqwa. Tanda orang yang berpuasa imsak bi, ia seorang yang memiliki keyakinan dan berpegang teguh padanya. Kebenarannya dipertahankan, tidak bisa diperjual belikan ataupun ditakut-takuti.

Baca Juga  Era Baru Produk Halal Indonesia

Tanda orang yang berimsak bi, dari umpama yang ada seorang bisa saja menyerukkan untuk kembali teguh pada al-Quran dan Rasul, akan tetapi realitanya keras meneriakkan agar warung-warung yang berbuka di waktu puasa dipaksa tutup. Tanpa memikiran orang yang tidak berpuasa, misal ibu menyusui, para balita, orang sakit atau lemah, seperti lansia. Terakhir pe tidak semua masyarakat Indonesia itu Muslim, tetapi ada pula umat Kristen, Kong Hucu, Buddha, dan umat lainnya yang bukan Muslim.

Mengapa mereka tidak belajar mengedukasi dirinya lebih dulu dengan sikap toleransi. Jika orang yang tidak berpuasa harus menghargai orang berpuasa, maka sebaliknya pun orang yang berpuasa mesti menghargai orang yang tidak berpuasa. Warung yang dibuka saat puasa Ramadhan, tetap diperbolehkan asalkan ada tirai penutup agar tidak terlalu kentara dan sebagai bukti penghargaan pada bulan suci Ramadhan.

Kemudian dimensi imsak ‘an sudah banyak dibicarakan, yakni dalam Ihya Ulumuddin Imam al-Ghazali menyebutkan di antara cara menahan diri pada waktu puasa. Yakni, menahan pandangan dan tidak mengumbarnya pada hal-hal yang tercela dan dibenci, menjaga lidah atau pendengaran dari ucapan hal yang sia-sia atau tercela, menahan diri dari perbuatan dosa, tidak makan secara berlebihan, dan sesudah berbuka puasa hendaknya hati berada pada pengharapan dan cemas. Tidak terlalu takut puasanya akan ditolak, tetapi tidak terlalu yakin puasanya pasti diterima Allah SWT. Ketika hal tersebut telah diupayakan, maka menurut Imam Ghazali seseorang akan menemukan ketakwaan dalam realitasnya.

Segala sikap kebaikan yang ada di bulan Ramadhan merupakan latihan atau sebagai stimulus memperbaiki pola hidup yang lebih bermakna. Keindahan toleransi di bulan Ramadhan menjadi lebih istimewa ketika dalam suatu lingkungan didapati secara langsung berbagai umat agama yang hidup berdampingan dengan saling menghargai dan berbagi kebahagiaan.

Pada intinya, seorang yang bisa bertoleransi pada bulan Ramadhan itu artinya ia telah dekat mencapai kesempurnaan dalam berpuasa, yaitu puasanya orang yang bertaqwa. Tidak sekadar menahan lapar dan dahaga, seperti halnya imsak ‘an, tetapi juga imsak bi yang mampu merefleksikan nilai-nilai sosial spiritual. Demikian, bersikap toleransi di bulan Ramadhan dapat mengantarkan pada keridhaan Allah SWT dengan tidak mengabaikan sikap baik kita terhadap sesama manusia.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.