Ceramah Toleransi Kiai Uci

KolomCeramah Toleransi Kiai Uci

Meskipun Kiai Uci Thurtusi, seorang ulama Banten, telah wafat, tetapi dakwahnya, baik yang disampaikan kepada para santri, maupun kepada masyarakat masih melekat kuat. Kiai Uci tidak hanya mencerahkan dan mencerdaskan umat, tetapi juga kerap kali menyampaikan, bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi.

Kiai Uci atau yang akrab disapa Abuya Uci, merupakan putra Abuya Dimyathi Cilongok. Setiap kali penulis berjumpa dengannya, kesan Kiai sederhana, berwibawa, dan berk yang rutin, setiap hari mengajarkan ilmu kepada para santrinya. Dan berdakwah kepada masyarakat umum setiap minggunya. Untuk itu, Kiai Uci disegani dan dihormati masyarakat luas. Juga dekat dengan para ulama nusantara lainnya, termasuk Gus Dur dan Habib Luthfi Pekalongan.

Ulama nusantara banyak jumlahnya. Namun, satu hal yang menarik dari Kiai Uci, bahwa ia sangat kritis terhadap pemahaman agama yang kaku dan berlebihan. Salah satunya adalah pemahaman kelompok wahabi yang mudah mengharamkan dan menyalahkan umat Muslim lain. Pemahaman yang dimaksud adalah bahwa melangsungkan tahlil, maulid Nabi SAW, dan haul itu bid’ah. Tidak cukup membid’ahkan, mereka juga mengklaim orang yang mempraktikkan tradisi tersebut sebagai sesat.

Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu memahami terlebih dahulu apa itu bid’ah. Dalam hadis disebutkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda, jauhi perkara baru, karena semua bid’ah adalah sesat [HR Abu Daud dan al-Tirmidzi]. Jika dipahami secara tekstual dan sekilas saja, maka hadis ini mengarahkan kita untuk menjauhi setiap perkara yang baru agar tidak terjebak dalam kesesatan.

Namun, ternyata para ulama tidak memahaminya demikian. Tidak semua perkara baru itu bid’ah. Salah satunya adalah Ibn Daqiq al-‘Id. Dalam Syarh Arba’in al-Nawawiyyah, ia menjabarkan, “ketahuilah muhdats (perkara baru) ada dua macam. Pertama, perkara baru yang tidak memiliki landasan dalam syariat. Ini dianggap batal dan tercela.”

Ia melanjutkan, “kedua, perkara baru yang memiliki kesamaan (landasan) dalam syariat. Model kedua ini tidak tercela karena kata musdats dan bid’ah itu sendiri tidak tercela dari sisi namanya. Namun, muhdats dan bid’ah dianggap tercela jika bertentangan dengan sunnah dan membawa kepada kesesatan. Sebab itu, jangan dicela secara mutlak, karena Allah berfirman, tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Quran yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka [al-Anbiya: 2]. Umar ibn Khattab berkata, sebaik-baik bid’ah ini, yaitu shalat tarawih.”

Baca Juga  Ibnu Athaillah: Buah Ucapan dari Hati yang Bersih

Kiai Uci menegaskan, bahwa orang-orang yang mengharamkan tahlil, Maulid Nabi SAW, dan haul adalah mereka yang tidak belajar di pesantren. Jika tidak tahu dan tidak memahami ilmunya, maka ia akan mudah membid’ahkan dan mengharamkan. Pandangan seperti ini ia sampaikan ke khalayak.

Bahkan, jika kita memandang sejarah para sahabat setelah Nabi SAW, terdapat sekian perkara yang belum pernah dipraktikkan beliau, tetapi dipraktikkan pada masa sahabat. Salah satunya adalah shalat tarawih berjamaah yang dipraktikkan pada masa Khalifah Umar. Karenanya, Kiai Uci menekankan para jamaah untuk mempelajari sejarah Islam. Begitu juga halnya belajar sejarah Tanah Air sendiri.

Lebih lanjut, Kiai Uci menasihati umat untuk memperbanyak mengaji dan mengkaji agar masyarakat kuat secara mental dan spiritual. Dengan begitu, mereka tidak akan mudah hanyut dalam pemahaman menyimpang. Seperti halnya pemahaman, bahwa orang asal Bayur, salah satu daerah di Tangerang, mengaku sebagai Nabi dan membawa risalah kenabian. Begitu pula pemahaman mudah mennyesatkan dan mengafirkan.

Kiai Uci menyampaikan pula dalam pengajiannya, biasanya dihadiri ratusan orang, bahwa Islam itu agama toleransi. Sejak awal kelahirannya, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berlaku toleran terhadap umat beragama lainnya. Di samping itu, Kiai Uci juga memaparkan dan menjelaskan persoalan keseharian umat, seperti bagaimana shalat yang baik. Bagaimana menjadi Muslim yang baik di tengah keragaman Tanah Air. Bagaimana menyelesaikan masalah-masalah rumah tangga. Dan lain sebagainya.

Dari sini dapat kita simpulkan, bahwa ceramah atau dakwah Kiai Uci adalah dakwah yang mencerahkan dan menjawab persoalan umat. Ceramah anti-radikalisme yang mengantarkan umat kepada moderasi beragama. Di samping mengkaji tafsir al-Quran dan kitab hadis Nabi SAW, Kiai Uci juga mengajarkan kitab-kitab ulama klasik kepada banyak orang.

Dengan demikian, dakwah toleransi yang disampaikan Kiai Uci kepada umat, tidak hanya mencerahkan, tetapi juga menjawab persoalan banyak orang. Dakwah anti-radikalisme yang mendamaikan. Tidak mengantarkan umat kepada pemahaman saling mudah membid’ahkan. Atau bahkan mengkafirkan.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.