Pentingnya Beragama dengan Humor

KolomPentingnya Beragama dengan Humor

Terorisme merupakan persoalan dengan variabel pemicu yang kompleks. Secara karakter, para pelaku teror relatif memiliki sikap kaku, terlampau serius, dan dikuasai muram durja. Tidak ada selera untuk bercanda. Dalam tataran sosial pun umumnya mereka menutup diri. Karakter demikian menjalar pada cara pandang keberagamaan mereka yang juga tegang dan tidak gembira.

Hal ini diamini oleh Asef Bayat, seorang sosiolog dari University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika Serikat, yang menyebut bahwa di antara ciri dari kelompok fundamentalis ialah tiadanya perasaan ‘fun’ dalam hidup mereka. Defisit canda dalam tubuh masyarakat menjadi gejala mengkhawatirkan yang bisa mengantarkan seseorang berbaiat pada kelompok teroris-radikal. Tradisi berhumor menjadi penting untuk mencairkan ketegangan dalam beragama serta menumbuhkan relasi sosial yang sehat.

Menyelipkan nuansa canda dalam laku beragama bukan berarti mempermainkan atau meremehkan agama itu sendiri. Beragama dengan humor adalah menata sikap keberagamaan dengan cara yang luwes, terbuka, dan penuh spirit kegembiraan, agar agama benar-benar menjadi jalan penyedia kedamaian dan persaudaraan yang hangat.

Selama ini, agama terlalu dominan dikonseptualkan sebagai institusi yang mengekang, penuh hukuman, juga memberatkan. Hingga lahirlah sekte galak yang tertutup, ringan mengafirkan orang lain, bahkan hobi meledakkan bom. Bukan karena agama mengajarkan kekerasan, tetapi pemeluknyalah yang salah arah menafsirkan teks sucinya. Orang banyak yang lupa bahwa sisi jamaliyah (keindahan) Tuhan dan Maha Kasih-Nya jauh lebih luas daripada murkanya.

Urgensi berhumor ini bukanlah lelucon atau isapan jempol belaka. Sikap tidak rileks dalam beragama dan raibnya minat humor pada diri seseorang dapat meningkatkan level ketegangan, stres, yang berujung pada kerawanan atas provokasi. Keyakinan pada doktrin al-ghuroba’ (orang-orang terasing) juga menjadi faktor pemicu eksklusivisme dan tindakan teror kaum radikal. Aktivisme terornya pun secara sosial tak membuat mereka malu atau takut karena dinilainya sebagai definisi dari hadis tentang al-ghuroba’ tadi. Di mana tentunya bukan kekerasan dan terorisme yang dimaksud Nabi dalam riwayat hadis tersebut.

Faktanya, tipikal para teroris adalah orang-orang yang selalu mengklaim kebenaran tunggal, sementara orang di luar lingkaran mereka dicap pasti salah. Kekakuan pola pikir mereka ini butuh diinjeksi dengan humor. Karena humor merupakan medium yang dapat memberikan akses untuk dapat berkomunikasi secara bersahabat, sehingga kita pun bisa lebih menghargai keberadaan dan cara pandang orang lain.

Selain itu, dalam pandangan Syekh Yusuf al-Qardhawi, kaum radikal merupakan kelompok yang hobi mempersulit ajaran agama. Semakin keras dalam praktik keagamaan, dianggapnya semakin paripurna dalam beribadah.

Saya membayangkan betapa rumit dan tertekannya psikologi komunitas garis keras semacam ini. Mereka sejatinya butuh oase kegembiraan. Untuk itu, mereka harus terbuka menerima kelakar dan canda untuk menikmati kehidupan serta agama itu sendiri. Fahmi Huwaidi, seorang kolumnis terkemuka dari Mesir, mengajukan pertanyaan menyentil sebagai judul bukunya; haruskah menderita karena agama? Pastinya tidak. Nabi jelas bersabda, Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Dikukuhkan oleh al-Quran dalam surat al-Baqarah [2]: 185, Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.

Tawa menjadi pertanda adanya kelapangan dan kebebasan. Dalam teori pembebasan, dijelaskan dampak secara emosional dari humor. Yakni bahwa humor akan membebaskan seseorang dari rasa tertekan secara psikologis serta marginalisasi sosial (Wilson, 1979: 10).

Baca Juga  Jangan Mudah Terhasut Kebencian

Islam tidak melarang humor. Kita akan menemukan begitu banyak referensi bahwa canda dan kelakar ada dalam tradisi Islam. Jangan kira Rasulullah SAW selalu hadir dengan tampilan tegas dan serius saja. Beliau pun tertawa serta berbagi canda. Tersebut dalam suatu riwayat misalnya, ketika Nabi Muhammad SAW pernah tertawa hingga nampak gigi gerahamnya karena bercanda dengan para sahabat beliau.

Nabi juga pernah mencandai wanita tua yang minta didoakan masuk surga. Rasulullah SAW pun menanggapinya dalam format humor yang bermutu dan bukan kebohongan. Beliau mengatakan bahwa di surga tidak akan didapati nenek tua. Jawaban ini sontak membuat wanita tua tadi menangis sejadinya karena mengira dirinya tak masuk kualifikasi penghuni surga. Sembari tersenyum Nabi pun mengatakan, bahwa semua penghuni surga dijadikan muda, perawan, dan berusia sebaya. Dengan cerdas Nabi mengemas ayat al-Waqi’ah [56]: 35-37 menjadi sebuah humor yang berkelas. Demikian Rasul kita mencontohkan sikap cair dalam beragama yang dapat menguatkan keakraban dengan sesama.

Khazanah ke-Indonesia-an kita memiliki sosok Gus Dur yang merupakan master mind dalam membaca agama menjadi sebuah tamansari kebahagiaan dan gelak tawa, bukan menjadi momok yang mencemaskan ataupun sumber ketakutan. Gus Dur adalah bukti bahwa beragama itu sederhana dan tak perlu mempersulit diri. Warisan budaya humor ini menjadi perangkat ampuh untuk merekatkan persaudaraan dan merawat kesehatan cara pandang umat beragama.

Dalam tesis Franz Roseanthal, penulis buku Humor in Early Islam (1956), semangat berhumor yang rendah hingga merebak kemudian kelompok berpola pikir kaku seperti sekarang, ditengarai oleh diaspora paham Wahabi di tengah masyarakat pada sekitar abad ke-20. Kita tahu, kelompok puritan ini begitu mudah mengharamkan sesuatu karena pandangan literalnya yang sempit. Oleh karena itu, mereka begitu sensitif dan sulit menerima humor. Alih-alih tertawa, ketika sentuhan canda disematkan pada domain agama, bahkan bisa diasumsikan sebagai sebuah penistaan. Atau dianggap sebagai sesuatu yang akan mengeraskan hati.

Humor membentuk dasar kesehatan mental yang baik. Ketiadaan sense of humor pada diri seseorang mengindikasikan adanya masalah, seperti keterasingan diri atau depresi. Cengkeraman situasi mental yang negatif pun akan terangkat ketika berjumpa dengan humor. Semua ini tentu bukan kelakar dalam bingkai hinaan atau dusta.

Beragama adalah proses perjalanan manusia untuk memperhalus akal budi dan melahirkan pribadi yang berakhlak mulia. Seseorang yang kaku, tertutup, dan alergi humor hanya akan menjadikan dirinya keras hati, gagap peradaban, serta penuh curiga pada tatanan kehidupan. Humor adalah mesin penghangat persaudaraan. Orang yang hati dan pikirannya lapang, senang bergaul serta bercanda, akan sulit terjangkit virus eksklusivisme radikal. Hampir mustahil orang humoris menjadi teroris. Nuansa cair dalam beragama harus terus ditumbuhkan untuk mengurai simpul ketegangan.

Terakhir, syair dari Abu al-Fath al-Busti ini patut untuk direnungkan, “Berikanlah istirahat pada tabiat kerasmu yang serius. Rilekskan dahulu dan hiasilah dengan sedikit canda”. Beragamalah sewajarnya, jangan lupa mampir tertawa. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.