Pernikahan di Bawah Umur Bukan Sunnah

KolomPernikahan di Bawah Umur Bukan Sunnah

Orang-orang yang melangsungkan pernikahan di bawah umur kerap menganggap pernikahannya adalah sunnah Nabi. Praktik ini tak lain berlandaskan hadis Nabi Muhammad SAW ketika menikahi Aisyah yang masih di bawah umur. Sampai marak Aisha Wedding, agensi pernikahan yang siap mewadahi terselenggaranya pernikahan di bawah umur. Padahal, untuk memahami maksud dan menerapkan hadis tentang pernikahan antara Nabi dan Aisyah tidak cukup berdasarkan satu hadis saja. Melainkan diperlukan pula pengetahuan yang mapan terkait latar belakang munculnya hadis tersebut sekaligus hadis-hadis lain yang menjelaskan tentangnya.

Ulama ahli hukum Islam berbeda pandangan terkait hukum pernikahan. Sebagian besar membedakannya berdasarkan kondisi atau situasi yang dialami seorang Muslim. Sebagian ulama mengklasifikasi hukum pernikahan menjadi 5 cabang. Pertama, mubah atau jaiz, sebagaimana asal hukumnya. Kedua, sunnah, bagi orang yang sudah mampu, baik secara dzahir (seperti faktor ekonomi), maupun batin (seperti kesiapan mental).

Ketiga, wajib bagi mereka yang sudah mampu secara dzahir dan batin serta dikhawatirkan terjebak dalam perbuatan zina. Keempat, pernikahan menjadi haram hukumnya bagi mereka yang berniat untuk menyakiti perempuan atau laki-laki yang akan dinikahinya. Terakhir, pernikahan menjadi makruh bagi mereka yang belum mampu memberi nafkah dengan baik, baik secara dzahir maupun batin.

Sebaliknya, Imam Taqiyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir mengatakan, menikah dini, yaitu menikah pada usia remaja atau muda hukumnya sunnah atau mandub. Pandangan ini merujuk kepada hadis Nabi yang berbunyi, wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu hendaklah menikah. Sebab dengan menikah itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kehormatan. Kalau belum mampu, hendaklah berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu [HR Bukhari & Muslim].

Padahal, jika kita menimbang substansi yang terkandung dalam hadis di atas, terdapat beberapa kesiapan yang perlu ditekankan kepada publik. Pertama, kesiapan materi, baik dalam memberikan mahar, maupun nafkah rutin kepada istrinya kelak. Hal itu tak lain demi memenuhi kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyyah) berupa sandang, pangan, dan papan yang wajib diberikan dalam kadar layak (bi al-ma’ruf).

Kedua, kesiapan fisik dan mental (psikis). Baik dari pihak laki-laki maupun perempuan perlu mempersiapkan kedua hal tersebut. Adapun kesiapan fisik, Khalifah Umar ibn Khattab pernah memberikan penangguhan kepada seorang laki-laki (suami) yang impoten untuk berobat. Begitu pula kesiapan mental. Seorang perempuan atau laki-laki yang belum siap secara mental untuk menikah, cenderung tidak senang dan tertekan dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Sebab ia tidak merasa memiliki tanggung jawab sebagai seorang suami atau istri.

Baca Juga  Ibnu Athaillah: Rezeki yang Cukup adalah Kenikmatan Sempurna

Oleh sebab itu, perintah untuk menikah di atas tidak berlaku untuk semua masyarakat Muslim. Hanya orang-orang yang telah memenuhi syarat-syarat di atas saja yang dimaksud Nabi SAW. Sekalipun pernikahan dini hukum asalnya diperbolehkan menurut syariat Islam, tetapi bukan berarti ia dibolehkan secara mutlak bagi semua perempuan dalam semua keadaan.

Adapun pernikahan antara Rasulullah SAW dengan Aisyah radhiyallahu’anha, terdapat beberapa hadis yang menyatakan, bahwa pernikahan itu berlandaskan mimpi. Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda, engkau diperlihatkan kepadaku di dalam mimpi selama tiga hari. Seorang malaikat datang membawamu di dalam sepotong kain sutera. Malaikat itu berkata, ini adalah istrimu. Aku lalu menyingkap wajahmu, ternyata wanita itu adalah engkau. Aku pun berkata, kalau ini berasal dari Allah, maka Dia akan mewujudkannya [HR Muslim].

Hadis ini membuktikan, bahwa pernikahan Rasulullah dan Aisyah adalah ketentuan Allah melalui mimpi. Bukan merupakan sunnah Nabi SAW yang harus diikuti semua umat Islam. Melainkan sebagaimana halnya Rasulullah yang beristri lebih dari empat, kekhususan bagi Nabi dan tidak berlaku bagi umatnya. Untuk itu, pernikahan di bawah umur bukan sunnah.

Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang perlindungan anak No.23 2019. Anak-anak di bawah umur 18 tahun, berhak dilindungi dan dipenuhi hak-haknya. Dengan cara menikahkan mereka, sama saja kita telah abai terhadap hak-hak anak. Dalam hadis pun dikisahkan, bahwa ketika bertemu Nabi SAW, Aisyah merupakan seorang anak yang polos. Untuk itu, Nabi SAW menggaulinya saat Aisyah baligh.

Menghindari diri dari zina adalah jurus andalan orang-orang yang mendesak anak di bawah umur untuk menikah. Tanpa memikirkan bagaimana kehidupan setelah pernikahan. Padahal, pembekalan pendidikan dan materi juga diperlukan bagi mereka demi kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Dengan demikian, pernikahan di bawah umur bukan sunnah umat Islam. Sebab pernikahan antara Rasulullah dengan Aisyah merupakan kekhususan bagi beliau, tidak untuk pengikutnya. Daripada membiarkan hak-hak tumbuh kembang anak terampas dengan cara menikahkan mereka. Lebih baik meningkatkan kualitas pribadi mereka dengan cara mendidik, membina, dan merawatnya sampai benar-benar siap secara fisik, mental, materi, dan spiritual untuk membangun rumah tangga yang harmonis.[]

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.