Belajar dari Nelson Mandela, Menanggalkan Kebencian Rasisme

KolomBelajar dari Nelson Mandela, Menanggalkan Kebencian Rasisme

Berabad lamanya, bangsa kulit hitam menjadi objek diskriminasi paling keras dalam sejarah dunia. Munculnya Nelson Mandela sebagai pejuang yang menanggalkan rasisme menjadi puncak keberhasilannya mengubah peradaban modern yang lebih humanis di Afrika Selatan. Nelson Mandela sadar, manusia yang hidup dalam kebencian sulit berkembang, karena kebencian menguasai ruhnya. Oleh karena itu, mengikhlaskan apa yang terjadi di masa lalu bagian dari kekuatan untuk lebih berfokus membangun masa depan yang cerah.

Dalam buku Habib Ali al-Jufri (2020), salah satu pelajaran yang diajarkan Mandela kepada rakyatnya, serta pada dunia modern adalah pemenang harus memaafkan dan mengampuni mereka yang berbuat salah dan menindasnya. Ia juga menunjukkan betapa seorang pemimpin membantu rakyatnya melewati berbagai kesulitan masa lalu untuk membangun masa depan bersama.

Sebagai korban penindasan, luka psikis jauh lebih membahayakan ketimbang luka fisik. Mulanya, Mandela merasakan ketidakadilan yang terjadi dalam dirinya layak mendapat permusuhan dan dibinasakan. Terhitung, bahwa perlawanan yang dilakukan Mandela membawanya keluar masuk penjara sebanyak 27 kali, hingga di suatu titik ia temukan kebencian yang menguasai dirinya membawa pada jalan kebuntuan dan menjadi penyakit yang menyengsarakan pengidapnya.

Sebagaimana yang diketahui, Nabi Muhammad SAW mengajarkan umatnya untuk tidak membenci. Banyaknya kecaman dan penindasan yang dilakukan kaum Quraisy kepada Rasulullah SAW, beliau senantiasa mencontohkan jika ada jalan damai yang bisa dilewati, maka beliau akan menempuhnya. Setiap orang berhak mendapat kebaikan, sekalipun kepada musuh, bila memang ia membutuhkan pertolongan, bantuan itu tetap harus diberikan terlepas dari kesadaran untuk tetap waspada.

Perjuangan melawan rezim apartheid merupakan prinsip yang dipegang teguh Mandela untuk memerjuangkan hak-hak warga kulit hitam yang tengah didominasi kulit putih. Berangkat dari situasi bangsanya yang tertindas, pada akhirnya Mandela juga menaruh perhatian kepada seluruh masyarakat global yang mengalami nasib sama. Mandela mendukung penuh Palestina yang ditindas oleh rezim Israel dan menyuarakannya pembebasan bagi Palestina di kancah internasional.

Ketangguhan dan kebesaran jiwa Mandela sebagai pemimpin sangat menginspirasi masyarakat dunia untuk menanggalkan rasisme yang sangat memuakkan. Bagaimana tidak, walaupun warga kulit hitam Afrika Selatan tinggal di Tanah Air sendiri, tetapi hak atas kulit putih lebih mendominasi yang jelas bukan kebangsaan aslinya. Timbulnya rasa benci terhadap mereka yang menindas itu sifat manusiawi atau alamiah. Kendati demikian, kebencian tidak bisa dibiarkan menjamur subur, karena hati yang dikuasai kebencian akan sia-sia dan memperkeruh situasi, hingga sulit menjernihkan pikiran.

Baca Juga  Islam Ramah TV: Muslim dan Budaya K-Pop

Terkait kebencian, Rasulullah SAW bersabda memberikan peringatan, Kalian telah terjangkit penyakit umat sebelum kalian, dengki dan benci. Sesungguhnya rasa benci ibarat silet yang bukan mencukur rambut, tetapi dapat mencukur (memusnahkan) agama (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Abdul Barr). Umat Islam yang kerap bertikai dengan sesama Muslim sebab perbedaan paham akidah dapat menciderai agama dari nilai luhurnya.

Kedengkian dan kebencian yang menjurus kepada Ahmadiyah dan Syiah oleh kelompok Islam garis keras, hatta tergoresnya sejarah kelam pembakaran, pembantaian, dan diskriminasi lainnya tidak lain implikasi dari penyakit hati yang menjamur. Demikian, sejatinya kebencian bukan merusak pada apa yang dibenci, justru kerusakannya akan semakin parah bagi mereka yang memelihara kebencian dalam dirinya.

Keputusan Nelson Mandela menanggalkan kebencian merupakan keputusan yang tepat. Dullah Umar merupakan seorang Muslim teman seperjuangan Mandela dalam memberantas rasisme dan salah seorang pengacara yang memberi Mandela saran-saran serta menjadi perwakilannya. Hal ini tampaknya memengaruhi Mandela, meski ia terkenal dan meraih kemenangan, tetapi tidak angkuh, yang memunculkan sikap keberagamaan yang salah.

Itu sebabnya, salah satu ajaran Islam mengentaskan rasisme seperti yang terkonsep dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 13, Manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Semua manusia itu diciptakan sama, yang membedakan hanya ketakwaan pada Tuhannya. Islam dan rahmat itu berdampingan. Dengan demikian, bukan Islam jika ia menindas, mendiskriminasi, tidak mengasihi dan segala sikap yang merugikan orang lain tanpa terkecuali.

Dalam catatan dokumentasi sejarah, Nelson Mandela lahir di Mvezo, Afrika Selatan pada pada 18 Juli 1918 dan meninggal pada 5 Desember 2013, di usianya yang ke-95 tahun. Nelson Mandela adalah orang berkulit hitam di Afrika Selatan yang menjabat presiden pertama terpilih dengan keterwakilan penuh.

Melalui Nelson Mandela kita belajar, kebencian yang menjamur hanya akan menjadi racun bagi dirinya sendiri. Betapapun tajamnya luka yang dibuat orang lain, jiwa pemenang tidak seharusnya menyimpan kebencian. Nelson Mandela telah membuktikan, sikap memaafkan dan mengampuni telah membawanya pada kemenangan, kini warga Afrika Selatan dan bangsa yang berkulit hitam dapat merain hak kesetaraan dan hidup berdampingan dengan harmonis sebagaimana yang diimpikan Mandela. Pada akhirnya, menanggalkan kebencian atas rasisme bagian dari kemenangan terbesar Nelson Mandela yang sekaligus mengantarkannya pada ketentraman yang abadi.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.