Memaknai Perintah Belajar ke Negeri Cina

KolomMemaknai Perintah Belajar ke Negeri Cina

Dalam khazanah hadis-hadis Nabi, kita kerap mendengar satu himbauan untuk mencari ilmu sekalipun sampai ke negeri Cina. Mengingat, menuntut ilmu adalah suatu proses wajib bagi seorang Muslim, maka belajar di manapun dan sejauh apapun itu tidaklah mengapa. Meskipun setelah uji kualitas sanad, hadis perintah belajar ke Cina ini dinyatakan palsu, akan tetapi penyebutan negeri Cina dalam untaian redaksi menjadi hal yang menarik dan patut untuk ditelaah. Adakah makna yang tersimpan di balik perintah memperkaya keilmuan ke negeri Tirai bambu ini?

Ilmu hadis memang tidak mengakomodir ungkapan di atas sebagai sebuah hadis Nabi. Tidak boleh pula menjadikannya sebagai justifikasi tindakan. Dalam pandangan KH. Ali Mustafa Ya’qub (pakar hadis Indonesia), kalimat tadi sekadar bisa masuk pada kategori kata-kata mutiara. Atas dasar ini, yang masih mungkin untuk digali ialah aspek sosiologis-historis mengapa Cina terabadikan dalam kalimat yang bahkan ditengarai sebagai hadis.

Instruksi untuk belajar ke negeri Cina–yang notabene jauh dari tanah Arab–mengasumsikan setidaknya dua hal. Pertama, Islam begitu menekankan manusia, umat Islam khususnya untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan, bahkan jika harus menempuh perjalanan jauh untuk meraihnya. Melalui dokumen sejarah, para sarjana Islam klasik tercatat telah melakukan berbagai rihlah ilmiah panjang dari satu wilayah ke wilayah lain. Lawatan keilmuan itu seolah telah menjadi tradisi.

Ambil contoh Imam Bukhari (256 H), sang pengumpul riwayat Nabi. Ulama yang berasal dari Bukhara, Uzbekistan ini merupakan sosok yang begitu gigih dalam memburu sebuah hadis. Sekian banyak riwayat ia cari ke berbagai penjuru negeri. Sejak usia belia, Imam Bukhari telah tekun menyusuri sekian ratus kota, keluar masuk perkampungan demi mengantongi sabda Rasulullah SAW.

Al-Bukhari menempuh perjalanan spektakuler. Ia yang berdomisili di kawasan Asia Tengah, melalang buana menuju barat ke daerah Mesir, Syam, Basrah, Kufah, Baghdad, Aljazair, Mekkah serta Madinah. Pengembaraan tangguhnya pun mengantarkan Imam Bukhari menjadi ulama hadis kaliber yang dijadikan rujukan utama hingga kini.

Kedua, penunjukan Cina sebagai tanah tujuan belajar, mengindikasikan bahwa di sana terdapat samudera pengetahuan yang dapat diserap. Dalam kajian ilmu hadis dikenal istilah hadis masyhur ‘ala alsinati al-nas (terkenal di kalangan masyarakat umum) dari generasi menuju generasi lain. Dan perintah belajar ke Cina tadi masuk pada kategori hadis tersebut.

Fakta ini menunjukkan, bahwa secara sosiologis dan kesejarahan, ihwal seputar negeri Cina telah menjadi buah bibir masyarakat luas. Tak mengherankan, karena Cina memang tanah dengan peradaban yang subur. Negeri ini merupakan salah satu sejarah kebudayaan tertua di dunia.

Jauh sebelum Islam datang, bangsa Cina telah menguasai pelbagai khazanah ilmu pengetahuan, seperti teknik pembuatan kertas, bubuk mesiu, kompas, peta, gerobak, dan ketabiban. Teknik produksi kertas ini yang kemudian diimpor oleh Muslim pada abad ke-8, sebagaimana diceritakan oleh Ahmet T. Kuru (2020). Pencapaian dan kehebatan peradaban bangsa Cina ternyata telah terdengar di Jazirah Arab pada 500 sebelum masehi.

Melansir dari Kompas.com, bahwa peradaban Cina ditopang oleh serentetan dinasti selama ribuan tahun yang masing-masing berkontribusi pada kemajuan kebudayaan. Terhitung mulai dari dinasti Sang (1766-1122 SM), dinasti Zou (1122-256 SM), dinasti Qin (221-206 SM), dinasti Han (206 SM-221 M), dinasti Sui (581-618 M), dinasti Tang (618-906 M), dinasti Song (960-1268), dinasti Yuan (1279-1368 M), dinasti Ming (1368-1644 M), dinasti Qing (1644-1912 M) hingga zaman modern sekarang.

Sejak era dinasti Sang, bangsa Cina kuno telah mengenal tulisan. Tulisan pada waktu itu lazimnya tertulis pada tulang binatang, piring, ataupun kulit penyu. Tulisan tersebut masih berbentuk gambar atau lambang (pictograf). Dalam hal seni bangunan, mereka pun telah memiliki keahlian tinggi. Tembok raksasa Cina yang saat ini didaulat menjadi salah satu keajaiban dunia, telah dibangun pada masa dinasti Qin. Dengan kata lain sejak tiga abad sebelum masehi.

Hal lain yang telah menjadi kesepahaman bersama ialah kepiawaian masyarakat Cina dalam dunia perdagangan. Yang hingga kini, citra bisnis dan perdagangan seolah telah menjadi DNA bangsa Cina. Di manapun berada, etnis ini selalu andil meramaikan perekonomian sebuah wilayah. Kota Guangzhou dikatakan sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan tertua di Cina. Seorang raja dari dinasti Qin, disebut pernah merintis hubungan dagang dengan India. Masyarakat Tirai Bambu ini pun telah mengenal uang kertas ketika dinasti Tang berkuasa.

Baca Juga  Jihad Akbar Santri Memerangi Korupsi

Tidak hanya sampai di situ. Ilmu pengetahuan, kesenian, serta kesusasteraan juga bertumbuh di negeri Cina. Seni sastra Cina kuno bersumber dari ajaran-ajaran filsafat. Di antara filsuf yang berperan adalah Lao Tse, Kong Fu Tsu, dan Meng Tse. Ajaran filsafat ini berpengaruh pada pembalikan keadaan pemerintahan yang semula kacau hingga berangsur membaik.

Dalam skala yang lebih luas, ajaran filsafat telah menguatkan dan membantu ketahanan peradaban Cina. Khususnya filsafat Kong Fu Tsu yang lahir di era dinasti Zou, selanjutnya dikenal dengan konfusius. Sang filsuf, Kong Fu Tsu, mengajarkan supaya orang-orang Cina kembali pada etika kehidupan lama sebagaimana tradisi para leluhur. Akhlak yang baik harus selalu diutamakan. Prinsip kebajikan inilah yang menjadi landasan laku masyarakat Cina. Berbekal spirit ajaran ini, bangsa Cina mencapai kejayaannya.

Demikian sepenggal gambaran bagaimana hidupnya peradaban Cina. Melalui proses dialektika sedemikian rupa, ada yang kemudian memanfaatkan pamor unggul peradaban Cina tersebut untuk dikonfigurasi dalam sebuah hadis. Dalam pandangan saya, pihak yang membuat hadis palsu ini bertujuan memotivasi umat Muslim untuk tak mencukupkan diri belajar di daerah sekitarnya saja, tapi mau mengembara. Dan dari sini terlihat pula betapa ilmu menduduki posisi agung.

Di antara motif para pemalsu hadis memang ada yang bertujuan positif. Namun demikian, mengatasnamakan Nabi tetaplah tidak bisa dibenarkan. Terkait hadis ini, cukup dijadikan sebagai dorongan untuk tidak mudah merasa puas dalam belajar. Lebih spesifiknya, agar kita tidak menutup diri dan sentimen terhadap sesuatu yang bernuansa Cina. Karena toh banyak yang bisa dipelajari daripada sekadar curiga serta memasang stereotip kepadanya.

Seperti yang bisa kita saksikan sekarang. Bangsa Cina di era modern ini telah kembali menampakkan taringnya sebagai salah satu raksasa dagang global. Ilmu pengetahuan dan teknologi pun pesat berkembang. Mereka mempublikasikan penelitiannya tentang matahari buatan. Tak mau kalah dari pesaingnya–AS–Cina pun juga menggeluti riset terkait antariksa.

Pearl S. Buck dalam The Good Earth mengakui tentang peradaban Cina yang menyimpan sejuta khazanah. Menurutnya, masyarakat Cina bukan termasuk orang yang mudah berubah, akan tetapi mampu menyesuaikan diri saat momen perubahan tiba. Kemampuan bertahan peradaban Cina ialah karena kemampuan penduduknya membangun peradaban yang praktis. Manakala ada sesuatu yang tak beres, mereka tanggap mengatasinya. Demikian papar Pearl.

Tidaklah berlebihan rasanya bila kita mencermati bagaimana kesejarahan dan kebudayaan Cina untuk mendapatkan nilai-nilai reflektif yang bisa diadopsi. Karakter juang, keuletan, dan pendirian positif mereka tak ada salahnya ditiru. Kemajuan negeri Cina dan ketahanannya tak lepas dari akar sejarah kokoh yang dibangun selama ribuan tahun. Keteguhan pada prinsip dan nilai dasar yang menyejarah, seperti filsafat konfusius, juga menjadi faktor yang tak bisa diabaikan. Karena hal tersebut yang telah menjiwai dan menjadi kekuatan untuk bertahan.

Demikian halnya kita, sebagai Muslim sekaligus anak kandung Indonesia, nilai-nilai luhur keislaman dan kearifan lokal harus senantiasa menjadi kompas. Hadis di atas, sekalipun tidak absah secara transmisi, namun menyadarkan kita banyak hal. Bahwa belajar adalah ritual yang begitu mendesak. Jarak, sejauh apapun bukan menjadi aral. Cina kala itu telah maju, maka tak heran menjadi perbincangan publik dan tujuan perjalanan ilmiah. Lebih dari itu, sikap inklusif adalah pondasi untuk menerima pengetahuan dan hikmah. Dan untuk mereguk kesegaran ilmu, niat yang liat menjadi syarat. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.