Rasulullah SAW Nabi Cinta

KolomRasulullah SAW Nabi Cinta

Kesalahpahaman tentang Islam menjadi tantangan besar bagi umat Muslim untuk meluruskannya. Pasalnya, nada kebencian tidak terhenti pada ajarannya saja, akan tetapi berlanjut dialamatkan kepada Rasulullah SAW selaku figur yang inheren dengan Islam. Oleh sejumlah orientalis, seperti John of Damascus (750 M), Rasulullah SAW digambarkan sebagai Nabi gadungan, anti-Kristen yang keranjingan perang. Begitu banyak tuduhan lain terhadap Nabi SAW yang amat tendensius dan bias dari fakta sejarah yang selaras dengan kaidah akademik.

Dakwaan brutal demikian, sangat jauh dari sosok empiris Nabi Muhammad yang luar biasa adiluhung serta padat kasih. Rasulullah SAW dan cinta adalah dua hal yang satu. Integral dan tak terpisahkan. Ditelisik dari sudut pandang manapun, gagasan dasar sosok Muhammad adalah rahmat (kasih sayang). Bukankah pengutusan beliau di tengah belantara kehidupan, semata-mata memang untuk menjadi rahmat bagi seluruh entitas?

Mandat teologis di atas meniscayakan cinta sebagai unsur utama yang mengisi Nabi dan dakwahnya. Dunia Arab pra-Islam didiami beragam penindasan kemanusiaan. Nabi Muhammad SAW hadir mengusung misi profetik untuk mendekonstruksi tatanan sosial masyarakat Arab jahiliah yang amoral. Tujuan profetik ini memuat energi cinta atas kemanusiaan. Penghapusan tradisi perbudakan, kapitalisme Quraisy, marginalisasi perempuan ialah di antara agenda Nabi agar atmosfer cinta dalam kehidupan umat manusia hadir seutuhnya.

Tanpa cinta yang merupakan sumber laku mulia dan tutur lembut, sekiranya dakwah Nabi tidak akan menyentuh hati umat manusia dan tak akan pula bertahan lama. Allah SWT menarasikannya dalam surat Ali Imran [3] ayat 159, bahwa Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu keras lagi bersikap kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Oleh karena motif kemanusiaan dengan hulu cinta, maka dakwah Nabi pun disambut lapang oleh sekalian manusia.

Terhadap penganut agama lain, tidak ada sama sekali langgam kebencian yang diisyaratkan Nabi. Dalam hal ini, beliau telah melampaui toleransi. Nabi adalah pemelihara keragaman dan terlibat secara energik di dalamnya, hingga terbangun interaksi sosial yang genuine (murni). Rasulullah SAW tercatat pernah menerima hadiah seorang budak Kristen yang bahkan beliau persunting dan kasihi.

Ketika mengajak kalangan Kristen Najran untuk memeluk Islam, yang Nabi lakukan adalah diplomasi santun penuh keterbukaan. Tidak ada pemaksaan maupun hunusan pedang. Antara Muslim dan Kristen Najran saat itu digelar diskusi teologis di masjid Nabi. Tibalah waktunya kalangan Kristen ini untuk beribadah, sehingga mereka mulai beranjak dari masjid hendak mencari tempat sembahyang. Tanpa ragu, Rasulullah SAW pun memersilahkan mereka untuk berdoa di masjid beliau, Masjid Nabawi. Tidak ada sentimen keagamaan dalam diri Nabi. Yang terbaca adalah kasih sayang kepada sesama manusia pengikut Tuhan.

Sang penghulu para Nabi ini tak pernah luput memikirkan umatnya. Dalam dimensi yang relatif futuristik, Rasulullah selalu memohonkan ampunan untuk umatnya saat bermunajat. Diceritakan, Abu Dzar, salah seorang sahabat Nabi, ia mendengar Rasulullah mengulang-ulang doa dalam sujud malamnya. Di mana, itu merupakan petikan surat al-Maidah [5] ayat 188, yang bunyinya Jika Engkau mengazab mereka, sesungguhnya mereka hamba-MU. Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya memang Engkau Maha Pengampun lagi Maha Bijaksana. Betapa Nabi peduli dan mencintai kita.

Syahdan, kisah lawatan Nabi ke Thaif yang begitu masyhur juga menunjukkan kualitas beliau sebagai seorang manusia kasih yang paripurna. Ketika dihina-dina dan dilempari bebatuan saat mendakwahkan Islam, Nabi tidak mengafirmasi tawaran malaikat untuk melumat penduduk Thaif yang menyakitinya tadi. Dalam situasi psikologis di mana beliau layak marah dan mendendam, Nabi justru membalas dengan doa cinta kasih tanpa menghakimi.

Baca Juga  Sakdiyah Ma’ruf: Isu Perempuan bukan Isu Sensitif

Seturut dengan hal itu, Rasulullah SAW menyampaikan, bahwa Allah tidak mengutusku untuk menjadi orang yang merusak dan juga tidak untuk menjadi orang yang melaknat. Akan tetapi Allah mengutusku untuk menjadi penyeru doa dan pembawa rahmat. Ya Allah, berilah hidayah untuk kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui (HR Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman). Sabda ini terang mengajarkan agar kita menjadi manusia berakhlak kasih.

Adapun lumbung celaan dan kebencian yang diproduksi segolongan orientalis terhadap Nabi Muhammad, tak lain merupakan sentimen agama tersebab dinamika politik silam. Bukan kajian ilmiah yang obyektif dan holistis atas beliau. Tesis kebencian tersebut kemudian terpolarisasi hingga menyentuh cara pandang masyarakat umum yang tidak tahu-menahu sebelumnya. Mereka pun turut serta antipati terhadap Islam dan Nabinya, Muhammad SAW.

Padahal, melalui penelaahan yang seksama dan jujur, bahkan seorang non-Muslim pun mendapati sekaligus mengakui Rasulullah SAW sebagai figur hanif yang membawa ajaran mulia. Michael Hart, seorang astrofisikawan, merilis buku berjudul The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History.

Ia menempatkan Nabi Muhammad pada urutan pertama sosok yang paling memiliki daya pengaruh di dunia. Mengalahkan agamawan, pemimpin dunia, ataupun ilmuwan lain sepanjang sejarah. Bagi Michael, tudingan bahwa Muhammad adalah pembohong merupakan pernyataan tak berdasar. Mustahil bila ajaran seorang pembohong bisa bertahan hingga belasan abad dan Muhammad sendiri diimani oleh milyaran manusia. Jika bukan karena aksi cinta, tidak mungkin Rasulullah SAW memeroleh reaksi balik kecintaan dari umat manusia. Ketahanan Islam menunjukkan keautentikan Nabi dan ajarannya.

Craig Considine, seorang Katolik yang jatuh hati pada Islam dan menemukan mutiara kasih pada diri Nabi. Sebelumnya, bagi Craig remaja, Islam adalah jalan kekerasan. Al-Qaeda dan Osama bin Laden dianggapnya sebagai representasi Islam, sebagaimana yang digambarkan media. Namun, setelah mengkaji secara tulus dan terbuka, persepsinya mengenai Islam dan Muhammad berubah total. Ia pun bermetamorfosis menjadi apologis Islam. Seorang promotor ajaran kasih Nabi dan penepis wacana jahat atas Islam. Sedangkan ia tetap dalam iman Katoliknya yang taat.

Patron sejarah serta kesaksian pihak luar Islam, sungguh telah menepis asumsi liar segolongan pembenci Nabi dan Islam. Namun demikian, ada satu persoalan lain yang menjadi pekerjaan rumah. Perilaku radikal dan ekstrem yang mengatasnamakan Islam merupakan salah satu donatur terbesar atas kerancuan citra Islam di hadapan dunia dewasa ini. Islam tercoreng dan Rasulullah dipermalukan. Hal ini penting diperhatikan sebagai autokritik dan kesiagaan bersama.

Sebagai Muslim umat Rasulullah SAW, sekadar tahu bahwa Nabi menggamit misi cinta tidaklah cukup. Kita harus mengaktualkan estafet cinta kasih yang bersumber dari figur Nabi Muhammad SAW pada sikap diri yang nyata. Karena berakhlak mulia merupakan langkah awal untuk menghalau stereotip kasar pihak luar Islam. Sekaligus syiar akan keindahan ajaran Rasulullah SAW.

Formula cinta yang diwariskan Nabi akan sangat berperan untuk menciptakan damai hidup kemanusiaan. Menjembatani sekian lusin perbedaan serta kesalahpahaman. Nabi Muhammad SAW hidup dan beragama dengan cinta. Kasihilah semua jika mengaku umatnya. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.