Agamawan Harus Aktif Menyuarakan Kesetiaan pada Negara

KolomAgamawan Harus Aktif Menyuarakan Kesetiaan pada Negara

Negara bukan sekadar tentang batas-batas teritorial. Bukan pula hanya menyangkut masyarakat, wilayah, dan pemerintahan. Syarat utama terwujudnya negara ialah kesepahaman dan perasaan sama untuk membangun tatanan bersama. Kini begitu banyak fenomena yang mencederai komitmen kolektif yang sejak puluhan tahun lalu telah diperjuangkan.

Kelompok penggugat ideologi negara, seperti HTI dan kelompok Islamis semisalnya, menjadi satu hal yang paling menonjol. Perilaku intoleran dan wabah radikalisme juga tak kalah populer menjadi batu sandungan hidup berbangsa. Hal-hal tersebut adalah sebentuk pernyataan ketidaksetiaan pada negara, juga pengkhianatan pada emosi jiwa yang menjadi pondasi bangsa kita.

Dalam hal ini, keaktifan agamawan untuk menggerakan loyalitas warga bangsa menjadi hal yang amat penting. Mengingat, aspirasi mereka biasanya didengar. Tanpa kesetiaan penghuninya, rumah ini akan rapuh, bahkan hancur.

Menyatakan setia pada negara berarti menghormati semangat dasar yang menghidupi pembentukannya, yaitu semangat persatuan dan gotong-royong. Itulah ruh dari bangunan bangsa yang selama ini menjadi samar karena polarisasi sosial-politik yang luar biasa.

Negara ini lahir tidak dengan ongkos murah. Darah, keringat, dan air mata menjadi tulang punggungnya. Para pendiri negeri ini pun dengan rendah hati telah menekan ego mereka karena kehendak untuk hidup berdampingan. Dan Pancasila menjadi titik kesepakatan. Identitas primordial tidak lagi berlaku. Yang ada hanyalah warna-warna yang diikat oleh persatuan.

Atas dasar itu, kita sejatinya memiliki relasi utang terhadap Tanah Air. Di atasnya kita berpijak, darinya kita mencari penghidupan, dan di sana kita dapati angin segar kemerdekaan serta hangat naungan persaudaraan. Dan cara membayarnya adalah dengan cinta. Mendedikasikan kesetiaan serta memberikan pengabdian terbaik bagi negeri ini. Karena dalam rasa cinta ada spirit membangun dan kehendak menjaga.

Negara bangsa sebagai definisi dari komitmen sekelompok manusia untuk menata hidup bersama, saling menjaga, dan saling menghormati, dapat kita temukan kerangkanya pada makna dari Madinah. Secara etimologi, kata Madinah yang berarti kota, memiliki akar kata yang sama dengan kata din yang berarti agama. Satu rumpun pula dengan kata dain yang bermakna hutang. Ketiganya adalah derivasi dari akar kata bahasa Arab D-Y-N. Secara konseptual, ketiganya mengandung arti tunduk dan patuh.

Korelasi kebahasaan ini tentu bukan nir-makna. Dalam paparan Cak Nur, tatanan Madinah yang diinisiasi Nabi adalah semacam deklarasi kehendak untuk mewujudkan suatu masyarakat yang tunduk kepada Allah SWT. Madinah ialah pola kehidupan sosial yang teratur dan sopan, berdiri atas dasar kesadaran dan kewajiban untuk patuh pada aturan yang berlaku. Untuk itu, kepada madinah (negara bangsa) yang kita diami, kita sekalian memikul tanggung jawab untuk tunduk dan setia, karena padanya kita berutang.

Adapun radikalisme, perilaku intoleran atau penolakan atas kebhinekaan yang ramai mengemuka sekarang, merupakan pengingkaran terhadap pengorbanan para pendahulu. Pengkhianatan atas konsensus bersama. Dan menjadi tamparan keras bagi sejarah serta ruh negeri ini yang sangat ramah perbedaan.

Begitu pula kehendak kelompok-kelompok Islamis. Upaya mereka yang ingin menarik karpet ideologis bangsa adalah egoisme yang akan mencerai-berai para penghuni rumah multikultur semacam Indonesia. Membuat kita menjadi gelandangan di negeri sendiri karena kehilangan pondasi pemersatu.

Baca Juga  Al-Biruni Sarjana Polymath

Agamawan adalah status yang stategis. Para penyandang pengaruh tersebut harus memanfaatkan keistimewaan itu sebagai senjata untuk berkontribusi aktif mengawal keselarasan negara. Jangan malah menjadi corong penghasut masyarakat. Tokoh-tokoh agama bertugas menghidupkan kembali tradisi-tradisi yang dapat merekatkan hubungan kultural kita. Karena dalam kearifan lokal terhimpun semangat kebersamaan dan kerja sama.

Pasca reformasi, kecenderungan sebagian warga bangsa untuk tidak menghargai hak-hak orang lain sebagai sesama warga bangsa karena berlainan suku, etnis, dan agama memang nampak mencolok. Selain akibat dari pengaruh dialektika global, perilaku nir-etika tersebut berkembang tersebab menguatnya politik identitas.

Wawasan keagamaan jelas menolak ide-ide diskriminasi, ketidakadilan, radikalisme, dan perilaku bar-bar ekstremisme. Semua itu tak selaras dengan misi profetik Nabi. Hal ini kian mengukuhkan tanggung jawab agamawan—selaku kalangan pembelajar agama—untuk pro-aktif menyuarakan kesetiaan pada bangsa.

Membela negara merupakan tugas agama. Manifestasi dari keimanan kita. Sebagaimana fatwa dari Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, bahwa mencintai negara adalah penggalan dari iman. Dengan kata lain, nasionalisme itu Islami. Namun ironisnya, gerakan yang menolak setia pada ideologi dan dasar negara justru muncul dari kelompok yang membawa-bawa identitas agama. Hal ini mengartikan dua hal. Pertama, mereka gagal memahami sejarah dan spirit pendirian negara ini. Kedua, ajaran agama tidak dihayati secara utuh. Melalaikan substansi dan terpaku pada bungkus, hingga luput bahwa yang agama kehendaki adalah maslahat.

Ungkapan hubbu al-wathan min al-iman memang bukan hadis. Namun, hal ini tidak menjadi perkara, karena secara makna tidak berseberangan dengan semangat ajaran Islam untuk mengaktualkan perasaan cinta dalam konteks hidup bersama. Yang terpenting, kita tidak meyakininya sebagai sabda Nabi Muhammad SAW.

Sikap cinta Tanah Air juga kerap ditunjukkan Rasulullah SAW. Salah satunya ketika Nabi dan pasukannya berhadapan dengan pasukan Quraisy. Dalam benaknya, Rasulullah SAW sama sekali tak menginginkan pertumpahan darah. Karena bagaimanapun, pihak Quraisy adalah saudaranya se-Tanah Air. Seusai memanjat doa, Nabi kemudian bersabda, Betapa indahnya engkau wahai Makkah, betapa cintanya aku kepadamu. Jika bukan karena aku dikeluarkan oleh kaumku, aku tidak akan meninggalkanmu selamanya. Dan aku tak akan meninggali negara selainmu.

Rasulullah SAW selaku kiblat akhlak manusia, beliau secara lisan dan tindakan telah mencontohkan nasionalisme seutuhnya. Bahkan, persekusi yang beliau terima dari kaum Quraisy, tidak menyurutkan kecintaan dan rasa kemanusiaannya terhadap mereka. Nabi SAW tetap cinta dan berlaku setia. Dengan segala warta sejarah, mandat agama, serta teladan Rasulullah SAW, maka tidak ada alasan untuk tidak setia dan menjaga negara.

Negara ini dengan Pancasila-nya adalah hasil dari konsensus segenap elemen bangsa. Tempat persaksian atau pembuktian untuk mewujudkan negeri yang aman damai. Atau dalam ungkapan lain disebut dengan dar al-‘ahdi wa al-syahadah. Segala ancaman yang mengusik bangsa harus disikapi dengan kesatuan sikap. Tanpa kehendak bersatu, negeri ini hanya menunggu giliran untuk tumbang. Bukan hanya negarawan, siapapun termasuk agamawan harus aktif mengingatkan masyarakat untuk menghayati loyalitas pada negara demi membangun kehidupan bangsa yang wajar, selaras, dan berkepribadian. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.