Jangan Terapkan Aturan Muslim pada Non-Muslim

KolomJangan Terapkan Aturan Muslim pada Non-Muslim

Baru-baru ini, kasus pemaksaan jilbab kepada siswi non-Muslim terungkap lagi. Setidaknya ada 46 siswi non-muslimah di sekolah tersebut yang wajib menaati aturan berjilbab. Tidak mengejutkan, formalisasi jilbab di sekolah ini, terjadi di Padang. Jauh sebelum ini, kasus Jilbabisasi juga mencuat dari kota yang sama, yakni pada tahun 2005. Walikota padang saat itu mengeluarkan instruksi No. 451.422/Binsos-III/2005 tentang kewajiban berjilbab bagi siswi Muslimah, dan anjuran mengenakan jilbab bagi yang non-Muslimah.

Untuk kesekian kalinya, pemberlakuan aturan yang dianggap islami, malah menciptakan budaya perilaku normatif yang sama sekali tidak Islami. Intoleransi, diskriminasi, dan paksaan bukanlah cerminan watak lingkungan yang Islami. Peraturan islami yang kontra produktif, selalu terkait dengan kekeliruan yang sama, yakni pencarian solusi islami yang offside dari konteks keberagaman agama dan pluralitas masyarakat. Tidak sedikit masyarakat Muslim yang berpikir bahwa, aturan Islam dapat diterapkan seenaknya secara merata pada semua orang. Akhirnya, aturan-aturan Islami yang dibuat malah menjelma menjadi alat diskriminasi dan intoleransi.

Bangsa kita memiliki tingkat keragaman kepentingan dalam gaya hidup yang terisnpirasi dari agam. Negara kita secara konstitusional mengakui Keragaman agama. Sehingga, bangsa ini tidak boleh memaksanakan wawasan hukum keagamaan tertentu kepada warga yang beragam latar belakang keagamaannya. Selain itu, Islam juga tidak penah melegalkan tindakan pemaksaan agama, perinsipnya sangat eksplisit, “laa ikraha fid din…” Tidak ada paksaan dalam agama.

Dalam konteks keberagaman, seseorang tidak dapat memerintah orang dalam komunitasnya berdasarkan legal-formal agamanya sendiri. Misalnya, jilbab dalam definisinya sebagai pakaian Muslimah, tidak dapat diterapkan pada non-Muslim.

Bagi Islam sendiri, beberapa praktik agama seperti berpakaian, beribadah, upacara pemakaman, perkawinan, dan aturan makanan, jelas didefinisikan dalam tradisi hukum Islam untuk mengatur umat Islam. Aturan fikih berlaku bagiMuslim yang berkewajiban menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama, atau disebut sebagai Mukallaf. Pengkhususan fikih bagi umat Islam, sangat terang dalam visi para Imam fikih, misalnya, Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang Muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.

Sedangkan, seorang yang bukan Muslim terhalang dari keabsahan perbuatan ibadah muslim, maka dari itu, praktik ibadah Muslim tidak sah dilakukan oleh orang-orang non-Muslim. Jadi, tidak ada landasan yang valid untuk menerapkan aturan Muslim pada non-Muslim.

Apalagi dalam hal pakaian sebagai ekspresi publik agama. Tidak ada sejarahnya Islam memakaikan dress codenya untuk masyarakat non-Muslim, yang ada malah pembedaan ciri berpakaian antar komunitas agama. Dalam beberapa garis sejarah Islam, orang Kristen, Yahudi, dan Muslim yang hidup berdampingan dalam suatu wilayah kekhalifahan Islam, diharuskan mengenakan pakaian yang menunjukkan identitasnya masing-masing, praktik ini disebut sebagai Ghiyar.

Ghiyar adalah mode berpakaian yang membedakan antara kaum Muslim dan non-Muslim. Perinsip dalam ghiyar ialah perbedaan, yaitu perbedaan identitas simbolik antara Muslim dan non-Muslim. Elemen ghiyar awal mulanya muncul pada periode formatif Islam dengan tujuan penegasan identitas. kode pakaian yang khas sangat umum di era klasik untuk menunjukkan status sosial seseorang.

Baca Juga  Tawakal Bukan Berarti Tak Bekerja

Di antara para khalifah yang menerapkan formalisasi ghiyar ini ialah Khalifah Umar bin Khattab, melalui undan-undangnya yang bernama Al-Shurut al-Umariyah. Produk kebijakan Umar itu dibuat atas perjanjian antara kaum Muslim dan Nasrani dari Siria, Mesopotamia dan Yerusalem. Traktat tersebut menjelaskan hak dan pembatasan bagi warga non-Muslim yang dilindungi dan diakui oleh Islam, meliputi kaum dzimmi, ahli kitab, Yahudi, Nasrani, Zoroastrian, dan berbagai keyakinan lainnya yang tinggal di bawah kekuasaan Islam. Dalam Undang-undang Umar tersebut, perbedaan mode pakaian juga dimuat untuk direalisasikan dalam kehidupan sosial.

Berdasarkan Al-Shurut al-Umariyah, masing-masing komunitas agama dan etnis diwajibkan mengenakan sesuatu yang selama ini mereka pakai, misalnya Zunnar atau ikat pinggang yang lazim dikenakan oleh orang Kristen dan Yahudi. Albrecht Noth dalam makalahnya yang berjudul Problems of Differentiation between Muslims and non-Muslims menerangkan bahwa, non-Muslim tidak dipaksa untuk mengenakan pakaian tertentu dari Islam, sebaliknya, mereka diarahkan untuk tidak meniru Muslim dalam pakaian mereka. Undang-undang ini berlaku dua arah, karena dalam tradisi Islam sendiri, Nabi SAW memerintahkan umat Islam untuk tidak berpakaian atau bertingkah laku seperti non-Muslim.

Pembedaan simbol fisik ini, selain untuk menjaga kelestarian identitas masing-masih komunitas, beberapa ulama juga berpendapat bahwa, ghiyar pakaian pada saat itu berfungsi untuk tujuan administratif, yakni agar tidak salah menghukum antara Muslim dan non-Muslim. Misalnya ketika non-Muslim menjual khamr, mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan Islam, atau melakukan aktifitas di luar praktik Islam. Dengan kata lain, agar aturan tertentu Islam untuk Muslim tidak salah sasaran, karena non-Muslim yang tidak terikat pada aturan tersebut.

Perlu digarisbawahi bahwa, konspe ghiyar ini muncul pada periode formatif (pembentukan) Islam dengan tujuan penegasan identitas. Dalam konteks kita saat ini, ghiyar pakaian tentu sudah tidak begitu penting, seseorang dapat dengan bebas memakai pakaian apapun selama tidak bertentangan norma kesopanan dan kepantasan yang berlaku. Meskipun demikian, substansi ghiyar tentang menjaga batasan aturan Muslim agar tidak mengenai non-Muslim, perlu selalu diperhatikan.

Dengan demikian, jelas bahwa Muslim tidak boleh menerapkan aturan simbolik dan ritualistiknya bagi non-Muslim. Seorang Muslim tidak dapat memaksanakan wawasan hukum Islam tertentu kepada warga yang beragama lain yang juga memiliki sistem legal-formalnya sendiri. Formalisasi jilbab hingga menjangkau umat agama lain tentu tidak dapat dibenarkan secara agama maupun negara. Jadi, jangan terapkan aturan Muslim pada Non-Muslim.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.