Sinergi NU-Muhammadiyah untuk Membangun Peradaban

KolomSinergi NU-Muhammadiyah untuk Membangun Peradaban

Bangsa ini amat beruntung memiliki poros gerakan sipil (civil society) yang kokoh dan penuh semangat pengabdian, laiknya NU dan Muhammadiyah. Di tengah dinamika tantangan zaman yang begitu kompleks, dua organisasi kemasyarakatan tersebut secara simultan mengambil peran konstruktif bagi umat dan bangsa. Apabila menilik sejarah, komitmen ideologis, dan langkah praksis yang digamit keduanya, jalan terjal menuju kemajuan peradaban bangsa ini saya rasa telah menemukan optimismenya.

Tanpa meminggirkan kontribusi ormas lain, sinergisitas antara Muhammadiyah dan NU ibarat titik terang dari rumus pelik menaiki anak tangga kemajuan. Untuk menjadi entitas warga bangsa yang unggul, ada banyak komposisi syarat yang harus dipenuhi, seperti progresivitas intelektual, perekonomian yang maju, serta kondisi sosiopolitik yang stabil. Kita semua tahu, baik NU maupun Muhammadiyah terekam telah membantu penyelenggara negara mengisi lini-lini tersebut.

Keduanya sama-sama memiliki misi dakwah keislaman yang kuat dan inklusif tanpa meminggirkan unsur nasionalisme. Hanya segmentasi perjuangannya yang relatif berbeda. Jika NU berdakwah melalui pendekatan pendidikan (pesantren) dan kultural dengan basis masyarakat pedesaan, maka Muhammadiyah lebih concern pada wilayah masyarakat urban. Dan lebih kepada pengorganisasian pembangunan tata sosial serta kemajuan pendidikan berbasis keislaman yang dinamis-modernis.

Diaspora ini adalah kerja sama strategis yang menghasilkan pemerataan. Sekalipun dahulu, dua ormas kaliber tersebut sempat lekat dengan perseteruan sipil, tetapi secara organik NU dan Muhammadiyah telah saling mengisi dan membangun kerja sama tanpa nota kesepahaman.

Indonesia dengan dominasi masyarakat Muslimnya, menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Dalam artian, keunggulan secara kuantitas adalah sebentuk tanggung jawab untuk lebih dewasa serta mumpuni secara kualitas untuk menahkodai perjalanan bangsa, bukan untuk bergaya menonjolkan superioritas. Sinergi dua ormas Islam terbesar ini tentu akan menjadi langkah taktis untuk mengorganisir dan mendayagunakan masyarakat sipil. Keyakinan akan pandangan optimistis ini minimalnya didasarkan pada tiga aspek.

Pertama, secara historis, embrio Muhammadiyah dan NU dikandung langsung oleh momentum perjuangan kebangkitan menuju kemerdekaan. Muhammadiyah lahir pada 1912 dan NU berkecambah di tahun 1926. Maka dari itu, kesetiaan pada Indonesia adalah konsekuensi logis dari misi perjuangan keduanya. Kedekatan psikologis dengan kesejarahan Tanah Air semacam ini adalah modal penting untuk menata umat dan bangsa dengan spirit cinta dipadu dengan pemahaman yang detail. Dan hampir mustahil pengkhianatan terjadi.

Kedua, aspek karakter dakwah dan ideologi. Corak dakwah NU dan Muhammadiyah memiliki sejumlah irisan sekaligus motif pergerakan yang berlainan. Baik NU maupun Muhammadiyah menahbiskan diri sebagai gerakan keislaman yang bersahabat dengan keragaman serta komitmen kebangsaan. Orientasi gerakan dakwah keduanya berkarakter moderat dan bertujuan mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Setidaknya itu kesamaan yang mendiami tubuh Muhammadiyah serta NU.

Adapun secara khusus, keduanya memiliki tonjolan karakteristik masing-masing. NU erat dengan gerakan Islam kultural dan semangat multikulturalisme. NU memegang erat khazanah klasik ulama salaf, dan ini menjadi epistemologi pengambilan hukum Islam yang dipegang NU. Mimbar dakwah NU umumnya adalah masyarakat tradisional pedesaan. Pengakuan atas kebhinekaan pun terus diperjuangkan untuk membentuk masyarakat yang damai dan beradab.

NU mengemban misi pembumian ajaran Islam yang bertumpu pada empat sikap dasar, yaitu moderat, seimbang, toleran, dan lurus. Melalui empat formula tersebut, NU mampu melanggengkan tradisi lokal dengan menginternalisasi nilai-nilai Islam di dalamnya. NU berupaya membentuk wajah Islam Nusantara yang tidak melulu identik dengan Arab.

Sedangkan Muhammadiyah, dikenal luas sebagai organisasi pembaharuan pemikiran Islam dengan orientasi kuat pada amal usaha sosial di berbagai bidang kehidupan. Ormas ini masyhur dengan spirit al-Ma’un yang selanjutnya melahirkan solidaritas kemanusiaan dan kredo kesalehan sosial. Ideologi keagamaan Muhammadiyah berwatak reformis-modernis, yang memadukan antara purifikasi dan dinamisasi ajaran Islam dengan tetap berpegang pada spirit moderasi.

Dalam hal pengambilan hukum Islam, Muhammadiyah merujuk secara langsung pada al-Quran dan hadis. Dengan dasar pemikiran yang transformatif, dialog dan dialektika pemikiran berjalan dengan elegan dalam tubuh Muhammadiyah. Organisasi ini terus membingkai teologi berkemajuan. Di mana peradaban utama harus dirancang dengan spirit progresivitas untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan warga bangsa yang berkeadaban serta sejahtera.

Baca Juga  Meneladani Keilmuan Imam Ali bin Abi Thalib

Dengan menggali watak pergerakan serta misi keduanya, kita akan menemukan jaringan yang saling menguatkan cita-cita pembangunan peradaban negeri ini. Sederhananya, nalar progresif yang dipegang Muhammadiyah berperan sebagai kerangka berpikir yang akan mendorong dinamika pelbagai aspek kehidupan keumatan dan kebangsaan.

Pendalaman NU pada misi identitas Islam yang mandiri dan pengakuan keragaman akan menguatkan persatuan, harmoni, dan kepercayaan diri kita. Kemudian, penegasan kesetiaan NU pada Pancasila, NKRI, dan demokrasi dapat diterjemahkan sebagai kesiagaan NU menjadi benteng ideologi bangsa di tengah gempuran ideologi impor. Dengan demikian, stabilitas arus bawah dapat terkawal.

Ketiga, wajah faktual berupa kiprah NU dan Muhammadiyah merupakan output dari tataran konseptual yang digagas keduanya. Masing-masing telah berjalan di lajur pengabdiannya dan terbukti menorehkan sumbangsih yang luar biasa berpengaruh.

Bukan rahasia lagi, Muhammadiyah memiliki lembaga-lembaga pelayanan masyarakat, seperti sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan, lembaga zakat, dan lain sebagainya yang tersebar di seantero negeri. Demikian halnya NU yang juga memiliki lembaga pendidikan berbagai jenjang, badan pengelolaan zakat, ribuan pesantren, dan sejumlah badan otonom dengan tugas dan fungsi masing-masing. Apa yang menjadi keunggulan Muhammadiyah bukan berarti NU tidak memilikinya, hanya porsinya saja yang berbeda. Begitu pun sebaliknya.

Garis merahnya, NU dan Muhammadiyah telah dan masih berjuang memberdayakan masyarakat. Untuk itu, relasi sinergis yang lebih nyata disertai dengan besarnya basis massa dari keduanya adalah kombinasi ideal dan potensial untuk maju beberapa langkah mendesak kemajuan manusia Indonesia beserta peradabannya.

Seiring bergulirnya waktu, distingsi antara NU dan Muhammadiyah semakin tipis. Nada-nada harapan akan proyeksi relasi sinergis antara NU serta Muhammadiyah kian menguat. Sebagai contoh ialah terobosan proyek SMA Trensains (Pesantren Sains) Tebuireng yang pernah digagas oleh Gus Solah (NU) dan Agus Purwanto (Muhammadiyah) pada 2014 silam. Sekalipun proyek ini adalah representasi dari NU dan Muhammadiyah kultural, tetapi kerjasama ini patut diapresiasi.

Langkah ini adalah manifestasi dari konvergensi dua ormas besar tersebut. Trensains hadir dengan konsep pesantren yang menalar al-Quran. Membangun interaksi antara agama, sains, serta filsafat. Proyek ini ditujukan untuk mencetak ilmuan sains kealaman, teknolog, dan dokter yang memiliki basis al-Quran yang kokoh (saintis Muslim), bukan agamawan yang paham sains.

Unggul dalam peradaban masih menjadi PR akbar dalam konteks kebangsaan dan keumatan negeri ini. Menurut tesis Kuru (2020), berdasar lanskap sejarah, prasyarat peradaban yang maju adalah adanya keterbukaan dan dinamika intelektual, perekonomian yang mandiri, iklim politik dan militer yang sehat. Sekarang bukan lagi waktunya memperdebatkan bentuk negara serta menerima demokrasi atau tidak. Kita harus terjun pada pergumulan yang lebih konstruktif dan kontributif dengan minimalnya menyalakan obor intelektualisme serta mendorong perekonomian yang kompetitif.

Ajaran Islam yang dipegang teguh oleh NU dan Muhammadiyah termanifestasi ke dalam pelbagai wujud pengabdian yang antroposentris. Selain itu, tiga aspek yang telah tersebut di atas; nilai historis, corak pergerakan, dan kiprah keduanya, penting untuk dijadikan modal refleksi. Sudah saatnya NU dan Muhammadiyah bersinergi dalam arti yang sebenar-benarnya, agar pendulum peradaban unggul mengarah kepada umat dan bangsa ini. Setidaknya satu contoh nyata fusi Muhammadiyah-NU telah ditunjukkan oleh proyek Trensains tadi. Sinergisitas dua saudara sepantaran ini akan membentuk konsep unik, yakni Nusantara berkemajuan. Mulai sekarang, mari bersama menggawangi peradaban dengan pengabdian yang bisa kita salurkan. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.