Pancasila Solusi Atasi Kekerasan di Sigi

KolomPancasila Solusi Atasi Kekerasan di Sigi

Aksi-aksi kekerasan dengan berbagai modus terus terjadi di negeri ini. Beberapa hari lalu, empat orang warga di Desa Lembontonga, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah menjadi korban pembunuhan dan kekerasan dari kelompok teroris, yakni Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Pada Jumat, (27/11).

Aksi brutal dan keji yang dilakukan oleh kelompok teroris MIT bukan kali pertama saja. Sebelumnya, pada bulan suci Ramadhan, para anggota MIT melakukan serangan serupa untuk mengamankan amaliyah (istilah yang mengacu pada aksi lapangan para jihadis Indonesia). Melihat adanya peristiwa tersebut, hal ini menjadi pertanyaan mengapa aksi terorisme di Indonesia tak kunjung berhenti?

Faktanya, negeri ini telah lama menderita ‘wabah’ militansi yang dilakukan oleh para aktor teroris. Termasuk serangan bom yang terjadi di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali beberapa tahun lalu. Jemaah Islamiyah (JI), cabang al-Qaida yang barangkali merupakan kelompok paling mematikan, berada di balik serangkaian serangan bom tersebut di tahun 2000-an. Bahkan tak hanya itu, para kelompok teroris ini sempat merencanakan serangannya di berbagai negara lain.

Meskipun dalam beberapa tahun terakhir, Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS menjadi kelompok militan paling aktif di Indonesia serta berbagai serangan yang dilakukan mereka, termasuk serangan bom Jakarta 2016 dan Surabaya 2018. Dengan latar belakang tersebut, akhirnya kelompok militan lain juga muncul ke permukan, salah satunya yaitu MIT.

Pada tahun 2020, MIT kembali mendapatkan pijakannya dan telah melakukan berbagai serangan selama beberapa bulan terakhir. Setelah tewasnya Santoso, Ali Kalora mengambil alih kepemimpinan kelompok ekstrem ini, dan ia telah menjadi alasan utama dari kebangkitan MIT. Ali Kalora, pemimpin MIT memang sejak kecil tinggal di gunung dan hutan di Kabupaten Poso di Sulawesi Tengah, di mana kemampuan operasional MIT terletak.

MIT merupakan kelompok kecil yang terbatas di Sulawesi Tengah, akan tetapi kelompok itu telah mendapat tempat dari para jihadis Indonesia. Seiring kelompok itu berkumpul kembali dan mengkonsolidasikan kelompoknya lebih jauh, mereka terus melakukan aksi terornya, seperti yang dilakukan beberapa hari lalu di Kabupaten Sigi yang dinilai tindakannya tersebut di luar nalar akal sehat dan sudah sangat melampaui batas nilai kemanusiaan. Bahkan, atas dalih apa pun, aksi yang dilakukan MIT tidak dibenarkan karena bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama dan Pancasila.

Sementara itu, premis yang ada dalam prinsip Pancasila, para teroris di Indonesia sejatinya tidak mampu memahami nilai-nilai pancasila secara komprehensif, mereka cenderung mengagungkan ideologinya dengan cara menebar teror dan melakukan tindakan kekerasan yang menimbulkan disintegrasi bangsa. Hal ini jelas tindakan ini semestinya harus dihancurkan dan dimusnahkan dalam masyarakat Indonesia.

Pancasila adalah vaksin imunitas bagi beragam problematika kebangsaan, termasuk aksi terorisme yang ada di Sigi. Melalui Pancasila inilah, selanjutnya semua perbedaan dapat dirangkul dalam konsep persatuan dan kemufakatan. Pancasila ialah wujud kompromi beragam ideologi.

Fakta sejarah mencatat, meskipun Pancasila pernah dihadapkan secara vis a vis dengan ancaman ideologi sosialisme dan komunisme, serta juga sempat ditentang para pengusung ideologi Islam pada masa awal kemerdekaan, akan tetapi bangsa ini dengan ideologi Pancasila masih tegak berdiri sampai sekarang, dan menyatukan elemen-elemen bangsa.

Adapun dalam premisnya, Pancasila memiliki lima prinsip yang dapat menjadi solusi atasi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok terorisme di negeri ini, pertama menumbuhkan semangat ketuhanan dengan menghargai perbedaan beragama. Dalam konteks ini, terorisme itu sebenarnya mencerminkan kemiskinan kehidupan keagamaan. Semangat ketuhanan dikembangkan tanpa keadaban nilai-nilai kasih sayang yang jadi kaidah emas semua agama.

Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas hanya berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering, dan keras. Hal ini lah yang membuat agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan perlindungan justru acap kali memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.

Baca Juga  Spirit Resolusi Jihad di Media Sosial

Kedua, menumbuhkan kembali nilai-nilai keadilan, dan keadaban dalam relasi kemanusiaan. maksudnya adalah aksi yang dilakukan oleh kelompok terorisme merupakan cerminan relasi kemanusiaan pada tingkat global yang mengabaikan hak-hak asasi manusia, rasa keadilan, dan keadaban. Jika meminjam pandangan Jurgen Habermas dalam bukunya yang berjudul, The Inclusion of the Other: Studies in Political Theory (1991), mengatakan bahwa fundamentalisme-terorisme adalah reaksi terhadap kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas atas dunia kehidupan (Lebenswelt), yang membuat banyak komunitas tercerabut dari akar kehidupan tradisionalnya.

Fundamentalisme sebagai basis terorisme bukanlah gerak kembali yang sederhana kepada cara yang pra-modern dalam memahami agama, melainkan lebih sebagai respons panik dan gagap menghadapi modernitas dan globalisasi. Kepanikan ini ditandai resistensi diri terhadap prinsip kehidupan global, kemudian dituangkan dalam sikap religius yang menutup komunikasi dengan dunia kehidupan, serta melahirkan kekerasan dalam wujud teror.

Ketiga, meningkatkan dan menjalin persatuan dalam keragaman. Tindakan terorisme yang terjadi di Sigi mencerminkan pelumpuhan kapasitas kewargaan untuk menjalin persatuan dalam keragaman. Ketidakterbukaan sosial masyarakat cenderung memandang kebaruan dan perbedaan sebagai ancaman. Hal inilah yang melahirkan mekanisme defensif melalui konsolidasi dan politisasi identitas.

Bagi Indonesia, fundamentalisme ini mencerminkan adanya patologi dalam relasi kebangsaan. Politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) secara berlebihan di masa lalu membuat ekspresi dan wacana perbedaan menjadi tabu. Akibatnya, sebagian besar warga hidup dalam kegelisahan budaya (SARA) yang relatif seragam dengan mengembangkan sikap hidup monokultural. Padahal, sebagai masyarakat plural semestinya hidup multikultural.

Keempat, meningkatkan kedaulatan rakyat dalam visi demokrasi. Artinya, aksi yang dilakukan oleh para terorisme memang mencerminkan penyimpangan dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam visi demokrasi, kemufakatan adalah penguatan daulat rakyat ketika kebebasan politik berkelindan dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan persaudaraan dalam kerangka “musyawarah-mufakat”. Maka dari itu, dalam prinsip ini keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas atau kekuatan minoritas saja.

Namun, keputusan dipimpin oleh hikmat atau kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas dan kearifan warga. Dalam praktiknya, sifat demokrasi permusyawaratan yang bersifat egaliter, imparsial, dan inklusif itu tersisihkan oleh pengadopsian nilai-nilai demokrasi, yang membuat banyak komunitas tidak memiliki akses ke dalam proses pengambilan keputusan formal. Kelompok-kelompok terpinggirkan inilah yang kemudian menjadi penonton agresif, yang merasa perlu ”berteriak” melalui aksi brutal untuk menarik perhatian publik.

Kelima, meningkatkan pemenuhan kesejahteraan dan keadilan sosial. Pada prinsip kelima ini, aksi dan tindakan yang dilakukan terorisme jelas merupakan faktor dari melebarnya ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Mereka merupakan bagian yang memberikan lahan yang subur bagi pengembangbiakan radikalisme. Akibatnya, resistensi atas kesenjangan sosial pun bisa diartikulasikan lewat bahasa-bahasa perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan.

Singkatnya, aksi dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok terorisme di Sigi memang harus dikecam serta merupakan tindakan yang jauh dari nilai Pancasila. Di sisi lain, aksi terorisme mencerminkan patologi sosial yang ditimbulkan akibat ketidaksetiaan kita dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Maka dari itu, Pancasila bukan hanya untuk diucapkan secara lisan saja, akan tetapi juga diamalkan dengan tindakan, karena sejatinya Pancaslia memiliki makna yang mulia, yakni menghadirkan kemaslahatan hidup bersama bagi seluruh rakyat Indonesia.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.