Menebarkan Islam Cinta

KolomMenebarkan Islam Cinta

Samuel Paty (47), seorang guru di sekolah Conflans-Sainte-Honorine yang menghina Nabi Muhammad SAW dalam bentuk karikatur, diserang dan dipenggal oleh pemuda asal Chechnya berusia 18 tahun pada Jumat (16/10) di Prancis. Yang paling mengerikan, pelaku mengunggah foto kepala korban yang dipenggal dan menulis di akun Twitternya, Saya telah mengeksekusi salah satu anjing dari neraka yang berani menjatuhkan Mohammad. Kejadian ini lantas dikaitkan dengan Islam, sehingga paradigma pemahaman Islam sebagai agama cinta kian tenggelam saja di mata dunia.

Faktanya, Tuhan Islam adalah Tuhan Kasih sayang yang menyatakan bahwa “rahmat (kasih sayang)-Ku meliputi segala sesuatu” [al-Araf (7): 156] atau hadis qudsi dalam Shahih al-Bukhari (No. 7404) dan Shahih Muslim (No. 2751) yang berbunyi, Sesungguhnya rahmat (kasih sayang)-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.

Tak diragukan lagi, Allah SWT adalah sumber rahmat atau kasih sayang yang tersebar di seluruh alam. Rahmat Allah begitu luas hingga mengalahkan murka-Nya merupakan bentuk cinta Tuhan kepada makhluk-Nya. Bahkan, dalam sebuah ayat yang sangat familiar, bismillahirrahmanirrahim, yang menjadi pembuka setiap surah dalam al-Quran kecuali surah al-Taubah, Tuhan disebutkan sebagai al-Rahman dan al-Rahim, dua kata yang sama-sama berakar dari kata rahmah (kasih sayang).

Dua kata tersebut tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, al-Rahman secara khusus merupakan wujud kasih sayang Tuhan kepada seluruh makhluknya tanpa terkecuali. Tuhan memberikan kasih sayang berupa modal yang memungkinkan kehidupan berbahagia dan petunjuk kepada manusia yang ingin menapaki jalan-Nya.

Nabi dan rasul terakhir dalam agama Islam, yaitu Nabi Muhammad SAW juga disebut sebagai manusia berakhlak mulia sebab cinta dan kasih sayangnya kepada sesama. Suatu waktu, Rasulullah SAW berpesan, “saudara-saudaraku, apabila ada di antaramu seseorang yang mati meninggalkan harta, maka hartanya itu harus dibagikan kepada ahli warisnya. Jika ada yang mati meninggalkan hutang yang besar atau tanggungan keluarga yang banyak, maka hendaklah kalian datang kepadaku, karena aku penolong dan pelindungnya.” [HR Muslim]

Pernyataan Rasulullah SAW tersebut menunjukkan bahwa beliau rela menanggung kesusahan orang lain, terlebih kepada orang-orang yang beriman. Bahkan, tak jarang beliau justru berbuat baik kepada orang-orang yang secara terang-terangan menghinanya. Dikisahkan dalam hadis-hadis shahih, bahwa Nabi SAW menjenguk yahudi yang tengah sakit, padahal waktu sehatnya dahulu digunakan untuk menghina Nabi SAW. Juga, sampai akhir hayatnya, beliau memberi makan dan menyuapi yahudi buta miskin yang berusia senja, padahal ia selalu mencacinya, kemudian kebiasaan tersebut dilanjutkan oleh sahabatnya Abu Bakar.

Rasulullah SAW yang secara langsung menerima hinaan dan cacian dari para haters-nya tidak langsung membalas cacian, apalagi membunuhnya, justru dibalas sikap yang baik. Dalam sebuah hadis, ketika sekelompok yahudi menghina Nabi, kemudian dihina balik oleh Aisyah, istrinya, Nabi SAW justru menenangkan dan mengingatkan Aisyah untuk bersikap lembut. Lantas, bagaimana bisa kita membenarkan, bahkan mendukung pemenggalan atas nama penistaan terhadap Nabi Muhammad SAW?

Diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata, “…Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena urusan (kepentingan) pribadi, tapi jika ajaran-ajaran Allah dilanggar, maka beliau menjadi marah karena Allah (lillahi ta’ala).” [HR Bukhari]

“Rasulullah Saw tidak marah disebabkan urusan duniawi, tetapi apabila kebenaran itu didustakan dan ditentang, beliau akan marah tanpa ada seorangpun yang bisa tegak dihadapan kemarahan beliau, sehingga beliau memenangkan Kebenaran itu baginya.” [HR Muslim, Abu Daud, dan al-Tirmidzi]

Baca Juga  Nur Rofiah: Pentingnya Alternatif Penafsiran Bagi Perempuan

Bagaimana dengan hadis-hadis di atas? Bukahkah keduanya melegitimasi umat Islam untuk marah atas perbuatan orang yang menghina Nabi Muhammad SAW apapun bentuknya sekaligus mendukung tindakan pemenggalan terhadap penistanya?

Sebelum melangkah kepada inti permasalahan, harus dipahami bersama, kata hurumatullah dan al-haq dalam riwayat tersebut dipelintir sedemikian rupa oleh sebagian orang sehingga menjadi dalil keharusan marah atas perilaku ‘penistaan agama’. Padahal, makna yang tepat untuk hurumatullah adalah ajaran-ajaran Allah dan untuk kata al-haq adalah kebenaran, di mana keduanya bersifat universal dan normatif.

Singkatnya, hadis di atas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW merupakan pribadi yang zuhud dan wara’, sehingga perkara duniawi tidak mudah menyulut amarahnya. Di samping itu, Rasulullah juga marah terhadap pelanggar ajaran Allah dan kebenaran-Nya. Tentu saja dalam hal ini, beliau marah terhadap orang yang mencaci maki, mengumpat, dan memfitnah orang lain, karena perilaku-perilaku tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran Allah SWT.

Namun, marahnya Rasulullah SAW tidak pantas jika dimaknai sebagai sikap ngamuk-ngamuk, balas menghina, mencaci, bahkan menggorok leher. Karena pemaknaan tersebut tidak sejalan dengan firman Allah SWT. “Dan sesungguhnya Engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti luhur.” [al-Qalam (68): 4]

Oleh karena itu, makna yang sesuai untuk menggambarkan kata marah dalam hadis tersebut adalah mengingkarinya, kemudian melakukan strategi-strategi dakwah plus perbaikan akhlak demi menuntun kepada kebaikan, bukan marah-marah yang menakut-nakuti orang. Meminjam kata-kata sederhana Bu Tejo yang sempat viral beberapa waktu lalu, jadi orang itu yang solutif. Ya. Terkadang kita perlu diingatkan untuk tidak melakukan sesuatu atas dasar nafsu belaka.

Durhaka dan pelanggaran ajaran Allah serta kebenaran-Nya bisa terjadi kepada siapa saja dan kapan saja. Jika marahnya Rasulullah dimaknai sebagai kemarahan di ruang publik, maka sudah berapa banyak waktu terbuang berkatnya?

Atas semua itu, Rasulullah SAW menyatakan, ”cinta adalah asas (ajaran agama)-ku”. Dalam al-Quran sendiri banyak sekali kata yang maknanya termasuk ke dalam salah satu rumpun makna cinta, yakni rahmahmawaddah, dan sebagainya. Jangankan kenikmatan, kesulitan dan kejadian-kejadian tidak mengenakkan yang tampak sebagai duka itu merupakan bentuk cinta Tuhan kepada makhluk-Nya. Dan juga, marahnya Nabi Muhammad SAW yang telah dijelaskan sebelumnya, semata-mata adalah bentuk cinta dan kasih sayangnya kepada umat manusia.

Oleh karena itu, pengingkaran terhadap perbuatan Paty yang menghina Nabi SAW itu benar, tetapi membenarkan tindakan pemenggalan Paty itu tidak sesuai dengan perilaku yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan umat Islam. Ngamuk-ngamuk di media sosial, menghina balik penista agama, bahkan mendukung pemenggalan tidak hanya merusak citra Islam di mata dunia, bahkan di kalangan umat Islam sendiri justru memunculkan kelompok-kelompok yang membenarkan kekerasan, bahkan pembunuhan.

Terakhir, mari kita luruskan pemahaman, jangan hanya ikut-ikutan. Dakwah umat Islam saat ini sangat dibutuhkan untuk memahami dan memahamkan Islam cinta kepada masyarakat luas. Karena jika dibiarkan, gejala ini dapat menjadi ancaman serius bagi kesatuan dan keutuhan bangsa.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.