Perbedaan Pendapat Itu Sunnatullah

KolomPerbedaan Pendapat Itu Sunnatullah

Respons berlebihan dan ketidaksiapan publik menaggapi perbedaan pendapat bukan persoalan baru. Kecenderungan para ulama berbeda pendapat, disebabkan karena masing-masing memiliki cara yang khas dalam menempuh jalan kebenaran. Oleh karena itu, perbedaan pendapat adalah sunnatullah, yakni suatu ketentuan Tuhan untuk makhluknya dan alam semesta. Jadi jangan heran, kendati para ulama berijtihad menggunakan sumber dari al-Quran dan hadis, perbedaan pendapat tetap akan terjadi sebab itu ketetapan Maha Kuasa.

Masyarakat awam seperti kita, terkadang kerap dibuat bingung dan kecewa terhadap perbedaan pendapat ulama. Kiranya hendak kepada ulama siapa yang pendapatnya baik untuk diikuti? Namun hal ini harus dipandang dalam kacamata positif, karena khazanah pemikiran yang luas dan kehidupan yang dinamis tidak dapat tertampung hanya seorang saja. Allah SWT berfirman, Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya ia akan menjadikan manusia sebagai satu umat (QS. Hud: 116). Seandainya benar terjadi satu umat, perbedaan tidak akan ada, tetapi Tuhan tidak menghendaki itu.

Selama ini tak banyak yang mengira, pendapat ulama justru berbeda karena berpegang pada al-Quran dan hadis. Jadi bila ada seorang yang mengatakan, maka niscaya para ulama yang kembali pada sumber mutlak Islam, tidak akan terjadi perbedaan pendapat. Tentu sikap itu, karena ketidaksiapannya menerima perbedaan, ekspektasi Islam adalah persatuan kedamaian bukan berarti satu pendapat. Menurut Nadirsyah Hosen dalam buku Ngaji Fikih, secara terbuka al-Quran ‘menyengaja’ perbedaan itu dimunculkan. Misalnya, lafal quru’ pada surat al-Baqarat ayat 228 mengandung lebih dari satu arti (musytarak), sebagian mengartikan suci, juga haid.

Konon dari sekian jumlah mazhab yang mencapai 500 pada masa ahli fikih, tetapi dalam perjalanan sejarahnya empat mazhab ini membuktikan tetap bertahan dan memiliki pengaruh besar di dunia Islam. Yakni Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Bersumber dari al-Quran dan hadis dengan penggunaan metode ijtihad yang berbeda, akan memicu beragam corak pada masing-masing mazhabnya. Kendati berbeda, tiap-tiap mazhab nyatanya dapat memberikan alternatif fikih yang membantu dan tidak mempersulit dalam implementasian hukum, yang sesuai berdasarkan kondisi di mana pun masyarakat berada.

Contoh Imam Abu Hanifah (w. 767) yang sempat menjadi mazhab resmi kerajaan Turki Usmani, hingga kini dinyatakan memiliki pengikut terbesar di dunia, negara-negara pengikut mazhab ini ialah Pakistan, India, Bangladesh, Turki, Afganistan, dan Uzbekistan. Selanjutnya mazhab Maliki (w. 797) mayoritas dianut oleh warga Mesir, Iran, Maroko. Mazhab Syafii (w. 767) diikuti wilayah Indonesia, Ethiopia, Malaysia, Yaman, dan Mesir. Terakhir Imam Hanbal (w. 885) diikuti negara Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar.

Baca Juga  Alissa Wahid: Pentingnya Keadilan dalam Kehidupan Beragama

Sudah seharusnya kita belajar dewasa menaggapi perbedaan pendapat. Kesungguhan para ulama dalam berijtihad tidak dengan cara ngasal. Ada begitu banyak syarat ketat agar bisa sampai disebut seorang mujtahid. Selain persyaratan penguasaan ilmu yang kudu luas, perilaku terhindar dari maksiat dan kekhilafan mesti dihindari sebaik mungkin. Karena itu Gus Nadir mengatakan, mengapa kita harus mengukur dalamnya sungai dengan sejengkal kayu? Sayang, kita suka sekali mengukur kedalaman ilmu seorang ulama hanya dengan sejengkal ilmu yang kita punya. Meski demikian para ulama adalah manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan dan kekhilafan.

Sementara dapat disimpulkan, bahwa perbedaan bisa disebabkan dari dua faktor internal dan eksternal. Pertama internal, seperti cara penyusunan metode ijtihad dan standar tiap-tiap mujtahid untuk mengkonfirmasi validitas sumber al-Quran dan hadis. Kedua eksternal, umpama perkembangan zaman, sosio-kultural dan letak daerah yang ditinggalinya. Dengan ini, perbedaan pendapat ulama yang merupakan sunnatullah harus disikapi dengan positif.

Setiap manusia memiliki potensi berbeda, jadi sekarang kita belajar agar jangan bersikap buru-buru kecewa dan curiga karena alasan ‘pesanan’ atau ‘tertekan’ terhadap perbedaan pendapat ulama, harus ditelisik lagi kronologinya. Inayah Wahid mengilustrasikan perbedaan adalah sebuah pelengkap, seperti perjuangan para tokoh film Avengers. Menurut Inayah, para pahlawan super tidak akan dapat mengalahkan musuh kalau tidak memiliki kekuatan yang berbeda. Begitupun para ulama, sekian banyak persoalan yang terjadi di alam dunia dan akhirat, tentu tidak bisa ditampung hanya satu manusia.

Kita semua belajar untuk mengerti, perbedaan pendapat juga termasuk sunnatullah. Betapapun berbeda hasil pendapatnya, mesti diapresiasi atas kesungguhannya memikirkan kemaslahatan banyak umat. Selagi sikapnya tidak mengganggu ketertiban publik dan menggunakan kekerasan. Kita tidak memiliki hak untuk menentukan siapa yang salah dan benar secara adil, kecuali Allah SWT. Maka dari itu, Rasulullah memberikan dalih ketika seorang berijtihad, lalu hukum yang diputuskannya benar mendapat dua pahala, tetapi bila keliru ia mendapat satu pahala (HR. Muslim).

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.