Penistaan agama menjadi salah satu isu yang malang-melintang di ruang publik saat ini. Fenomena tersebut menyisakan residu polemik yang kian memperiuh obrolan masyarakat. Mulai dari hukum positif terkait penodaan agama yang masih rancu hingga pengadopsian ayat al-Quran yang ditafsirkan secara instan. Selain itu, umat Islam cenderung reaktif dan impulsif dalam merespons gejolak yang mengait agama. Setidaknya hal tersebut menjadi faktor yang mendorong terjadinya tren kasus penistaan agama di Indonesia.
Selain kasus sensasional dugaan penistaan agama yang menimpa Ahok pada 2016 lalu, dua orang komedian Indonesia juga sempat tersandung kasus serupa. Pada 20 Oktober 2018, Tretan Muslim dan Coki Pardede mengunggah video di kanal Youtube Muslim: Tretan Universe. Video tersebut bertajuk The Last Hope Kitchen dengan konten memasak daging babi dengan rebusan air sari kurma.
Video tersebut menuai kecaman. Tidak sedikit akun media sosial mengatasnamakan Islam yang memotong bagian tertentu dari video itu kemudian disandingkan dengan ceramah tokoh agama, sehingga semakin memperkeruh suasana. Tretan dan Coki dipersekusi, dihujat, bahkan mereka menerima ancaman pembunuhan karena telah menista agama Islam dan dianggap halal darahnya. Tidak hanya mereka, manajemen tempat mereka bernaung, Majelis Lucu Indonesia (MLI), juga mendapat tekanan dan ancaman.
Konten tersebut ialah sebuah sindiran perihal suasana intoleran yang marak di Indonesia. Duo Tretan dan Coki dikenal sebagai komedian yang mengusung tema toleransi dalam kemasan dark comedy. Mereka mengangkat hal-hal yang umumnya dianggap tabu, serius, dan acap kali memang cukup sensitif.
Menganggap video tersebut sebagai bentuk penistaan agama adalah hal yang lucu, melebihi komedi itu sendiri. Klaim demikian sarat dengan fenomena Arabisme. Segala hal yang datang dari negeri Arab dianggap sakral, seperti kurma yang merupakan buah yang dimakan Nabi. Ketika kemudian kurma disandingkan dengan babi yang notabene diharamkan oleh Islam, banyak yang meradang dan menganggapnya sebagai penghinaan. Padahal kurma adalah sekadar buah yang memang menjadi komoditi di negeri Arab, dan wajar jika Nabi sering menyantapnya. Kurma adalah bagian dari produk budaya Arab, bukan unsur dari syariat Islam. Pembedaan antara adat dan syariat menjadi hal yang penting untuk menghindari kesimpulan gegabah.
Ganjar Pranowo yang sekarang menjabat Gubernur Jawa Tengah juga sempat diterpa isu SARA di tengah musim Pilkada 2018 lalu. Pada awal Maret 2018, dalam acara Bincang Bersama Rosi: Kandidat Bicara, Ganjar membacakan puisi berjudul “Kau ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana”. Ganjar dianggap tidak pro-Islam dan Islamofobia berkat kalimat dalam puisi yang berbunyi, “Kau ini bagimana? Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-Nya dengan pengeras suara setiap hari.”
Atas hal tersebut Ganjar hendak dilaporkan ke Mabes Polri oleh Rahmat Himran, ketua Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) dengan tuduhan menyinggung SARA bahkan penistaan agama. Dibanding kepentingan ‘membela’ agama, unsur politis jauh lebih kentara dari kehendak pelaporan tadi. Isu agama dieksploitasi untuk kepentingan politik. Terlebih saat itu Ganjar telah terpilih sebagai salah satu Cagub Jawa Tengah. Namun aneh, pelaporan tersebut urung dilakukan setelah tahu bahwa puisi tadi adalah buah karya Gus Mus, salah satu ulama kharismatik bangsa ini.
Q.S. At-Taubah [9]: 65-66 kerap dipakai sebagai dalil untuk menghukumi seseorang yang dianggap menista agama. Firman Allah SWT, Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?. Allah SWT melanjutkan dalam ayat 66, Tidak usah kamu minta maaf (berdalih), karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.
Ayat ini turun terkait dengan orang-orang munafik yang enggan memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya untuk pergi perang Tabuk. Mereka mengolok-olok Nabi seolah beliau tidak akan menang perang. Moral para sahabat pun luruh. Hal itu dilakukan sebagai dalih untuk tak turut serta perang. Adapun di antara mereka yang bersungguh-sungguh taubat, Allah menerima taubatnya. Sedangkan yang enggan, maka balasan bagi mereka menjadi urusan Allah SWT semata.
Dalam menempatkan dalil nash untuk suatu kasus, tidak bisa dengan cara quick-fix asal tempel secara eksplisit. Fazlur Rahman menawarkan teori double movement untuk mengaplikasikan ayat dalam konteks kekinian. Langkah pertama, yakni dengan melihat kondisi sosio-historis saat ayat tersebut turun dengan merujuk asbab al-nuzulnya untuk mencari ide moral dan makna general saat itu. Langkah kedua, mengkontekstualisasikan ide moral dari makna historis kepada konteks detail saat ini melalui spesifikasi makna penggunaannya di waktu sekarang.
Terkait ayat di atas, didapati bahwa ide moral dari ayat tersebut ialah larangan mengolok-olok agama dalam bentuk lisan ataupun tindakan, baik sungguh-sungguh maupun bercanda. Selanjutnya, dalam menyikapi pengolok-olok tersebut ialah dengan teguran atau peringatan. Bisa pula dengan cara pergi meninggalkan mereka yang melakukan olok-olok, sebagaimana ditandaskan Q.S. Al-An’am [6]: 68 dan An-Nisa [4]: 140. Tidak ada sama sekali fatwa mati yang disiarkan ayat tadi. Allah pun secara jelas menyatakan akan mengampuni siapa yang mau kembali bertaubat.
Khalid Saifullah Khan dalam There Is No Compulsion in Religion, Michael Bohlander (2012), menuturkan bahwa tidak ada konsep hukuman mengenai penistaan di dalam Islam. Acuannya ialah Q.S. Al-Ahzab [33]: 5 yang menerangkan bahwa hukuman bagi penista agama adalah murni otoritas Tuhan, bukan manusia. Iffatkhalid menambahkan bahwasanya titik tekan ayat-ayat terkait penistaan bukan pada aspek yuridisnya, melainkan pada sikap dukungan Allah terhadap Nabi atas para pembencinya.
Bagi internal umat Muslim, Allah SWT telah mengabarkan langkah antisipatif dalam konteks caci-maki atas agama melalui Q.S. Al-An’am [6]: 108, bahwa umat Muslim tak boleh ceroboh dan seenaknya mengejek Tuhan agama lain. Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Munir mengatakan bahwa ayat tersebut melarang adanya pelecehan terhadap sesembahan agama lain karena madharatnya justru lebih besar, seperti balasan makian terhadap Allah dan Rasulullah. Demikian setidaknya langkah defensif untuk menjaga dan membela Islam.
Kasus penistaan agama Islam di Indonesia nampak sangat polemis. Pertama, ada semacam pembentukan nalar publik oleh kalangan Muslim kanan. Mereka memakai narasi kebakuan ayat al-Quran tentang penistaan yang dibaca secara literal tanpa peninjauan yang memadai, sehingga berdampak pada konsensus umat Muslim dalam konteks ruang publik di negeri ini. Kedua, pembentukan nalar publik tadi, telah menghasilkan diskursus tentang standar seseorang menista agama serta hukuman yang menyertainya. Ketiga, proses terbentuknya konsensus tadi semacam fenomena objektifikasi subjektifitas Muslim kanan yang menyebabkan UU Penodaan Agama yang polemis itu masih tetap bertahan dan tak kunjung ada perbaikan.
Menyoal dua kasus di atas, nampaknya tak ada koherensi antara konteks kejadian dengan ide dan pemahaman Q.S. At-Taubah [9]: 65-66. Pada kasus duo komika tadi, kurma yang dipersoalkan dalam video itu tidak terkait dengan perkara agama. Hemat penulis, keduanya berupaya menampilkan hal-hal yang selama ini dianggap tabu untuk menumbuhkan rasa toleransi antarpemeluk agama. Ketersinggungan atas konten tersebut cukup bisa dipahami. Namun, cacian, hujatan, bahkan ancaman pembunuhan tidak bisa dibenarkan sama sekali.
Sedangkan kasus Ganjar juga tidak menemui relevansinya dengan konteks ayat tadi. Marzena Romanowska dalam Religious Offences as a Political Tool menyatakan bahwa agama kerap dijadikan alat politik yang digunakan oleh suatu kelompok atau negara demi kepentingan tertentu. Tesis demikian kiranya cocok untuk menggambarkan wajah kasus ini. Isu SARA dihembuskan untuk melemahkan lawan politik.
Menghukum penghina agama adalah hak prerogatif Allah SWT. Manusia diberi wewenang sebatas memperingatkan dan mengingatkan pelakunya, bukan seenaknya menjatuhkan fatwa bunuh atasnya. Al-Quran sendiri dalam banyak kesempatan menghimbau manusia untuk memiliki moralitas yang adiluhung, menjadi pemaaf bukan pemarah. Sebagaimana Q.S. Al-A’raf [7]: 199, Q.S. Al-Maidah [5]: 13, dan Q.S. Asy-Syuro [42]: 40. Seorang Muslim harus menampilkan Islam dengan ekspresi diri yang positif dan konstruktif. Islam itu ya’lu wa la yu’la ‘alaih. Bahwa Islam itu tinggi, tak ada yang bisa merendahkannya, kecuali kita pemeluknya memamerkan sikap rendahan. Wallahu a’lam.