Membaca Pancasila Melalui Jalaluddin Rumi

KolomMembaca Pancasila Melalui Jalaluddin Rumi

Pancasila memegang peranan penting dalam mempersatukan berbagai macam latar belakang di Indonesia. Namun, harus diakui bahwa sampai saat ini masih ada kelompok-kelompok yang menolak Pancasila, dengan alasan tidak sesuai dengan Islam. Penolakan ini sepertinya disebabkan oleh paradigma dan cara pandang yang berbeda. Padahal, nilai-nilai universal Islam secara eksplisit telah menjiwai muatan Pancasila yang berprinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Dalam hal ini, pemikiran tasawuf Jalaluddin Rumi akan dijadikan sebagai pisau analisis dalam membaca prinsip-prinsip Pancasila, khususnya dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Rumi mempunyai nama asli Jalaluddin Muhammad ibn Muhammad ibn Husain Bahauddin ibnu Ahmad al-khatibi. Namun, terkenal dengan Jalaluddin ar-Rumi. Nama julukan Rumi ini dikenakan kepadanya karena sang sufi menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konya, Turki, yang dahulunya merupakan bagian dari wilayah kekaisaran Rumawi Timur. Rumi lahir pada 6 Rabi’ul Awal 604 H atau 30 September 1207 M di Balkh.

Rumi sangat memperhatikan pengajaran mengenai ilmu-ilmu keislaman, dengan tekun mempelajari kitab suci al-Quran baik dalam segi pembacaan, penjelasan, maupun penafsirannya. Tidak berhenti sampai di situ saja, tetapi kemudian ia mempelajari ilmu fiqih dan hadis.

Pada hakikatnya, Pancasila adalah dasar negara sekaligus pandangan hidup bangsa. Memahami hakikat Pancasila, berarti memahami makna pokok dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua kedudukan dan fungsi tersebut bersifat hakiki. Oleh karena itu, berbagai kedudukan dan fungsi Pancasila yang lain, seperti sebagai ideologi nasional, tujuan bangsa, jiwa dan kepribadian bangsa, perjanjian luhur, termasuk sebagai norma dan kriteria dasar kepribadian manusia Indonesia, dan semuanya dapat dikembalikan pada sifat hakiki tersebut.

Dengan begitu, jika dilihat dari aspek nilai ini, maka sudah tidak diragukan lagi bahwa rumusan Pancasila memuat nilai yang bersifat transedental (ketuhanan) dan humanistik. Sebagai dasar negara, Pancasila memiliki ciri khas yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Yang mana, keberadaan Pancasila pada hakikatnya merupakan nilai-nilai yang berharga, yang memuat nilai-nilai dasar manusiawi dan kodrati, yang melekat pada setiap individu manusia yang diterima oleh bangsa Indonesia (Sumardjoko, 2013).  

Dalam bidang keagamaan, Pancasila menjamin kebebasan beragama bukan hanya sebatas memeluk agama. Namun, juga mencakup peran “etika kemasyarakatan” agama di ruang publik. Jika hanya sekadar kebebasan memeluk agama, sila kedua, ketiga, dan seterusnya sudah cukup menjamin. Keunikan dari sila pertama ini, yakni mendorong agama-agama menjalankan peran etika kemasyarakatan di ruang publik.

Hal ini terlihat jelas dalam Tap MPR No.I/MPR/2003, yang berisi tentang penjelasan pedoman pengamalan Pancasila dari 36 butir diganti menjadi 45 butir Pancasila. Pada sila pertama, Ketetapan MPR tersebut menjabarkan bahwa bangsa Indonesia menyatukan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Baca Juga  Nyala Perdamaian Kemanusiaan dari Irak

Membaca butir-butir di atas melalui perspektif Rumi.  Dalam butir-butir sila pertama ini, menggarisbawahi bahwa bangsa Indonesia mempercayai adanya Tuhan dan sekaligus pengakuan akan adanya perbedaan dalam mempercayai Tuhan sesuai dengan agama-agama yang berkembang di Indonesia. Implikasinya adalah, bahwa setiap pemeluk agama di Indonesia, tidak boleh menyudutkan agama-agama lain dalam cara mereka mengimani Tuhan, sebab setiap agama mempunyai konsep ketuhanan, yang bisa jadi berbeda antara satu dengan lainnya.

Tuhan digambarkan atau dinisbahkan sedemikian rupa, sehingga timbul perbedaan antara penggambaran yang satu dengan yang lainnya. Pada akhirnya, seringkali menjadi faktor pemecah belah ummat beragama. Oleh karena itu, Rumi dengan tegas mengingatkan bahwa para nabi dan para pembawa pesan, ketika mereka membawa lampu Tuhan kepada ummat manusia, mereka jelas berbeda satu sama lain. Namun, cahaya yang dibawa adalah sama. Rumi berkata, bahwa lampu-lampu memang berbeda, namun cahayanya satu dan sama. Lampu barang-barang tembikar dan sumbunya boleh berbeda. Tetapi, cahayanya satu dan sama. Ia (cahaya itu) berasal dari Sana (Tuhan).

Bagi Rumi, Tuhan menampakkan Diri-Nya pada ribuan cara dan bentuk, serta selalu hadir di setiap saat pada ribuan cara yang berbeda pula (Bahri, 2011), yang berarti bahwa Tuhan tidak mungkin hanya hadir dalam realitas tunggal. Tuhan yang menghendaki lebih dari satu pewahyuan atau lebih dari satu keyakinan agama. Maka dari itu, yang terlihat adalah pluralitas agama yang berbeda-beda. Menurut Rumi, perbedaan ini memang sudah dikehendaki oleh Tuhan dengan kuasa kehendak-Nya yang tak terbatas.

Rumi mengakui bahwa di satu sisi, perbedaan ini akan “menghasilkan buah yang manis bagi kedamaian ummat manusia dan menjadi hal yang produktif “. Namun, di sisi lain, dapat “menjadi konflik dan malapetaka”. Yang mana, jika terjadi konflik dan malapetaka itu bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari cara pandang manusia dan cara bagaimana mereka memahami perbedaan.

Berpijak dari pandangan Rumi, dapat dipahami sikap para pendiri bangsa ketika mereka menyepakati kalimat untuk sila pertama dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal ini dikarenakan “Ketuhanan Yang Maha Esa” telah sesuai dengan tauhid Islam, dan Islam menegakkan penghargaan terhadap perbedaan pendapat. Jika dalam perbedaan pandangan dapat ditoleransi dalam hal paling mendasar, seperti keimanan. Tentunya, sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan politik dan ideologi. Tampak nyata bahwa Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk seluruh ummat manusia.

Rumusan sila pertama, sebagaimana dijabarkan dalam Tap MPR No. I/ MPR/2003, ketika dibaca melalui perspektif sufi Rumi, terlihat bahwa sila tersebut ternyata sejalan dengan pemikiran Rumi. Dengan demikian, dapat ditegaskan, bahwa Tuhan itu satu. Namun, pemahaman ummat beragama di Indonesia beraneka ragam, dan akhir sesungguhnya berujung pada Dia. Oleh karena itu, semua ummat beragama di Indonesia, khususnya umat Islam, wajib menerima pemahaman agama lain tentang Tuhan Yang Maha Esa.

Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.