Meneladani Budaya Kritis Ulama Klasik

KolomMeneladani Budaya Kritis Ulama Klasik

Silang pendapat merupakan satu hal yang lazim terjadi di kalangan ulama klasik. Hal ini menunjukkan jalannya iklim kritis dalam pergumulan keilmuan Islam kala itu. Ketika ada pendapat yang disinyalir tak sesuai, seorang ulama tak segan untuk melayangkan counter atau umpan balik untuk mendebatnya. Tak tanggung-tanggung, karya ilmiah bisa lahir dalam upaya memberikan sanggahan atas pendapat yang tak disetujui. Kabar baiknya, meskipun terjadi perselisihan sengit dalam mimbar ilmiah, mereka tetap menjaga etika satu sama lain dan tak berujung saling mencaci atau membenci.

Dikisahkan, selama tinggal di Baghdad, Imam Syafi’i sering bertukar pikiran dan berdebat dengan para pakar fikih Irak. Ia pernah semalam suntuk berdebat dengan Muhammad bin Hasan al-Syaibani. Al-Syaibani sendiri merupakan guru dari al-Syafi’i yang merupakan murid dari Imam Abu Hanifah.

Tidak hanya sekali Imam Syafi’i adu argumen dengan sang guru. Selain berdebat terkait masalah fikih, keduanya pernah berdebat seputar keunggulan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Imam Syafi’i pernah bercerita, bahwa satu kali ia berdebat sengit dengan al-Syaibani hingga urat-urat leher gurunya menegang dan kancing bajunya pun terlepas. Cerita tersebut memberikan sedikit gambaran bagaimana panasnya suhu dialog antara keduanya.

Sikap kritis yang kemudian memunculkan serangkaian adu gagasan, tidak sedikit pun melenyapkan rasa hormat al-Syafi’i kepada gurunya tersebut. Ia juga tetap secara objektif mengapresiasi karya-karya al-Syaibani dan memuji kefasihannya dalam berbahasa.

Syahdan, kisah perdebatan yang paling populer sepertinya dipegang oleh pasangan al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Perdebatan mereka menyita perhatian baik dunia Islam maupun Barat. Bermula dari kritik tajam al-Ghazali terhadap pemikiran filosof Muslim sebelumnya, yaitu Ibnu Sina dan al-Farabi.

Ketidaksepahaman pandangannya atas filsafat tertuang dalam kitab Tahafut al-Falasifah. Al-Ghazali mengkritik filsafat Islam secara keras. Dalam buku tersebut, ia menyatakan kritikan dalam dua puluh persoalan. Ia menganggap bahwa perkembangan filsafat pada masa sebelumnya tidak memiliki komponen iman, yang mana keimanan adalah elemen terpenting dari agama.

Tembakan al-Ghazali terhadap filsafat, mendapat respon dari seorang filosof sekaligus ahli fikih Spanyol, Ibnu Rusyd. Tanggapannya atas Tahafut al-Falasifah ia abadikan dalam buku Tahafut al-Tahafut. Argumentasi yang diajukan oleh Ibnu Rusyd menjawab segala kritikan yang dilayangkan al-Ghazali. Adu argumen filosofis antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd yang paling menonjol ialah menyoal masalah ketuhanan dan alam semesta. Keduanya memiliki perspektif yang berbeda dalam menginterpretasikan nash secara filosofis.

Ibnu Rusyd lahir pada 1126 M, lima belas tahun setelah al-Ghazali wafat. Dengan demikian keduanya tidak pernah hidup semasa apalagi berjumpa. Namun, berangkat dari nalar kritis, Ibnu Rusyd merasa harus tetap mengutarakan sanggahannya, sekalipun al-Ghazali lebih senior dan telah lama wafat. Rekaman perdebatan keduanya abadi hingga saat ini. Dari sini kita bisa tahu bahwa iklim akademik zaman itu sungguh sangat hidup.

Begitu pula, di kalangan ulama hadits kita mengenal tradisi jarh wa ta’dil. Ilmu ini malah secara gamblang mengenalkan diri sebagai perangkat untuk mengkritisi kapasitas dan keadaan perawi hadis secara khusus.

Baca Juga  Vaksinasi, Sarana Hifzun Nafs

Semua ini ialah langkah kritis para ulama terdahulu dalam upaya memilah antara hadis sahih dan hadis dhaif melalui penelitian serta penilaian terhadap para transmiternya. Metode kritik sederhana terhadap perawi hadis sejatinya telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Banyak pula sahabat yang satu memberikan penilaian terhadap sahabat lain dalam kaitannya sebagai perawi hadis.

Pasca Nabi wafat banyak terjadi fitnah dan hadis palsu beredar luas. Tidak sedikit yang menggadaikan asma Rasulullah SAW untuk kepentingan tertentu, sehingga muncul ilmu jarh ta’dil sebagai respon atas kegelisahan ulama terhadap eksistensi hadis. Sekalipun sejak awal ilmu ini mendapati pro-kontra, akan tetapi ilmu itu merupakan salah satu upaya dan cermin semangat untuk menjaga otentisitas hadis Nabi Muhammad SAW.

Nalar kritis intelektual ulama sangat membudaya, yang selanjutnya termanifestasi dalam beragam episode dialektika yang lestari. Aspek ilmiah menjadi barometer utama dalam kritik di antara mereka. Para ulama telah mencontohkan, bahwa perdebatan yang produktif ialah silang pendapat dengan berbalas karya sembari tetap menjunjung etika.

Silang pendapat yang menghasilkan budaya intelektual yang dinamis dan santun di kalangan ulama, adalah sebentuk bukti dari sabda Nabi, bahwa perbedaan (para ulama) di antara umat Rasulullah SAW adalah rahmat.

Perdebatan dialogis adalah tradisi intelektual Islam untuk membuka katub-katub ketidakpahaman yang menutup cara pandang serta memupuk kedewasaan. Karena kedewasaan umat dapat diukur salah satunya dengan melihat seberapa lapang menerima keragaman.

Nalar kritis akan lahir dari pengembangan rasa skeptis yang terdidik. Hal ini merupakan pintu gerbang dialektika yang mendorong penemuan baru. Terbiasa mempertanyakan sesuatu akan membentuk sikap dan cara berpikir yang akomodatif, fleksibel, serta tidak mudah terseret arus taklid. Islam menghimbau agar seorang Muslim memahami dasar-dasar agama secara komprehensif dan beragama secara ilmiah.

Nilai-nilai dari budaya kritis yang menyejarah di kalangan ulama klasik dapat dimaknai dalam beragam konteks kekinian. Dalam konteks sosial kemasyarakatan, budaya kritis harus selalu siaga untuk diberdayakan. Pasalnya, kabar burung maupun berita hoaks hampir menjadi kudapan sehari-hari yang akan menyulut konflik dan kesalahpahaman. Cara pandang kritis akan membantu kita untuk berpikir serta mencerna informasi secara proporsional.

Yang tidak kalah penting, di tengah keterpurukan keilmuan Islam dan tuntutan perkembangan era saat ini, kita harus berani memantik keraguan pikiran agar nalar kritis kita berjalan. Khazanah keilmuan Islam terkayakan dengan dialektika wacana yang progresif. Bukan tidak mungkin mahkota kegemilangan peradaban akan kembali ke tangan Islam.

Kritik bukan berarti serangan membabi buta yang menjatuhkan pribadi lawan. Para ulama telah secara elegan mencontohkan. Hari ini tugas kita untuk mengadopsi nilai-nilai dan teladan. Wallahu a’lam.

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.