H.O.S Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa

KhazanahHikmahH.O.S Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa

Surabaya merupakan salah satu kota yang menyimpan sejarah para tokoh kemerdekaan Indonesia, salah satunya yaitu Raja Jawa Tanpa Mahkota. Julukan itu disematkan kepada Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang akrab dipanggil H.O.S Tjokroaminoto. Sebutan Raja Jawa Tanpa Mahkota tersebut merupakan pemberian dari pemerintah Hindia Belanda, megingat Tjokroaminoto memiliki peran besar dalam memperjuangkan kemerdekaan serta melahirkan tokoh bangsa melalui pemikiran dan pergerakannya.

Dalam sejarahnya, H.O.S Tjokroaminoto adalah figur penting pada pergerakan nasional. Ia digambarkan sebagai tokoh senior yang merintis gerakan persatuan nasional pertama di Indonesia. Raden Haji Oemar Said Tjokroaminoto, begitulah nama lengkapnya, lahir di Desa Bakur pada tanggal 16 Agustus 1882. Ia termasuk satu di antara tokoh penting dalam memperjuangkan bangsa dengan menggunakan jalan agama untuk melawan penjajahan Belanda.

Meminjam kutipan dalam buku yang berjudul “Harsono Tjokroaminoto Mengikuti Jejak Sang Ayah” (1985), menyebut bahwa di dalam tubuh H.O.S Tjokroaminoto mengalir darah Kyai dan Priyayi, Bangsawan Budi, dan Bangsawan Darah sekaligus, sehingga tak heran kedua unsur tersebut sangat mempengaruhi tindak-tanduknya di dalam kehidupan sehari-hari. Terlahir dari keluarga priyayi, tentunya H.O.S Tjokroaminoto menempuh pendidikan tidak mengalami kesulitan. Kedua orang tuanya memilih memasukan pendidikannya di OSIVIA (Opleidings School Voor Inslandshe Ambtenaren) Magelang.

Hal tersebut sudah menjadi tradisi dalam keluarga priyayi untuk menyekolahkan anaknya di OSIVIA, yang mana sekolah tersebut diperuntukan bagi calon pegawai pemerintah. Kemudian setelah lulus dari OSIVIA H.O.S Tjokroaminoto masuk Pangreh Praja pada tahun 1900an dan kemudian memutuskan untuk keluar dari Pangreh Praja pada tahun 1907 (Takashi Shiraishi:1997). Keluarnya H.O.S Tjokroaminoto dalam Pangreh praja karena pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan prinsip atau kepribadiannya, menolak budaya feodalisme dan pelanggengan politik elitis. Semenjak memutuskan untuk keluar dari Pangreh Praja, H.O.S Tjokroaminoto pergi ke Surabaya. Di Surabaya inilah menjadi tempat pergerakan selanjutnya.

H.O.S Tjokroaminoto merupakan tokoh yang menyukai tantangan dan hal baru. Setelah usai bergelut di berbagai bidang pekerjaan, kemudian ia mencoba dunia politik. Karier awal politiknya dimulai ketika ia mendirikan Sarekat Islam (SI) pada Mei 1912. Mulanya, Sarekat Islam bernama Sarekat Dagang Islam (SDI), yang bertujuan untuk membantu dan menjaga bumiputera, khususnya dalam hal industri ketika menghadapi persaingan dengan pedagang Cina. Pergolakan yang terjadi kala itu membuat SDI diganti menjadi Sarekat Islam dan melantiknya sebagai ketua,  pada Mei 1912.

Sosok H.O.S Tjokroaminoto tidak hanya dikenal sebagai aktivis politik, melainkan juga pemikir. Di balik ketelibatannya dengan SI, saat itu ia juga menulis beberapa buku. Buku berjudul Islam dan Sosialisme (1925) dan Tarich Islam (1931) merupakan karya terbaiknya. Dalam Islam dan Sosialisme, ia menggali dan menganalisis sosialisme dalam khazanah Islam, baik dari sumber teologis maupun historis. Ia menekankan bahwa sosialisme sudah terkandung dalam hakikat Islam. Sosialisme idealnya diarahkan oleh keyakinan agama (Islam). Gagasan sosialisme dengan cara Islam, disebutnya, sesuai untuk diterapkan di Indonesia.

Baca Juga  Hijaukan Hati, Hijaukan Bumi

Salah satu jejak H.O.S Tjokroaminoto di Kota Surabaya, yaitu berupa bangunan rumah dan percetakan Fadjar Asia miliknya. Terletak di Jalan Peneleh Gang 7 No 29-31. Rumah tersebut merupakan tempat yang pernah melahirkan para tokoh bangsa. Di rumah yang tak seberapa luasnya itu, ia tinggal bersama istri dan lima anaknya yang berada di bagian depan, sementara bagian belakang rumah disekat menjadi sepuluh kamar kecil. Di ruangan sempit ini, Bung Karno, Alimin, Muso, Soeharman Kartowisasro, Semaoen, dan tokoh lainnya tinggal (indekos). Alimin dan Muso, yang datang lebih dulu, mendapatkan kamar di bagian lebih depan, sementara Bung Karno mendapatkan bilik yang tersisa, tanpa jendela, tanpa kasur juga bantal. Akan tetapi, di rumah inilah Alimin, Musso, Bung Karno menemukan dunianya.

Mereka tak kesulitan menemukan berbagai macam rupa bacaan dari ‘ujung kiri’ hingga ‘ujung kanan’ di Surabaya. Rumah sang Ketua Umum Serikat Islam (SI), organisasi terbesar di Nusantara kala itu, selalu riuh dan tak pernah sepi dari tamu tokoh pergerakan dan agama. Nama Bung Karno tidak dapat dilepaskan dari tokoh pergerakan Islam. Bung Karno merupakan satu diantara muridnya yang menikmati ceramah dan orasi perjuangan H.O.S Tjokroaminoto. Gaya orasi sang guru dapat dikatakan turut membentuk gaya kepemimpinan Bung Karno yang lantang dan berapi-api. Bung Karno menjadi murid kesayangan H.O.S Tjokroaminoto sehingga ia dinikahkan dengan anaknya, yaitu Siti Oetari.

Meskipun beberapa para tokoh bangsa yang tinggal di rumahnya, seperti Bung Karno, Semoaen, Muso, Alimin, Kartosoerwirjo berguru pada guru yang sama, yaitu Tjokroaminoto, akan tetapi kelima muridnya tersebut dalam berjuang untuk bangsanya menggunakan pemikiran dan ideologi yang berbeda.  Bung Karno misalnya, dengan nasionalismenya dan menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia. Alimin, Muso, dan Semoen dengan partai komunisnya. Sedangkan Kartosuwiryo dengan pemikiran Islam yang ekstrimis, yaitu Negara Islam Indonesia (NII). Dari ragam pemikiran murinya tersebut itulah yang mewarnai jagat politik Indonesia kala itu.

Dengan demikian, trilogi H.O.S Tjokroaminoto yang paling terkenal dan wajib selalu kita kenang yaitu setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, dan sepintar-pintar siasat. Pernyataan tersebut menggambarkan suasana perjuangan Indonesia dan membutuhkan tiga kemampuan bagi seorang pejuang.

H.O.S Tjokroaminoto telah meninggalkan warisan-warisan hingga akhir hayatnya, mulai dari pemikiran hingga perjuangannya. Ia telah menjadi guru dari para tokoh bangsa. Meskipun dalam perkembangannya, setelah wafat sang guru, para muridnya justru kehilangan esensi pemikiran. Mereka malah tampil berhadapan sebagai lawan dalam dinamika fase perjuangan bangsa dengan tujuan ideologi masing-masing. Tentu tak ada yang salah, itulah sejarah. Namun, H.O.S Tjokroaminoto telah menjadi teladan dan guru bagi para tokoh bangsa.

Artikel Populer
Artikel Terkait