Sejarah Damai Sunni-Syiah

KolomSejarah Damai Sunni-Syiah

Selama ini, permusuhan dan pertikaian Sunni-Syiah mendominasi wacana publik masyarakat Muslim. Catatan keakraban masa silam antara dua sekte besar Islam ini, terasa begitu istimewa dan mengesankan bagi siapa saja yang menemukannya. Seorang teman, baru saja menunjukan ketakjubannya atas fakta bahwa salah satu tokoh imam qiraat, Imam Hamzah al-Kufi yang Sunni, memiliki sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW, di antaranya melalui perawi dari kalangan Syi’ah. Sebuah sinergi yang mungkin sulit dibayangkan oleh sebagian besar umat muslim saat ini.

Dalam sejarah awal Islam, setidaknya sebelum pertengahan abad ke-4 H menurut Musthafa Rafi’i, hubungan Sunni-Syiah berjalan harmonis.  Kedua sekte besar Islam ini sama-sama berjasa bagi perkembangan Islam, khususnya di bidang Ilmu pengetahuan. Semua kedamaian tersebut tercipta melalui penghargaan terhadap perbedaan, serta kesadaran bersama untuk menghindari fanatisme madzhab. Kita tidak perlu heran, pada masa itu, ulama kita yang bermadzhab Sunni, berguru pada Ulama bermadzhab Syi’ah, begitupun sebaliknya. Masing-masing memiliki corak dan produk keilmuan yang saling memperkaya khazanah peradaban Islam.

Al-Bukhari, seorang ulama hadits terkemuka madzhab Sunni, memiliki seorang guru dari kalangan Syi’ah bernama Ubaidullah ibn Musa al-Absi. Selain itu, cukup banyak diketahui bahwa Abu Hanifah, Imam besar madzhab Sunni bidang fikih, juga berguru pada Imam Ja’far ash-Shadiq, seorang ulama terbaik syi’ah. Dalam bidang tafsir al-Quran juga, sudah menjadi kelaziman bahwa literatur Syiah turut mewarnai referensi penafsiran ulama Sunni, tidak lain untuk memperkaya penafsiran. Kultur ini bahkan terus lestari hingga kini. Di antara contohnya ialah Quraish Shihab, yang merujuk pada tafsir al-Mizan karya Thabathaba’i, dalam penulisan Tafsir al-Misbahnya.

Sejarah damai Sunni-Syiah merupakan kearifan tatanan sosial Islam yang amat berharga. Sayangnya, sejarah damai itu telah lama hilang dari hati dan pikiran umat Islam kebanyakan. Ketidaksadaran kolektif atas korupsi sejarah dan ketertindasan pikiran, telah menyebabkan ironi pertikaian Sunni-Syi’ah yang berkepanjangan. Buya Syafi’i Ma’arif mengungkapkannya sebagai kecerobohan umat Islam sedunia selama berabad-abad, umat diseret dan ditipu oleh sengketa elit Arab yang menghancurkan persaudaraan kaum beriman.

Ketimbang pertarungan identitas keshalihan antara keimanan dan kesesatan golongan, seperti yang ada dalam presepsi kebanyakan masyrajkat awam, propoganda dan fanatisme sekat-sekat sektarian, yang kaku atau penuh rasa kebencian antar sunni-syi’ah selama ini, lebih patut dicurigai sebagai tipu daya politis dan permainan elit global, yang tentunya tidak peduli dengan nasib umat Muslim.

Baca Juga  Nasionalisme Kita, Menjawab Tantangan Zaman

Bukan rahasia lagi, agenda politik besar mengambil banyak keuntungan dari perpecahan dan konflik, yang diciptakan dengan menyuburkan isu perselisihan Sunni-Syiah. Kondisi permusuhan sekterian, kerap dimanfaatkan untuk membantu melemahkan lawan politik militer. Ide untuk terus mendorong Sunni membunuhi Syi’ah ini, misalnya, secara terang-terangan pernah dikemukakan oleh mantan anggota CIA senior, Michael Scheuer, dalam wawancara kontroversialnya “Let Sunni kill Shia and the west keep out” yang viral tahun 2015. Sebagaimana pula dikutip Jalaluddin Rakhmat, yang kemudian memberikan kesimpulan bahwa Amerika berperan dalam melanggengkan perpecahan Sunni dan Syiah di era kita saaat ini.

Paham anti-Shiisme juga dipropagandakan oleh kaum fundamentalis-radikal yang lahir dari Ideologi Wahabisme. Merekalah yang kerap mereproduksi ajaran kebencian dan permusuhan pada Syi’ah. Mereka bahkan tega menghalalkan kebrutalan kepada kelompok Syiah di berbagai negeri, seperti peristiwa The Ashura Massacre 2004 di Iraq dan The Zaria Massacre 2015 di Nigeria. Hal ini tentu tidak lepas dari Kepentingan politik hegemoni Wahabisme.

Saudi Arabia, tuan rumah wahabisme, menggelontorkan miliaran dollar untuk mendanai misinya yang telah berlangsung selama beberapa dekade itu, Selain untuk menyebarkan ajatan Islam Sunni ala wahabi yang kaku, literalis, dan anti rasionalitas, alitan dana pemerintah saudi mengalir demi menunjang agenda yang melemahkan Syiah sebagai representasi Iran, lawan utamanya. Fakta ini terungkap melalui dokumen Saudi yang dibocorkan Wikileaks, seperti yang dikutip Jalaludin Rahmat dari Kolom Thomas L. Friedman di The New York Times, 2 September 2015.

Oleh sebab itu, sepatutnya kita sadari bahwa ajaran untuk membenci Syiah, bukanlah ajaran agama, melainkan retorika yang sarat kepentinngan dan rekayasa politik. Mereka yang mengusung permusuhan Sunni-Syi’ah hanyalah kelompok sempalan yang tidak menyukai kondisi damai dan stabil. Provokasi dan hasutan untuk saling bermusuhan di antara kita lebih layak ditentang daripada dituruti. Sebaliknya, Sejarah damai Sunni-Syiah adalah inspirasi kita. Keberadaaannya menjadi preseden yang kuat untuk membangun persaudaraan yang melampaui batas-batas sektarian dan terbebas dari fanatisme madzhab. Sunni-Syiah itu bersaudara.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait