KH Abdurrahman Wahid: Sang Penakluk Dunia

KolomKH Abdurrahman Wahid: Sang Penakluk Dunia

ISLAMRAMAH.CO, KH Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur seolah dipersiapkan oleh semesta untuk menaklukkan dunia. Ia adalah pemimpin bangsa, agama, kemanusiaan dan sederat gelar lain untuknya. Idealisme yang terpancar dari sosok Gus Dur tergambar jelas dalam namanya, Abdurrahman Ad-Dakhil atau “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil dari perintis Dinasti Umayyah yang menancapkan tonggak kejayaan Islam di Tanah Spanyol.

Presiden Republik Indonesia ke-4 itu lahir di Desa Denanyar, Jombang Jawa Timur pada 4 Agustus 1940. Gus Dur adalah putra dari mantan Menteri Agama Republik Indonesia, KH Wahid Hasyim, dan cucu dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri ormas Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama. Ia termasuk salah satu pemimpin yang unik dan paling berpengaruh sepanjang abad-20.

Sebagaimana lazimnya, Gus Dur memulai Pendidikan dari Sekolah Dasar. Setelah tamat, ia pada tahun 1953 melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan lulus tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji kepada KH Ali Maksum di Krapyak, walaupun ia sendiri tinggal di rumah pemimpin modernis, KH Junaid, seorang ulama yang merupakan anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Pendidikan keagamaan selanjutnya ia tempuh di sejumlah pondok pesantren di tanah Jawa seperti pesantren Tegalrejo, Magelang (1957-1959), Pesantren Mu’allimat Bahrul ‘Ulum, Tambakberas Jombang (1959-1963), kemudian kembali lagi ke Krapyak. Setelah itu Gus Dur memperdalam ilmu-ilmu keislaman di Universitas al-Azhar Kairo Mesir dan Universitas Baghdad.

Di Indonesia, Gus Dur menjadi lokomotif baru dalam gerakan pemikiran keagamaan, perjuangan politik untuk demokrasi, dan membangun sikap toleransi terhadap keberagamaan masyarakat. Sepanjang hayatnya bergelut di berbagai bidang aktivis sosial, politik dan keagamaan, setidaknya ada lima gugus besar pemikiran yang diperjuangkan Gus Dur. Pertama, Syariat Islam diturunkan kepada manusia tak lain kecuali untuk melindungi kepentingan dasar manusia itu sendiri, yakni mewujudkan kedamaian, kemaslahatan, dan kemajuan.

Kedua, Gus Dur adalah sosok yang sangat anti terhadap kekerasan. Dalam pandangan Gus Dur, kekerasan tidak hanya bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan juga merugikan Islam itu sendiri. Ketiga, dalam konteks modern, hanya demokrasi yang dapat mempersatukan beragam arah kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa, bahkan menurut Gus Dur, demokrasi adalah bagian dari manifestasi tujuan syariat dalam kehidupan.

Baca Juga  Krisis Kepercayaan Pada Ulama

Keempat, Gus Dur adalah penjaga tradisi, di mana menurutnya agama dan budaya bersifat saling melengkapi. Agama bersumber dari wahyu yang memiliki norma-norma sendiri, sementara budaya adalah kreativitas manusia yang selalu berubah sesuai perkembangan zaman. Kelima, menurut Gus Dur, Islam akan lebih efektif dan membumi jika berfungsi sebagai etika sosial. Hukum agama tidak akan kehilangan kebesarannya dengan berfungsi sebagai etika masyarakat.

Pandangan dan sikap Gus Dur dalam keislaman menekankan sikap rahmatan lil ‘alamin, yakni membawa kebaikan dan kedamaian kepada orang lain, masyarakat dan bahkan kepada kelompok agama lain. Dari penekanan ini kemudian muncul sikap kasih sayang (rahmat) dan mengesampingkan sinisme yang disebabkan oleh “merasa paling benar”, “merasa kuat” dan sebagainya. Sikap kasih sayang adalah pembatas agar kita tidak membuat sakit hati pihak lain.

Dari penekanan pada prinsip rahmatan lil ‘alamin ini keislaman Gus Dur kemudian dinaikkan pada tahap keislaman yang lebih tinggi, yakni khalifah fil ardi (wakil Tuhan di muka bumi). Dengan prinsip khalifah fil ardi segala tindakan akan selalu dilandasi niatan tulus dan kasih sayang, didasari kedamaian dan demi kesejahteraan (rahmat) sebagaimana nilai-nilai asmaul husna dalam mencapai keharmonisan kehidupan di bumi ini.

Sebagai khalifah, maka setiap pribadi harus bersikap terbuka pada semua kepentingan dan keberadaan berbagai segi kehidupan yang ada di muka bumi ini. Dengan keterbukaan untuk berdialog dengan semua segi kehidupan tersebut, maka akan tercapai titik temu jalan kebersamaan sesama umat manusia. Salah satu tugas setiap individu adalah menempatkan segala sesuatu sesuai tempatnya (al-‘adalah) dan memandang segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki potensi kebaikan (al-hikmah).

Gus Dur menghembuskan nafas terakhir pada usia 69 tahun, yakni pada 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangkusumo. Kepergian Gus Dur adalah duka bagi Indonesia, duka umat Islam dan bahkan kabar duka bagi mereka yang mencintai nilai-nilai kemanusiaan.

Artikel Populer
Artikel Terkait