Syeikh Yusuf Al-Makassari: Ulama Pejuang Melawan Kolonialisme

KolomSyeikh Yusuf Al-Makassari: Ulama Pejuang Melawan Kolonialisme

ISLAMRAMAH.CO, Syeikh Yusuf al-Makassari adalah ulama pejuang kemerdekaan melawan kolonialisme. Ia memiliki pengaruh besar umat Islam Indonesia dan Afrika Selatan. Ia pernah mengungsi ke Banten dan diasingkan ke Srilanka bahkan Afrika Selatan oleh Belanda. Syeikh Yusuf terkenal dengan gelar Al-Syeikh al-Hajj Yusuf Abu Mahasin Hadiyatullah Taj al-Khalwati al-Makassari al-Bantani. Di kota kelahirannya ia dikenal dengan gelar Tuanta Salamaka (Tuan kita yang selamat dan mendapat berkah).

Syeikh Yusuf atau nama lengkapnya Muhammad Yusuf lahir di desa Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan. Sejumlah sumber menyebut ia lahir pada 8 Syawwal 1036 H/ 3 Juli 1626 M. Namun di kalangan peneliti data itu masih diragukan sehingga sebagian besar menyimpulkan tanggal kelahirannya belum bisa dipastikan. Bapaknya bernama Abdullah, namun para keturunannya di Sulawesi Selatan menamainya Abdullah Khaidir.

Sejak kecil, Syeikh Yusuf mendapatkan pendidikan dari ulama-ulama besar. Ia pernah belajar ke Bontoala yang diasuh oleh ulama asal Yaman, Syed Ba’lawy bin Abdullah. Selanjutnya ia belajar ke pondok Cikoang di bawah asuhan ulama asal Aceh yang mengembara ke tanah Bugis, Syeikh Jalaluddin al-Aidit, kemudian ketika umur 18 tahun ia menuju Banten dari pelabuhan Tallo Makassar pada 22 September 1645.

Di perjalanan itu ia bertemu dengan ulama dan tokoh besar Banten bernama Abdul Fattah, putra mahkota kesultanan Banten. Kelak Abdul Fattah ini mendapatkan gelar Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah sekian lama di Banten, ia melanjutkan pengembaraan ilmu ke Aceh. Ia belajar kepada mufti kerajaan Aceh, Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Darinya Syeikh Yusuf mendapatkan ijazah tarekat Qadariyah, seperti dinyatakan sendiri dalam risalah berjudul safinat an-najah.

Syeikh Yusuf kemudian melanjutkan perjalanan ke Gujarat lalu ke Yaman. Ia menemui Syeikh Muhammad Abdul Baqi dan mendapatkan tarekat Naqsabandiyah. Ia juga mendapatkan ijazah tarekat al-Sa’adat al-Ba’lawiyah dari Sayyid Ali Az-Zubaidy. Setelah dari Yaman, ia bertolak ke Mekkah dan Madinah dan mendapatkan ijazah tarekat Syattariyah dari Syeikah Burhanuddin al-Millah bin Syeikh Ibrahim bin Husein bin Syihabuddin al-Kawraniy al-Madini. Setelah itu, ia melanjutkan pengembaraan intelektual ke sejumlah tempat lain seperti ke Damaskus Suriah dan Turki.

Baca Juga  IWD 2023, Saatnya Akhiri Kekerasan Berbasis Gender Online

Setelah melalang buana sekitar 20 tahun, Syeikh Yusuf kembali ke Tanah Air. Ia kembali ke tanah kelahirannya, Gowa namun tidak berlangsung lama. Ia merasa kecewa lantaran keadaan di kampung halamannya sudah berubah. Peperangan Hasanuddin melawan Belanda berkepanjangan, kerajaan di Gowa kalah dan muncullah perjanjian Bongaya tahun 1667. Ia memilih menuju Banten. Kehadirannya disambut baik oleh Sultan Abdel Fatah di Banten dan masyarakat Bugis yang tinggal di Banten. Bahkan dengan cepat ia mendapatkan peran penting di kerajaan Banten.

Ketika itu, Syeikh Yusuf menanamkan semangat perlawanan jihad fi sabilillah untuk mempertahankan kemandirian orang Banten terhadap kolonialisme. Ia diangkat menjadi panglima kerajaan Banten. Selama hampir dua tahun peperangan antara kerajaan Banten dan Belanda berlangsung. Namun tekanan Belanda begitu kuat sehingga Sultan tertangkap dan di penjara, sementara Syeikh Yusuf masuk hutan untuk menghindari penangkapan. Ia bergerilya di hutan sampai di daerah Cirebon. Namun pada akhirnya Syeikh Yusuf tertangkap dan ditahan di Batavia (Jakarta).

Karena pengaruh Syeikh Yusu begitu kuat, bahkan ketika di dalam penjara, Belanda pada akhirnya mengasingkannya ke Sailon, Srilanka. Bukannya berhasil, di negara lain justru pengaruh Syeikh Yusuf masih besar bagi perlawanan terhadap kolonialisme. Ia pun kembali diasingkan ke Afrika Selatan selama kurang lebih enam tahun. Di Afrika Selatan, Syeikh Yusuf tetap berdakwah hingga begitu dikenal dan berpengaruh bagi masyarakat. Ia wafat di Afrika Selatan pada 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun.

Raja Gowa dan Kesultanan Banten meminta jenazah Syeikh Yusuf dibawa ke Tanah Air, namun pihak Belanda menolak. Baru pada pemerintahan Raja Abdul Jalil, tahun 1704 pihak Belanda mengabulkan permintaan tersebut. Syeikh Yusuf dimakamkan di Lakiung Gowa. Kedua makamnya, baik di Gowa maupun di Afrika Selatan sampai hari ini masih diziarahi oleh kaum muslimin. Makamnya di Gowa dikenal dengan nama Kobbang (Kubah).

Syeikh Yusuf tidak hanya seorang pejuang melawan kolonialisme, ia juga termasuk ulama yang produktif menulis. Dari tangannya telah lahir puluhan kitab-kitab terkenal seperti Kitab Al-Futuhah al-Ilahiyah, al-Barakah al-Saylaniyah, Bidayat al-Mubtadi dan masih banyak sekali kitab-kitab lainnya. Syeikh Yusuf telah menjadi kebanggaan umat Islam, ia bukan hanya milik orang Bugis di Sulawesi Selatan, atau milik masyarakat Islam di Afrika Selatan, melainkan juga milik seluruh umat Muslim dunia dan para pejuang kemanusiaan.

Ia mendapatkan penghargaan pejuang kemanusiaan tertinggi dari Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela. Sementara itu, ia juga tercatat sebagai pahlawan nasional dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.

Artikel Populer
Artikel Terkait