Syeikh Khatib al-Minangkabawi: Imam Besar Masjidil Haram Pertama dari Indonesia

KolomSyeikh Khatib al-Minangkabawi: Imam Besar Masjidil Haram Pertama dari Indonesia

ISLAMRAMAH.CO, Menjadi imam besar Masjidil Haram adalah suatu kehormatan yang besar. Tidak sembarang orang bisa menjadi imam di Masjid terbesar di dunia tersebut. Siapa pun yang ingin menjadi imam di masjid itu, tentu saja harus menguasai pengetahuan agama yang luas dan mendalam. Siapa sangka, seorang ulama asal Indonesia ternyata pernah menjadi imam di Masjidil Haram. Beliau adalah Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang ulama terkemuka asal Bukittinggi, Sumatera Barat

Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdullah bin Abdul Aziz al-Minangkabawi. Ia lahir pada 1860 M/ 1276 H, sementara sumber lain menyebut 1885 M di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia lahir dari keluarga berada dan dikenal sangat taat beragama. Ia memperoleh pendidikan dasar di kota kelahirannya lewat jalur pendidikan informal yang dikelola oleh ulama setempat. Ia kemudian melanjutkan rihlah ilmiahnya ke Mekkah pada 1871 atau ada yang menyebut 1987.

Cukup sulit informasi yang menyebut kepada siapa Syeikh Khatib belajar di Mekkah, namun sejumlah sumber sebagaimana ditulis oleh Martin van Bruinessen menyebutkan, ia belajar kepada Syeikh Nawawi al-Bantani. Selebihnya ia banyak belajar secara mandiri atau otodidak. Sepanjang hayatnya ia menetap di Mekkah meski tetap mempunyai hubungan dengan daerah asalnya melalui orang-orang yang naik haji dan belajar kepadanya.

Di antara murid-muridnya ada yang mendapatkan kedudukan dalam bidang agama seperti Syeikh Muhammad Nur (Mufti Kerajaan Langkat), Syeikh Hasan Maksum (Mufti Kerajaan Deli), Syeikh Muhammad Saleh (Mufti Kerajaan Selangor), Syeikh Muhammad Zein (Mufti Kerajaan Perak), Muhammad Nur Ismail (Kadi Kerajaan Langkat Binjai). Sebagian lain ada yang menjadi pembaharu pemikiran Islam seperti Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Karim Amrullah sampai KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) dan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama).

Baca Juga  Kokohnya Nasionalisme Pesantren

Syeikh Khatib memiliki banyak keahlian dalam bidang ilmu-ilmu keislaman, terutama masalah-masalah fikih dan hukum Islam. Pendapat dan pemikirannya banyak dikemukakan dalam buku-buku yang ditulisnya, terutama menyangkut masalah-masalah keagamaan di Minangkabau dan di Tanah Jawa. Selain itu, ia juga dikenal alim di bidang ilmu hitung dan hisab. Dalam ilmu ini ia menulis kitab berjudul al-Jawahir al-Naqqiyah fi al-‘Amal al-Jaibiyah (Kairo, 1310 H/ 1891 M). Kitab ini merupakan pedoman untuk pengetahuan tanggal dan kronologi.

Meskipun sampai akhir hayatnya ia tinggal di Mekkah, namun ia tidak mau tinggal diam dalam menghadapi masalah-masalah nasionalisme. Ia juga banyak menulis kitab-kitab seperti Irsyad al-Hayara fi Izalah ba’dhi Syibhi al-Nashara, kitab Dhauq al-Siraj, kitab Riyadh al-Wardiyyah fi Ushul al-Tauhid wa al-Furu’ al-Fiqh, yang dapat dipandang sebagai pedoman praktis untuk ilmu aqidah dan Syari’ah. Selain itu ia juga menulis kitab Fathu al-Mubin, kitab pendek berbahasa Melayu yang membahas khusus tentang akidah, dan kitab al-Nafahat ‘ala Syarh al-Waraqat, kitab yang berisi uraian mengenai ilmu ushul fikih.

Syeikh Khatib memang dikenal sebagai ulama produktif dan penulis di bidang kajian keislaman seperti fikih, sejarah, al-jabbar, ilmu falaq, ilmu berhitung, dan ilmu ukur. Ada yang menyebut ia memiliki karya sebanyak 46 buah, namun ada pula yang menyebut 49 buah. Awalnya karya-karya Syeikh Khatib, selain tersebar di tanah airnya sendiri, juga beredar ke wilayah Siria, Turki dan Mesir. Hanya saja, di Indonesia hanya ada dua karyanya yang masih dikaji di beberapa pesantren, yaitu kitab al-Nafahat ‘ala Syarh al-Waraqat dan Kitab fath al-Mubin. Syeikh Khatib meninggal dunia di Mekkah pada 1224 H/ 1916 M.

Artikel Populer
Artikel Terkait