KH Maimoen Zubair: Ulama Pesantren yang Diakui Dunia

KolomKH Maimoen Zubair: Ulama Pesantren yang Diakui Dunia

ISLAMRAMAH.CO, KH Maimoen Zubair atau lebih dikenal Mbah Moen termasuk ulama Indonesia yang diakui dunia. Banyak ulama-ulama dunia dari berbagai negara seperti Haramain (Mekkah dn Madinah), Suria, Australia, Turky, Abu Dabi, Yaman, Mesir, dan lain-lain, sebagian juga dari Eropa cukup rutin dan antusias berkunjung ke kediamannya di Sarang Rembang. Mereka kagum kepada sosok Mbah Moen yang dianggap alim sekaligus bersahaja dengan keluhuran akhlaknya.

Mbah Moen lahir di Sarang Rembang pada Jumat Kliwon, 10 Muharram 1347 H/ 23 Oktober 1928 M. Beliau anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Semua anak-anak Kiai Zubair meninggal dunia kecuali Mbah Moen. Sejak kecil Mbah Moen dididik oleh orang tuanya sendiri, terutama dalam pembelajaran dasar-dasar ilmu agama. Sejak belia beliau sudah mengaji kitab al-Jurumiyah, al-Imrithi, al-Fiyah Ibn Malik, Fathul Qarib, sampai Sullam al-Munawraq.

Tak hanya ilmu agama, Kiai Zubair juga mendidik Mbah Moen dengan ilmu-ilmu umum, bahkan tentang nasionalisme dan patriotisme. Konteks itu Indonesia memang masih dijajah oleh kolonialisme Belanda kemudian Jepang dan dilanjutkan oleh Belanda kembali. Pada tahun 1945, Mbah Moen belajar agama ke berbagai pesantren di Indonesia, salah satunya ke pesantren Lirboyo Kediri. Sembari belajar, beliau juga terlibat dalam perjuangan melawan kolonialisme dalam komando Kiai Hasyim Asy’ari yang dikenal dengan Resolusi Jihad.

Pada tahun 1949, setelah kondisi Indonesia relatif aman, Mbah Moen meminta restu ke sejumlah guru-gurunya untuk melanjutkan pengembaraan intelektual ke Tanah Haramain. Beliau menetap di Mekkah dan belajar kepada ulama-ulama terkemuka, di antaranya Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syaikh Muhammad Amin al-Kuthbi, Syaikh Abdul Qadir ibn Abdul Muthalib al-Mindili, Syaikh Abdullah bin Nuh al-Malaysiai, Syaikh Hasan al-Masyath, Syaikh Yasin al-Fadani, dan Syaikh Zakaria Bela.

Baca Juga  Rutinitas Pagi Nabi Muhammad SAW

Ketika kembali ke Tanah Air, beliau tidak lantas berhenti belajar. Beliau masih mengaji kepada berbagai ulama besar Indonesia, seperti Kiai Baidlowi Lasem, Kiai Bisri Musthofa, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Abbas Buntet, Kiai Khudori Tegalrejo Magelang, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Ihsan Jampes Kediri, Habib Abdullah bin Abdul Qadir, Habib Ali bin Ahmad Al-Athas dan masih banyak ulama lainnya.

Mbah Moen dikenal sebagai sosok yang tidak hanya alim, tetapi juga sederhana. Pernah beliau ditawari gelar Doktor Honoris Causa, namun menolak dan dengan santun beliau berkata, “Biarlah ada kiai seperti saya, yang pekerjaannya hanya mengaji.” Tawaran tersebut tidak hanya datang sekali, melainkan dua kali. Namun jawaban Mbah Moen tetap sama, beliau menolak tawaran tersebut.

Sebenarnya, Mbah Moen tak pernah berpikir untuk mendirikan pesantren, karena niat beliau hanya ingin menolong agama Allah. Namun demikian, masyarakat sendiri yang ingin memondokkan anak-anaknya ke Mbah Moen. Saking antusiasnya masyarakat, mereka menyekat sendiri mushollah Mbah Moen menjadi dua, satu untuk tempat shalat dan mengajar, sementara satu lagi sebagai kamar santri. Dari musholah inilah kemudian lahir pesantren Al-Anwar, diambil dari nama ayahnya sendiri sebelum berangkat haji dan diubah namanya menjadi Zubair.

Mbah Moen selalu mengajak santrinya agar tanggap dengan perubahan zaman, tidak beku dalam pemikiran. Beliau sering berkata, “bagi orang yang berakal sehat, hendaknya bijak dalam menyikapi zamannya.” Beliau juga sangat produktif menulis puluhan kitab, di antaranya adalah al-Ulama al-Mujaddidun, Risalah Mauqufina haula al-Shaumi wal Iftar, Maslakatu al-Tanassuk al-Makki di al-Ittishalati, Taqriratu al-Jauharu al-Tauhid, dan masih banyak kitab-kitab lainnya.

Selain berkhidmat mengajar di pesantren, Mbah Moen juga aktif dalam dunia pemerintahan dan ormas Islam. Beliau pernah menjadi anggota DPRD (1967-1975), anggota MPR (1978-1991), Ketua Mejelis Syuro PPP, dan Mustasyar PBNU. Mbah Moen wafat di Makkah setelah melaksanakan shalat shubuh. Beliau dimakamkan di Ma’la, berdekatan dengan makam guru beliau Sayyid Alawi al-Maliki al-Hasani dan makan istri Rasulullah Saw, Sayyidah Khadijah.

Artikel Populer
Artikel Terkait