KH Ali Maksum: Pionir Kemajuan Pesantren Krapyak Yogyakarta

KolomKH Ali Maksum: Pionir Kemajuan Pesantren Krapyak Yogyakarta

ISLAMRAMAH.CO, Kepopuleran pesantren Al-Munawwir, Krapyak Yogyakarta di kalangan masyarakat Indonesia bahkan dunia, tak lepas dari tangan dingin KH Ali Maksum. Beliau mengembangkan pesantren di tengah kondisi krisis. Pasca wafatnya Mbah Munawwir, pesantren mengalami kemunduran. Namun berkat kegigihan KH Ali Maksum, kondisi pesantren kembali normal, bahkan mengalami kemajuan yang begitu pesat.

KH Ali Maksum adalah putra dari pernikahan KH Ma’shum bin KH Ahmad Abdul Karim dengan Nyai. Hj. Nuriyah binti KH Muhammad Zein Lasem. Beliau lahir pada 2 Maret 1915 di desa Soditan Lasem Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Masa itu, tengah gencar pembaharu (modernis) melancarkan serangan terhadap keberadaan pondok pesantren yang dianggap penghambat kebebasan berijtihad, mengembangkan pemikiran irrasional semacam khufarat, takhayul dan bid’ah.

Kiai Ali Maksum yang dikenal sebagai Mbah Ma’sum merupakan pendiri sekaligus pengasuh pesantren al-Hidayah di desa Soditan Lasem, Rembang. Sejak kecil beliau dididik secara keras di pesantren ayahnya sendiri yang saat itu menjadi rujukan para santri dari berbagai daerah, terutama rujukan dalam pengajaran kitab Alfiyah Ibnu Malik beserta syarahnya Ibnu ‘Aqil (nahwu, sharaf dan balaghah) serta kitab Juwami’.

Pada tahun 1938, KH Ali Maksum menikahi Rr. Hasyimah putri KH Munawwir, pengasuh pesantren Krapyak Yogyakarta. Beberapa hari setelah pernikahannya, seseorang bernama H. Junaidi dari Kauman Yogyakarta menawarkan tiket gratis kepada Mbah Ma’shum untuk beribadah haji. Sebulan kemudian Mbah Ma’sum bertolak menuju Mekkah lewat pelabuhan Semarang. Kesempatan beribadah ini sekaligus digunaknnya untuk menimba ilmu (thalabul ilmi).

Sesampainya di Mekkah, beliau mengaji kepada beberapa ulama besar, di antaranya Sayyid Alwi Abbas al-Maliki untuk mengaji kitab al-Luma’ dan lain-lain. Beliau juga mengaji pada Syaikh Umar Hamdan untuk mengaji kitab Shahih Bukhari dank kitab hadis lain. Selain itu, Mbah Ma’sum memperluas wawasannya dengan mengaji kitab-kitab kaum modernis seperti karya Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Jalaluddin al-Afghani dan sebagainya.

Baca Juga  Fenomena Tren Hijrah Kaum Urban

Sepeninggal KH Munawwir, pesantren Krapyak Yogyakarta mengalami kemerosotan. Banyak santri memilih pulang dari pesntren, bahkan belum genap 100 hari wafatnya KH Munawwir, jumalh santri tinggal berkisar puluhan. Kondisi ini membuat keluarga pesantren resah dan khawatir dengan masa depan pesantren. Pada tahun 1943, berdasakan musyawarah keluarga pesantren, Bani Munawir memutuskan untuk meminta Mbah Ma’sum untuk melanjutkan dan membenahi pesantren.

Mulanya Mbah Ma’sum tidak bersedia untuk hijrah ke Krapyak untuk mengatasi krisis tersebut. Namun setelah berkali-kali pihak keluarga pesantren mengirim utusan, datanglah Nyai Sukis (istri KH Munawwir/ Ibu mertua Mbah Ma’sum) yang memintanya melanjutkan perjuangan pesantren. Akhirnya Mbah Mu’sum menyanggupi permintaan tersebut dan mulai saat itu Mbah Ma’sum menjadi salah satu pemimpin pesantren bersama dua putra KH Munawwir, yakni KH Abdullah Affandi dan KH Abdul Qadir.

Semenjak itu, sistem pendidikan tidak hanya berpusat pada pengajaran al-Quran, tetapi juga pada kitab kuning. Lembaga-lembaga pendidikan formal/ klasikal didirikan. Para santri berdatangan dan makin bervariasi, yakni adanya santri takhassus, santri kalong, sekolah di dalam dan di luar pesantren, hingga meningkatnya jumlah santri yang belajar di pesantren Krapyak. Selain itu, pesantren Krapyak makin di kenal di Indonesia dan kancah global, terutama di negara-negara Timur Tengah.

Apalagi, ketika Mbah Ma’sum menjadi Rais ‘Aam PBNU (1981-1984) dan menjadi tuan rumah Muktamar NU ke-28 (1989). Di masa kepemimpinan Mbah Ali Ma’sum, kepopuleran pesantren al-Munawwir, Krapyak Yogyakarta makin mendunia.

Artikel Populer
Artikel Terkait