Jejak Sejarah Islam di Toraja

KolomJejak Sejarah Islam di Toraja

ISLAMRAMAH.CO – Saat ini, Islam Nusantara menjadi salah satu wacana yang gencar dibicarakan. Tidak hanya di Indonesia, namun juga di luar negeri. Tahun lalu, Perwakilan Cabang Istimewa Nahdhlatul Ulama (PCINU) Belanda menyelenggarakan seminar internasional mengenai Islam Nusantara di Amsterdam dan Den Haag. Pembicaranya berasal dari para akademisi internasional. Hal ini membuktikan bahwa wacana ini bukan sekadar paradigma yang hanya ramai di tanah asalnya, melainkan sudah menarik perhatian mancanegara

Sebelumnya, dengung Islam Nusantara lebih ramai dibicarakan oleh komunitas Nahdhatul Ulama (NU). Dalam kongres terakhirnya di Jombang, beberapa intelektual NU mulai aktif berbicara mengenai konsep Islam Nusantara yang berwawasan keislaman plus keindonesiaan. Nuansa lokalitas begitu kentara dalam metanarasi ini. Tak ayal, sebagian kalangan NU optimis, gagasan besar ini dapat menjadi solusi terdepan dalam menghadapi krisis kebangsaan yang dewasa ini hinggap di ruang publik Tanah Air seperti ekstrimisme, kebencian atas nama agama dan ancaman bagi elan kebhinekaan.

NU merupakan organisasi massa yang kental dengan nuansa Islam Jawa. Hal ini dikarenakan mayoritas basis warga NU merupakan kaum santri yang pernah bersinggungan dengan pesantren. Umumnya, kantong-kantong komunitas NU berada di pulau Jawa, sehingga semakin memperteguh anggapan bahwa dalam ruang pikiran dan budaya masyarakat NU didominasi oleh anasir kejawaan. Celakanya, nuansa lokalitas ini merembes hingga ke tataran nasional. Guyonan kiai yang beraroma Jawa menjadi sesuatu yang ditunggu hampir di setiap kesempatan, baik formal maupun informal.

Matra kejawaan yang terbangun dalam kultur NU, pelan namun pasti, mengudara pula dalam gagasan Islam Nusantara. Memang, penilaian ini terlalu dini, namun menurut penulis hal tersebut yang pertama kali ditangkap tatkala menghadiri ruang diskusi atau berbudaya di komunitas NU. Jika keadaan ini terus didiamkan, maka bukan tidak mungkin Islam Nusantara akan terpenjara dalam kebesarannya sendiri. Merasa diri sudah menusantara, namun abai untuk menengok dan membicarakan realita sejarah dan kebudayaan bangsa atau suku lainnya. Perlu diingat, mereka juga memiliki kebudayaan yang juga tidak kalah semarak dengan yang dimiliki etnis Jawa.

Kali ini, penulis tertarik untuk mengangkat Tana Toraja sebagai salah satu khazanah Islam Nusantara yang layak didiskusikan lebih lanjut dalam ruang yang segar dan terbuka.

Anomali Sejarah

Hampir setiap waktu, ruang dengar dan ruang pandang kita disesaki oleh jargon “Islam Rahmat lil Alamin”, Islam yang menebar kebaikan bagi alam dan manusianya. Jika diperhatikan, seruan ini cukup menimbulkan kesan mendalam di benak umat Muslim dan cukup menjawab pertanyaan tentang urgensi hadirnya Islam bagi umat manusia. Namun itu hanya sebatas cukup, tidak lebih.

Kenyataannya, dalam sejarah islam Nusantara sendiri, kehadiran Islam dinilai oleh sebagian suku bangsa justru sebagai perusak bagi suatu lingkungan budaya. Label “kafir”, menggerayangi cerita-cerita perjumpaan Islam di tataran lokal. Kehadiran Islam, jika dibicarakan dalam konteks kesejarahan, tidak melulu berkisar pada hadirnya kebaikan di atas keburukan. Di beberapa wilayah di Indonesia, hadirnya Islam dihubungkan dengan munculnya suatu momok menakutkan yang menggilas habis tatanan aturan baku yang digariskan ajaran leluhur. Umat Islam benar-benar datang dengan pedang dan panah beracun. Islam dimaknai secara politis, tidak dengan kacamata budaya, sebagaimana yang diutarakan penggiat wacana Islam Nusantara.

Beberapa tahun belakangan, penulis melakukan dua kali lawatan ke Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Lokus yang menjadi destinasi teramai kedua yang dikunjungi wisatawan asing setelah Pulau Bali. Toraja mempunyai kekhasan budaya yang original. Meskipun mayoritas penduduk Toraja menganut Protestan, tidak lantas membuat mereka abai akan penjagaan warisan leluhur pra-Protestan. Pernak pernik peradaban masa lalu masih ditemukan di tempat-tempat keramaian. Misalnya, patung Lakipadada, seorang yang dikuduskan sebagai leluhur raja-raja Sulawesi Selatan bersanding akrab dengan Gereja Bukit Zion dan Patung Yesus (mirip patung Jesus the Redeemer di Rio de Janiero Brazil) di tempat yang agak tinggi, yakni di puncak bukit Burake.

Makale dan Rantepao menjadi dua pusat keramaian Toraja yang menawarkan aroma keragaman. Para pedagang di pasar keduanya, banyak yang berlatar belakang etnis Bugis dan Tionghoa. Warga Toraja masih memegang profesi sebagai pemilik lahan yang digarap menjadi kebun kopi, persawahan padi atau dibiarkan begitu saja dengan pohon-pohon yang bisa dimanfaatkan di kemudian hari, seperti aneka ragam buah, bambu dan lain-lain. Bambu di Toraja memiliki bentuk yang cukup besar dibading bambu di tempat-tempat lain yang penulis kunjungi. Bambu besar Toraja ini mirip dengan yang ditemukan di Kebun Raya Bogor. Bedanya, jika di Toraja diperuntukkan bagi keperluan rumah tangga atau upacara, di Bogor hanya untuk memanjakan mata saja, yakni sekedar kepentingan wisata.

Dalam dua kesempatan ke Toraja, penulis memantapkan niat sebagai sejarawan. Jadi ketika ditanya tempat wisata mana saja yang instagramable, maka jawaban yang diberikan mungkin tidak memuaskan. Namun ketika pertanyaan mejurus pada ihwal sejarah, tentu ada beberapa yang bisa diperhatikan. Misalnya saja mengenai tongkonan tertua di Tana Toraja, Perang Kopi, Pong Tiku pahlawan sebagai pahlawan nasional dari Toraja, dan hubungan para penguasa Toraja dengan daerah-daerah jiran, seperti Enrekang, Luwu, Basse Sang Tempe dan lain-lain, mungkin bisa terjawab.

Terus terang, wacana kesejarahan Islam di Toraja cukup membuat sirkuit nalar sejarah penulis kacau balau. Kegelisahan itu berpangkal pada temuan bahwa sejarah Islam ternyata belum terpetakan di sana. Berbeda dengan beberapa wilayah lain seperti Makassar dan Bone, di mana kekuatan Islam telah tumbuh sejak awal abad XVII, Toraja kala itu masih menyatu dalam harmoni adat istiadat lokal. Keadaan ini kerap diasosiasikan sebagai preseden Tana Toraja yang tertutup oleh peradaban, jika yang dijadikan tolok ukur adalah agama. Makassar dan Bone dapat mencapai peradaban yang tinggi karena diuntungkan oleh posisi geografis yakni terletak di pesisir, sedangkan Toraja di pedalaman. Wajar, jika bandul peradaban maju lebih tepat disematkan pada dua wilayah pesisir tersebut.

Tapi, apakah ranah yang tidak tersentuh oleh Islam maupun pergaulan internasional bisa dikategorikan sebagai “yang belum berperadaban”, ini adalah pandangan yang perlu ditinjau ulang.

Meskipun Toraja belum menganut agama samawi hingga menyentuh abad XVIII, namun wibawa para pemuka masyarakatnya begitu dimulyakan oleh raja-raja Muslim mulai dari Enrekang sampai Makassar. Bahkan, menurut Tarra Sampetoding, salah satu puang (tokoh adat) yang menemani perjalanan penulis di Toraja dan beberapa diskusi di Jakarta, mengungkapkan bahwa gelar “Ayam Jantan dari Timur” yang disematkan pada Sultan Hasanuddin dari Makassar, bukan tanpa alasan. Sang Sultan masih mengingat bahwa leluhurnya dahulu juga orang Toraja. Hal ini bisa ditelusuri mulai dari Tomanurung Tamborolangi (orang yang datang dari langit), yang menurut Puang Tarra, membangun peradaban awal Sulawesi Selatan di Tana Toraja. Anak keturunannya kemudian menjadi raja-raja di Makassar, Bone, Soppeng, Wajo dan Luwu.

Jika disandingkan dengan sejarah Makassar atau Bone, wacana Sejarah Toraja seperti orang yang tertinggal kereta. Hal ini dikarenakan nuansa kesejarahan Toraja lekang dari pembicaraan karena tertutupi oleh ketegangan yang menyelimuti kelompok Protestan dan kaum adat lama yang beragama Aluk Todolo. Keduanya memiliki versi sejarah, yang meskipun secara kronologis sama, namun pilihan akan peristiwa-peristiwa penting yang ditempatkan dalam peta panjang sejarah masih diperdebatkan. Kaum Gereja menginginkan beberapa even yang berhubungan dengan perkembangan Gereja, diberi garis tebal, seperti masuknya Kristen di dataran tinggi Sa’dan pada 1906, kedatangan Van de Loosderecht pada 1913, dilanjutkan dengan kuatnya pengaruh kolonial. Di sisi lain, kaum adat memberi perhatian lebih terhadap perkembangan masa awal Toraja seperti kedatangan Tomanurung Tamborolangi, Perang orang Toraja melawan Luwu, Perang melawan Arung Palakka dan lain-lain.

Baca Juga  Bahaya Populisme Islam

Sejauh pengamatan penulis, persentuhan awal orang Islam dan penduduk lokal Toraja dimulai sekitar abad XVII. Tampilnya Makassar sebagai pusat perkulakan dan perdagangan penting di Nusantara Timur saat itu menjadi pemantiknya. Dari sini, para pedagang Bugis dan Makassar menjajakan dagangannya ke pedalaman, termasuk ke Toraja. Kontak ini menjadi pintu gerbang masuknya Islam ke dataran tinggi itu. Perkawinan antarsuku dan antaragama menjadi pemandangan yang umum. Dari sini, proses Torajanisasi orang Bugis atau orang dari suku lain ke suku Toraja terjadi, begitu pula sebaliknya.

Konversi Islam di Tana Toraja tidak berjalan dengan massif. Salah satu faktor kuat yang melatarbelakanginya adalah kepercayaan lokal yang terus diperlihara oleh masyarakatnya. Di samping itu, perang antarsuku yang pecah sewaktu-waktu menyebabkan kondisi pedalaman Toraja tidak kondusif untuk ditempati secara permanen. Selain itu, berbeda dengan Makassar dan Bone yang secara politik tergabung dalam satu dinasti kuat yang memerintah suatu kerajaan, di Toraja tidak berlaku kekuasaan yang bersifat sentralistik. Pola pemerintahan yang berlaku adalah federasi raja-raja kecil. Salah satu federasi yang kuat bernama Basse Tallu Lembangna yang terdiri dari Makale, Sangalla’ dan Mengkendek. Perjalanan penulis banyak dihabiskan di tiga daerah tersebut. Banyaknya pusat kekuatan politik ini sejalan dengan penghayatan yang teguh pada ikatan tradisi dan kepercayaan lokal.

Keharmonisan antarpuak yang ada di Tana Toraja, sempat ternodai dengan rencana islamisasi yang dlakukan Arung Palakka sekitar pertengahan abad XVII. Dalam ingatan lokal, juga disinggung oleh Leonard Y. Andaya, saat laskar Arung Palakka yang perkasa di sejumlah medan perang Nusantara, seperti di Jawa, Dompu (Nusa Tenggara Barat), Bonjol (Sumatera Barat) datang ke Toraja, mereka menghadapi perlawanan yang hebat dari para jago Toraja pimpinan Puang Indo Garanta, seorang “Wanita Perkasa” di sana.

Sejarah islamisasi Toraja, diakui atau tidak, pernah ditulis dengan tinta berdarah. Ini menandaskan bahwa teori bahwa islamisasi Nusantara dilakukan secara damai, dengan hikmah serta penuh bahasa kasih, dalam beberapa segi, terbantahkan. Kenyataan ini mengingatkan pada islamisasi lain yang terjadi di Blambangan antara abad XVIII – XIX, yang juga dilakukan dengan tombak, senapan dan pedang oleh gabungan tentara Mataram dan Belanda. Catatan hitam ini harus dikemukakan ke khalayak luas, agar menjadi bahan renungan, tidak semua gerakan yang dilabeli agama membawa pada kemaslahatan. Dalam kasus tertentu, arogansi agama dapat menyebabkan pembunuhan massal.

Catatan hitam mengenai sejarah Islam di Tana Toraja belum jua terhapus hingga Era Paska Merdeka. Sejarah mencatat nama pemberontak (atau tokoh yang dituduh memberontak) Abdul Kahar Muzakkar. Seorang veteran perang Pra Kemerdekaan yang membentuk barisan penantang Jakarta. Barisan Kahar keluar masuk kampung, menerabas bukit dan hutan, untuk menghimpun kepercayaan publik Sulawesi padanya. Sayangnya, tidak semua elemen masyarakat Sulawesi menaruh perhatian pada gagasannya. Di beberapa tempat seperti Tana Toraja, aktivitas Kahar Muzakkar, oleh sebagian pihak, justru dianggap sebagai teror dan perusakan yang menorehkan luka menganga di sanubari penduduk setempat.

Di Tana Toraja, rombongan militer Kahar Muzakkar lebih sering disebut Gerombolan. Dalam ingatan seorang perempuan bernama Miyoku Tandirerung, masa Gerombolan adalah saat yang menyeramkan. Penduduk Toraja berada dalam ketakutan karena kabar pemaksaan, perampokan hingga pembunuhan tersebar luas. Satu di antara peristiwa yang tidak hilang dari ingatannya adalah pembakaran tongkonan keluarganya di kampung Ulu Sallu. Bagi orang Toraja, tongkonan adalah lontara tak tertulis, suatu ingatan akan pohon keluarga. Jika tongkonan hilang atau roboh, maka musnah pula sejarah suatu keluarga besar. Dari kisah ini dapat diambil informasi bahwa kemiskinan dalam pemaknaan simbol sejarah dan budaya, menghantarkan pada pemusnahan ingatan kolektif yang skalanya lebih luas. pembakaran tongkonan adalah dosa besar yang dilakukan pasukan Kahar yang kebetulan bergama Islam. Torehan catatan bertinta merah pun tertulis kembali.

Tidak tersebarnya Islam di Toraja dengan menyeluruh dan adanya beberapa even sejarah yang memperburuk citra Islam membuat wacana sejarah Islam di sana tidak berkembang. Ini adalah anomali sejarah, bagi mereka yang gandrung bahwa Islam harus berpadu dengan sejarah suatu umat manusia. Namun, bagi seseorang yang tidak mengedepankan aspek agama, ini adalah keniscayaan yang kerap ditemukan ketika memperhatikan suatu peristiwa masa lampau di berbagai belahan dunia manapun. Akan selalu ada bercak hitam dan putih dalam catatan manusia sepanjang zaman.

Langkanya Sumber Sejarah

Berburu sumber merupakan aktivitas yang menyenangkan. Riset sejarah yang baik, tentu  membutuhkan kelengkapan data, baik lisan maupun tulisan, yang ditunjang dengan analisa kritis. Renungan di ujung malam, ada kalanya menjadi penghubung antara alam literal dan alam perenial dan ini menyemburatkan sejuta kemungkinan yang digunakan untuk menulis laporan penelitian. Bagi penulis ini adalah saat terbaik untuk melebur data ke dalam tenunan kata-kata yang bermakna. Aktivitas inilah yang penulis kerap lakukan untuk memecah kebuntuan bernalar, khususnya dalam kajian sejarah lokal, seperti sejarah Islam di Tana Toraja.

Salah satu buku yang membahasa secara komperhensif mengenai sejarah sosial di Toraja adalah tulisan Terance W. Bigalke berjudul “Sejarah Sosial Tana Toraja”. Buku ini baru bisa dinikmati pembaca di Indonesia pada 2017. Sebagai tamu baru dalam wacana sejarah Toraja, tentu saja penulis membutuhkan banyak bacaan awal untuk memahami rentang waktu, tokoh penting serta even-even penting dalam sejarah Toraja. Buku ini cukup memberi gambaran awal untuk itu. Ketika berkunjung ke narasumber dengan bahan relevan yang kurang, rasanya sangat menderita sekali. Itu seperti kita mendengar ocehan yang sama sekali tidak dapat dimengerti.

Di samping sumber lisan, arsip kolonial, saya bisa katakan, masih menjadi gunung emas yang harus perlu ditapaki. Sebagaimana diketahui, pemerintah kolonial Belanda memiliki tinggalan catatan yang melimpah ruah tentang masa lalu Nusantara. Proses pencarian ini tentu saja tidak sampai di ANRI namun juga harus mencapai Nationaal Archive di Den Haag. Informasi kaku sebagaimana yang ditemukan dalam nota-nota kedinasan kolonial, dengan tangan terampil dan sudut pandang indonesiasentris, akan menjadi pelengkap yang sempurna bagi sumber-sumber lisan. Hingga hari ini, penulis masih percaya dengan jargon “tidak ada sejarah tanpa data”, khususnya bagi kajian sejarah lokal. Dengan mengawinkan sumber lisan dan sumber arsip kolonial, maka kelangkaan sumber, sebagaimana yang dikeluhkan sejarawan, dapat teratasi.

Sumber sejarah Toraja, khususnya sejarah Islam di Toraja, masih mengendap dalam tataran lokal. Hal ini perlu ditanggulangi dengan rajin mencatat lantas menerbitkannya dalam sebuah buku yang utuh, atau di media jurnal. Penulis belum memiliki kesempatan ke arah itu, maka untuk menyegarkan pemikiran mengenai adanya wacana sejarah yang belum tergali, tulisan ini pun lahir.

Ada atau tidaknya sejarah islam di Toraja tentunya masih membutuhkan kajian lebih lanjut. Yang terpenting, orang Islam turut membangun peradaban Toraja, melalui koneksi perdagangan kopi dengan penduduk lokal. Harmonisasi antaragama telah teranyam dengan cukup kuat di negeri atas awan ini. penduduk Muslim, yang umumnya berlatar suku Bugis, Jawa, Madura dan Makassar banyak yang berprofesi di bidang perniagaan. Penduduk Toraja Protestan maupun Katolik mengisi ruang pemerintahan, perkebunan dan pertanian. Mereka semua hidup dalam kenyamanan dan kedamaian.

Sejarah gelap masa Arung Palakka hanya menjadi kenangan masa lalu yang diharapkan tidak terulang di masa kini.

 

Johan Wahyudi
Johan Wahyudihttps://test.islamramah.co
Dosen sejarah di IAI Al-Aqidah al-Hasyimiyyah dan Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Artikel Populer
Artikel Terkait

1 KOMENTAR

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.