Fundamen Toleransi – Khutbah Jum’at

KhazanahKhutbah Jum'atFundamen Toleransi - Khutbah Jum'at

 

الحمد للّه فائض الأنوار، وفاتح الأبصار، وكاشف الأسرار، ورافع الأستار. والصلاة على محمّد نور الأنوار، وسيّد الأبرار، وحبيب الجبّار، وبشير الغفّار، ونذير القهّار، وفاضح الفجّار، وعلى آله وأصحابه الطّيّبين الطّاهرين الأخيار. اللّهمّ صلّ على عبدك ورسولك محمّد وآله وأصحابه الّذين آزروه ونصروه وسلّم تسليما كثيرا. يآأيها الّذين آمنوا اتّقوا اللّه حقّ تقاته ولا تموتنّ إلا وأنتم مسلمون، أمّا بعد.

Jama’ah Shalat Jum’at yang Dimuliakan Allah Subhanahu Wata’ala

Allah berfirman di dalam Al-Quran:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Akhirat dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran buat mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Al-Baqarah: 62)

Ayat di atas merupakan penegasan bahwa semua agama samawi memiliki nilai kesamaan, yaitu iman dan amal saleh. Apapun agamanya, asalkan beriman dan melakukan amal saleh, maka orang tersebut akan mendapatkan pahala dan surga-Nya.

Dalam kitab tafsir Mafatih Al-Ghayb, Imam al-Razi menegaskan bahwa pada suatu hari Salman Al-Farisi mendatangi Rasulullah SAW menceritakan tentang penduduk Ad-Dayr, yaitu penduduk Kristen yang mana mereka melakukan sembahyang, puasa, beriman dan bersaksi tentang kenabian Muhammad SAW. Kemudian beliau berkata kepada Salman, “Mereka adalah penduduk neraka”. Tapi kemudian, Allah Subhānahu wata’ālā menurunkan ayat di atas seraya memberikan penjelasan kepada Rasulullah SAW.

Ayat di atas memastikan bahwa orang-orang yang menganut Islam, Kristen, Yahudi, dan Sabian, sejauh mereka beriman kepada Allah, Hari Akhirat dan beramal saleh, maka mereka akan menjadi hamba-hamba yang akan senantiasa dilindungi dan mendapatkan rahmat-Nya. Allah Subhanahu wata’ala Mahatahu dan Mahabijaksana atas segala hal yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya.

Yang paling penting dari ayat di atas adalah perpaduan antara iman dan amal saleh. Iman dan amal saleh ibarat dua sisi mata uang: satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Tidak akan sempurna keimanan seseorang yang tidak disertai dengan perilaku sosial yang bermaslahat bagi sesamanya. Sebagaimana tidak akan ada perilaku sosial sejati tanpa berdasarkan nilai-nilai keilmuan. Itu sebabnya, keimanan dan amal saleh selalu sejalan seiring dalam al-Quran; di mana ada pembahasan tentang keimanan, di situ ada pembahasan tentang amal saleh.

Hal ini penting untuk digarisbawahi, karena keselarasan iman dan amal saleh semakin menegaskan pentingnya keseimbangan dalam hidup. Kemaslahatan dan keselamatan manusia di akhirat merupakan tujuan akhir setiap muslim. Namun Islam juga menekankan pentingnya kemaslahatan dan kesejahteraan dalam kehidupan dunia. Islam menegaskan pentingnya hal-hal yan bersifat ritual. Tapi Islam juga menekankan pentingnya kesalehan sosial.

Patut disayangkan, karena keseimbangan antara iman dan amal saleh tidak selalu tergambar dalam realitas kehidupan umat. Pada umumnya, keberagamaan dijalankan secara “pincang”, yakni hanya menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat ritual-ukhrawi. Sedangkan kesalehan sosial dalam kehidupan sehari-hari acapkali tidak dipahami sebagai bagian dari fundamen keberislaman dan keberimanan kita.

Bangsa ini, contohnya, dikenal sebagai bangsa relijius. Seratus persen penduduk Indonesia adalah beragama. Secara kuantitatif, jumlah umat Islam mencapai kuran lebih sembilan puluh persen dari total penduduk Indonesia. Sedangkan sepuluh persen lainnya, ada yang menganut Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.

Pertanyaannya adalah, dalam konteks kehidupan berbangsa dan beragama, apa makna sesungguhnya dari realitas masyarakat yang memegangi agama masing-masing secara tunduk patuh itu? Faktanya amat disayangkan, karena nilai-nilai agama yang agung itu berada di sebuah lembah, sedangkan realitas sosial-politik yang karut-marut berada di lembah yang lain. Hal-hal yang melanggar norma agama acapkali mewarnai ruang publik.

Kita masih melihat fakta intoleransi, kekerasan, bahkan terorisme yang kerap menggunakan dalih agama. Mereka menginginkan surga, tapi dengan cara-cara yang justru dapat mendorong mereka kepada neraka.

Jama’ah Shalat Jum’at yang Dimuliakan Allah Subhanahu wata’ala

Menghadapi masalah di atas, maka diperlukan upaya-upaya serius untuk menjadikan iman yang tertancap kuat dalam keyakinan kita sebagai jalan pembebasan bagi masalah-masalah sosial masyarakat yang mendera umat. Iman harus menjadi modal sosial untuk membangun keprihatinan dan kepedulian dalam rangka memecahkan masalah-masalah keumatan.

Sebab itu, iman di dalam al-Quran kerapkali disandingkan dengan pesan amal saleh. Keduanya tidak berdiri sendiri. Iman dan amal saleh saling menyempurnakan. Iman tidak akan berarti jika tidak diimplementasikan. Begitu pula, amal saleh tidak kokoh jika tidak menggunakan basis iman.

Para ulama ilmu kalam merumuskan iman adalah sesuatu yang muncul dari hati, diungkapkan melalui lisan, dan diamalkan melalui tindakan. Jadi, iman merupakan totalitas dari hakikat penciptaan manusia. Ketundukan dan penyerahan diri kepada Tuhan harus disertai dengan amal perbuatan yang memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada orang lain.

Itulah sesungguhnya hakikat dari keislaman yang kita yakini selama ini. Iman bukanlah paham yang hanya dipahami secara sepotong-potong dan terpisah dari realitas. Iman harus bergulat dan memberikan alternatif atas kebuntuan-kebuntuan akibat merebaknya sifat rakus dan tamak dari sebagian orang.

Pentingnya visi pembebasan dalam Islam, disampaikan oleh Allah Subhanahu wata’ala di dalam al-Quran:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya (QS. Al-Kahfi: 110).

Baca Juga  Natal Ujian Toleransi Kita

Ayat ini dengan tegas menekankan bahwa amal saleh sejatinya menjadi komitmen dan bentuk keimanan seorang hamba kepada Sang Khalik. Amal saleh merupakan jantung dari perjumpaan kita dengan Allah Subhanahu wata’ala. Ibadah yang kita lakukan setiap hari semestinya harus berujung kepada komitmen yang kuat untuk senantiasa melakukan amal saleh yang akan membangun kemaslahatan sosial.

Tentu, amal saleh harus diperluas cakupannya tidak hanya pada tataran personal-individual. Amal saleh harus mempunyai daya dobrak yang luas, sehingga setiap umat mendapatkan manfaat dari amal saleh.

Dalam kehidupan bernegara, amal saleh harus dapat mendorong para elite politik untuk melahirkan kebijakan-kebijakan politik yang dapat melahirkan lapangan pekerjaan, yang dapat menunjang hajat hidup mereka. Sudah tidak dielakkan lagi, bahwa pejabat di negeri ini mayoritas berlatarbelakang muslim. Maka, sudah semestinya jika kebijakan-kebijakan yang dilahirkan harus mencerminkan amal saleh, yang mana manfaatnnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas.

Jama’ah Shalat Jum’at yang dimuliakan Allah Subhanahu Wata’ala

Iman dan amal saleh merupakan nilai yang dapat mempertemukan visi pembebasan agama-agama. Dalam ayat di atas, Allah secara gamblang menjelaskan tentang kesamaan visi setiap agama, yang menitikberatkan kepada dimensi iman dan amal saleh. Kedua hal tersebut akan menjadi modal setiap agamawan pada Hari Pembebasan nanti.

Dalam hal ini, iman dan amal saleh dapat dijadikan sebagai fundamen yang kuat untuk membangun toleransi dan harmoni di antara umat agama-agama. Iman dan amal saleh sejatinya dapat membangun kesadaran, bahwa setiap agama mempunyai visi dan misi yang sama, yaitu menyelamatkan umat dari keterpurukan, kegagalan, dan kehancuran.

Para Nabi diutus oleh Allah untuk membawa misi penyelamatan dan pembebasan. Nabi Musa as. Menjadi seorang utusan Tuhan yang menyelamatkan umatnya dari penderitaan dan penindasan, yang dilakukan oleh rezim lalim. Nabi Isa as. Adalah nabi yang dikenal dengan ajaran kasih sayang. Sedangkan Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang membawa rahmat bagi semesta alam. Di dalam al-Quran disebutkan, Sesungguhnya tidak Kami utus kamu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam.

Allah Subhanahu wata’ala telah menciptakan banyak agama dan jalan menuju kebaikan. Hal tersebut mempunyai rahasia dan hikmah yang sangat mulia bagi kehidupan ini. Allah Subhānahu wata’ālā berfirman:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

Dan Kami jadikan Syari’at dan Jalan untuk masing-masing kalian (QS. Al-Māidah: 48).

Menurut Az-Zamaksyari dalam Al-Kasysyaf, bahwa Allah Subhanahu wata’ala telah menjadikan Syariat dan Jalan bagi setiap manusia sebagai bukti kemajemukan makhluk Tuhan dan dalam rangka menguji mereka agar saling menghargai antara satu dengan yang lain.

Ayat di atas membuktikan, bahwa kebhinekaan merupakan sunnatullah yang akan memperindah kehidupan kita. Apakah artinya hidup ini, jika tidak ada kebhinekaan di muka bumi, baik kebhinekaan bahasa, bangsa, agama, suku, maupun jenis kelamin. Kebhinekaan merupakan kekuatan, bukan kelemahan.

Namun, yang perlu diperhatikan, bahwa kebhinekaan tersebut bukanlah pemicu perpecahan umat, sebagaimana terlihat dalam panggung kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita sepertinya melupakan kemajemukan yang sudah ditakdirkan Tuhan kepada bangsa ini.

Buktinya, takdir tersebut kerapkali direspon dengan tindakan-tindakan yang mencerminkan sikap intoleransi. Sebagai kelompok mayoritas, sepertinya sebagian dari umat tidak siap dan tidak mau untuk hidup berdampingan secara damai, baik karena alasan perbedaan agama, aliran, maupun perbedaan kepentingan.

Tentu saja, hal ini menjadi masalah serius, karena Islam yang merupakan agama toleransi dan perdamaian belum mampu ditransformasikan secara total dan menyeluruh, baik kepada umatnya maupun kepada umat-umat yang lain. Islam senantiasa mendorong umatnya untuk senantiasa menghargai dan menghormati pihak lain.

Di puncak kejayaan Islam, Rasulullah SAW adalah simbol toleransi. Sebagai komunitas yang mulai membesar, beliau sama sekali tidak menunjukkan sikap dan kebijakan yang mencerminkan kediktatoran. Lihat misalnya, sikap beliau terhadap kelompok minoritas. Rasulullah SAW bersabda:

من آذى ذمّيّا فقد آذاني

Barangsiapa menyakiti Ahluddzimmah, maka ia sebenarnya menyakitiku.

Ahluddzimmah merupakan kelompok minoritas, dari kalangan Kristen dan Yahudi, yang berada di bawah naungan kekuasaan Muslim. Mereka tunduk terhadap peraturan yang telah digariskan Rasulullah SAW. Mereka juga membayar pajak, sebagaimana disepakati oleh pihak kekuasaan muslim dengan Ahluddzimmah.

Toleransi sebagaimana diteladani Rasulullah SAW merupakan contoh terbaik, yang semestinya menjadi panduan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang ditandai dengan kemajemukan. Sebab, kemajemukan bukanlah fenomena kontemporer, tetapi sudah menjadi fenomena di masa lalu pada zaman Rasulullah SAW. Kemajemukan adalah sunnatullah.

Di akhir khutbah yang mulia ini, ada baiknya jika kita mampu mengamalkan kembali teladan toleransi tersebut. Dan akan sangat berarti, jika toleransi diperluas menjadi kehendak untuk mengukuhkan iman dan amal saleh yang merupakan pondasi dari setiap agama. Jika iman dan amal saleh diusung oleh umat dengan sangat baik, maka Islam akan menjadi agama terdepan yang dapat melahirkan kebajikan, baik kepada umat Islam maupun kepada umat-umat yang lain.

بارك اللّه لي ولكم في القرآن العظيم ونفعني وإيّاكم بما فيه من الآيات والذّكر الحكيم وتقبّل منّي ومنكم تلاوته إنّه هو السّميع العليم.

Redaksi Islam Ramah
Redaksi Islam Ramah
IslamRamah.co - Islam Ramah Bukan Islam Marah
Artikel Populer
Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.